Agenda 

Pelajaran Kesetiaan

Ruly R, tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Litersi Kemuning. Kumcernya yang baru saja terbit berjudul Cakrawala Gelap (Penerbit Nomina, 2018) dan Novelnya yang akan segera terbit berjudul Tidak Ada Kartu Merah.

 

Ingatan tentang adikku yang telah mati hadir ketika kulihat seekor anjing merintih kesakitan di atas trotoar. Aku melihat dan merasa kasihan pada anjing itu. Ingin aku mendekat, mengelus bulunya yang berwarna abu-abu, membawa anjing itu pulang ke rumah, mengobati luka hewan itu dan merawatnya, tapi aku tidak bisa.

Aku masih berdiri terpaku, menatap anjing itu dari balik kaca toko bunga berplakat nama Arum. Dua bola mataku enggan lepas dari anjing itu. Pun mata milik anjing yang menemu mataku, seakan berharap agar aku mau mendekat dan menolong. Ada keinginanku untuk mendekati anjing itu. Tapi keinginan tak ubahnya ruang ketidakmungkinan yang mencekam dan bergumul mesra di dalam hati. Kurasakan, tentang anjing adalah tentang ingatan-ingatan yang tercekat dan mandek pada sebuah peristiwa yang menitik luka, yang mengiris pada kenang dan bayang duka.

Sudah lama peristiwa itu berlalu, tapi belum bisa kulupakan sepenuhhya. Setiap bayang karena anjing—entah sekadar gambar atau suara, selalu membuatku naik pitam, seakan segalanya menjadi hancur karena hewan karnivora itu.

Aku jelas tahu tentang yang kurasakan saat ini, tapi aku juga tidak bisa berdusta pada hatiku, untuk tidak menolong anjing yang sedang menahan sakit di atas trotoar. Aku bimbang, mungkin sekadar dibawa ke dokter hewan atau semacamnya bisa, namun setelah itu aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya mustahil membawa hewan itu ke rumah. Aku bisa saja menganggap semua beres, tapi tidak dengan keluargaku. Mereka jelas marah besar bila anjing itu kubawa pulang. Jika dibuang ke jalan sama artinya dengan saat ini, saat anjing itu menahan sakit. Kebimbangan tak ubahnya hal yang paling pahit dalam hidup. Bimbang dan duka menjadi warna yang sama dengan bulu anjing itu, di mana warna itu selalu lekat keberadaannya dengan sesuatu yang ada di antara. Antara putih dan hitam, antara sebuah kesucian dan segala yang buruk. Meski begitu, aku merasa dua hal, tentang duka dan bimbang punya dimensi yang berbeda. Jika duka sudah hadir sebagai sebuah kepastian, namun bimbang bukan hal yang demikian. Bimbang tak ubahnya rasa yang tak pernah membawa sebuah keceriaan, layaknya segala yang dalam hidup tak pernah bisa dimaafkan.

Aku terus berdiri terpaku di dalam toko Arum. Dua bola mataku masih lekat dengan indra penglihatan anjing itu. Lingkaran warna cokelat mata anjing itu sesekali hilang ditelan pelupuknya sendiri. Bukan aku yang mencoba memejamkan mata, namun mata anjing itu yang sesekali terbuka, sesekali terpejam, menanda luka yang teramat, yang sedang dirasakan anjing itu.

Bimbang bergumul di hatiku. Hal itu membawaku pada pertandingan yang akhirnya dimenangkan oleh masa lalu, yaitu kenangan. Memang bukan kenangan yang manis, tapi tetap saja hal itu tak bisa kuhindari. Kenangan selalu datang bukan dengan cara diundang kehadirannya, melainkan dari sebuah rentetan-rentetan bayang yang meletup. Itu adalah peristiwa saat aku harus menemu jarak dengan salah satu orang yang kusayangi. Adikku meninggal dan hal itulah jawaban kenapa aku juga kelaurgaku begitu membenci anjing.

Aku anak pertama di keluarga yang tak ubahnya seperti keluraga-keluarga yang ada dalam cerita negeri dongeng, yang berisi kebahagiaan dan keriangan. Tapi realita tak semanis dalam lembar-lembar buku pengantar tidur yang dulu sering dibacakan ibuku. Semua berawal di sebuah Minggu, ketika ayahku sedang memangkas ranting pohon cemara di halaman rumah. Seekor anjing berjalan tertatih memasuki pekarangan rumahku. Hewan itu memberikan lolongan kecil tanda menahan sakit. Pada mulanya ayahku tak yakin untuk memberikan pertolongan pada anjing itu karena dia takut jika itu anjing yang ganas. Tapi karena dia sendiri tidak tega, akhirnya dia tolong anjing itu, meski dia sendiri tidak tahu menahu tentang bagaimana cara merawat luka hewan itu.

Bulu anjing itu halus dan mempunyai warna serupa susu. Anjing itu jinak dan karena hal itu juga akhirnya Ayahku tidak tega untuk membuang anjing itu ke jalanan atau memberikannya pada tempat penampungan anjing. Seiring waktu berlalu, anjing itu bertambah akrab dengan keluargaku. Hampir setiap hari aku bermain dengan anjing itu sepulangku sekolah.

Hari berganti. Waktu terus berlalu, seakan melangkah dengan cepat. Tapi segala yang cepat tetaplah akan berhenti pada sebuah titik. Dan itu adalah hari Minggu saat keluargaku sedang menukar riang dengan anjing yang diberi nama Popow. Secara tiba-tiba Popow mengamuk dan menggigit lengan kiri adikku, karena melihat seseorang yang menyampirkan sebuah senapan lewat di jalanan depan halaman rumahku. Seketika ayahku panik. Dia tak memedulikan siapapun kecuali adikku. Seakan berburu dengan waktu, nyawa adikku tidak dapat ditolong meski sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa gigitan anjing itu terlalu dalam.

Sejak peristiwa itu, aku tidak pernah melihat Popow di rumah. Aku sendiri tidak tahu ke mana perginya Popow. Aku selalu berharap Popow datang dan ayahku bisa menerima hal itu. Tapi kenyataan terkadang tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sejak adikku meninggal, Popow tidak pernah datang ke rumah. Sejak itu juga keluargaku— terutama ayahku benci semua hal tentang anjing, padahal dia dulu pernah berkata kepadaku, anjing adalah simbol kesetiaan. Tidak ada anjing yang menghianati tuannya. Namun yang dikatakan oleh ayah tak ubahnya daun kering yang jatuh ke tanah, perlahan warna cokelatnya daun menyatu dengan tanah. Kata-kata itu mungkin sudah hilang dari ingatan ayah. Satu yang tidak hilang dari pikiran ayah adalah kebencian pada anjing. Hal itu layaknya sebuah bara api yang terus dijaga agar tidak padam. Lebih dari itu, kebencian itu coba ditularkan kepadaku.

Dulu, aku sering diberi cerita tentang anjing-anjing yang menyeramkan. Dan satu cerita tentang seorang raja Romawi yang kejam, yang namanya banyak disematkan untuk anjing. Nama itu adalah Nero. Konon raja Nero sampai tega membunuh istrinya sendiri. Bukan saja istrinya yang mati, tapi juga anaknya, karena raja Nero menghabisi nyawa istrinya, saat perempuan itu sedang mengandung. Begitulah cerita yang disampaikan oleh ayah, dan alasan kenapa banyak anjing diberi nama itu. Karena anjing adalah hewan yang kejam. Tentu kontras dengan perkataan yang semula.—perihal anjing sebagai simbol kesetiaan.

***

Aku masih berdiri di balik kaca toko Arum. Mataku masih setia menatap anjing yang kondisinya nampak semakin buruk. Dalam hatiku masih juga menimbang hal apa yang akan kulakukan pada anjing itu, dan karena hal itu juga segalanya seakan terjeda. Hingga akhirnya aku tahu harus mengambil kesimpulan seperti apa. Aku berpikir bahwa kesetiaan adalah hal yang dirasakan dan diyakini oleh setiap manusia di awal dia mengucap tentang arti kata itu. Dan karena hal itu aku mempunyai rasa yakin, bahwa hal itu juga berlaku untukku, ayah dan keluargaku.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

three × three =