CERPEN 

Pengamen Pendiam yang Tiba-tiba Hilang

M Faizul Kamal, lahir di Kudus, Jawa Tengah. Kini tinggal di Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogya dan bergiat di Lesehan Sasta Kutub Yogyakarta (LSKY), sambil jualan koran. Beberapa cerpennya dimuat di koran.

 

Ia tak pernah menjawab jika aku bertanya tempat tinggalnya. Aku mencoba mencari tahu sendiri. Seorang pengamen tua memberi tahuku—setelah itu, ia pergi dan sampai saat ini aku tak tahu ia di mana—bahwa gadis itu tinggal di sebuah lorong dekat pohon beringin depan kantor gubernur.

Tapi di mana lorong itu? Aku tiga kali ke kantor gubernur, memang di sana ada tiga pohon beringin besar, tapi lorongnya? Waktu pengamen tua memberi tahu, aku tak sempat bertanya lebih jelas letak lorongnya. Namun, kukira, dia tak tahu betul di mana gadis itu tinggal.

*

Waktu itu, tiba di sebuah rel kereta, ia berlari ke utara menghindari hadangan petugas yang menghentikan kendaraan karena kereta dari timur akan melintas. Meski agak jauh, aku mengejarnya sebisa mungkin. Namun entah sejak kapan, petugas itu berada di depanku. Kereta melintas agak lambat, gerbongnya begitu panjang. Ketika petugas membuka jalan, gadis itu telah hilang. Aku gagal. Tidak hanya kemarin, hari-hari sebelumnya juga sama.

Aku membuntuti seperti itu hampir setiap hari. Kemarin salah satunya. Entah, itu sudah yang keberapa kali. Anehnya, ia tak pernah mencurigaiku. Tapi rencana tersebut tak pernah mendapat hasil.

Pagi ini, aku berada di Malioboro. Aku datang membawa motor. Kuparkir motorku di depan toko batik yang masih tutup. Kutaruh begitu saja. Aku berjalan mendekati gadis yang membawa kerincingan dan sebotol kaleng kecil.

Ia mengenakan kaos biru polos panjang kedodoran. Lengan kiri dicincing, sedangkan di lengan kanan dibiarkan menutupi hampir seluruh telapak tangannya. Celana jins hitam panjang yang warnanya memudar dan sandal jepit ijo, ia kenakan. Sebuah tampilan yang tidak berbeda jauh dengan hari sebelum ini.

“Tara!” sapaku.

Aku mengetahui namanya dari seorang pengamen lain.

“Iya,” jawabnya singkat dengan tolehan sepintas.

“Nanti siang ikut aku, yuk.” Ajakku seketika, tanpa basa-basi.

“Ke mana?”

“Makan. Aku traktir nanti.”

“Setiap siang aku sibuk mengamen.”

“Ayo lah! Kamu harus mau.”

“Maaf, nggak bisa!”

“Kenapa? Adakah alasan lain selain mengamen?”

“Aku takut kamu menculikku!”

Aku tercengang mendengar perkataannya barusan. Kata-kata itu meluncur begitu dingin seperti tanpa beban.

“Aku bukan penculik. Kenapa harus takut?”

“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat setelah terdiam sebentar.

Jika kupaksa-paksa lagi, ia tak akan mau. Ya sudah, kuberi dia uang saja, pikirku.

“Ini untukmu,” aku mengasihkan uang seratus ribu rupiah.

“Aku tak mau!”

“Kamu harus menerimanya!”

“Aku tak mau!” suaranya mengeras diikuti hentakan tangan kanan.

Aku tak memaksa. Lebih baik aku pulang saja. Jika kupaksa, ia tak akan pernah mau. Bisa-bisa, ia jadi awas dan membenciku.

*

Gadis itu pernah menemukan dompetku yang dijambret orang, ketika aku sedang membeli baju di salah satu toko sepanjang Malioboro. Aku tak tahu bagaimana ia bisa menemukan dompetku. Padahal orang-orang—pemilik ruko, pengunjung yang duduk santai, dan beberapa petugas keamanan—yang saat itu mengejar si penjambret, tidak berhasil menangkapnya.

Saat hari hampir malam, dan penjambret tidak berhasil ditangkap, aku memutuskan pulang dan membiarkan kasus itu berlanjut di tangan petugas keamanan. Aku mengambil motor di parkiran. Sebelum pergi, tiba-tiba seseorang membawa dompetku, memberikannya kepadaku.

“Ini dompetmu, kan? Aku menemukannya jatuh di dekat Tugu,” Ujarnya. Setelah memberikan dompet, ia bergegas pergi, berjalan agak tergesa seperti menghindari suatu hal. Dan, kepergiannya yang begitu saja, sangat menggangguku. Dari kejadian itu aku jadi penasaran, siapa dia sebenarnya?

Aku mencoba mengetahui tentangnya, meski sedikit. Yang aku tahu darinya, tak lebih dari ia seorang pengamen pendiam dan aneh. Karena sikap itu, pengamen-pengamen lain di sini sinis kepadanya.

Aku putuskan hari ini untuk menjadi aneh juga, tepatnya pagi sampai sore nanti akan kuikuti dia dengan jarak begitu dekat, aku tak boleh berbicara padanya, sekalipun ia berbicara kepadaku duluan. Aku ingin membuatnya jengkel. Begitu jengkel. Hingga ia bertanya, apa maksudmu selama ini? Ketika pertanyaan itu muncul dari mulutnya, atau tidak persis seperti itu tapi maksudnya sama, berarti aku berhasil dengan keanehanku.

Aku menunggunya di parkiran motor dekat toko batik. Seperti biasa. Gadis itu belum juga muncul. Padahal, sudah pukul delapan. Jalanan mulai ramai. Deru motor dan mobil kian terdengar riuh. Beberapa toko dan lapak dagang sudah buka.

Biasanya, jam tujuh kurang gadis itu sudah di sekitar sini, di kursi bawah pohon asem, di dekat sebuah kios. Sebelum mengamen, ia kadang mencari makanan di sampah-sampah pinggir jalan.

Tak sabar menunggu, aku berjalan ke barat berharap bertemu dengannya. Aku berjalan cukup jauh, celingak-celinguk, melempar pandangan ke mana saja. Samar-samar, kulihat ia berada di depan toko—entah toko apa.

Ia sedang makan daging ayam potong, hanya sisa tulang-tulang dan sedikit daging saja. Sudah pasti, ia mendapatkannya di tempat sampah atau yang tercecer di pinggiran toko. Di sampingnya ada nasi yang mugkin sudah basi. Aku jadi iba. Rasa penasaranku semakin kuat.

Ia kali ini memakai baju lengan pendek yang tetap kedodoran, celana jins hitam sobek di bagian dengkul. Rambutnya tergerai tidak rapi sama sekali. Wajah dan matanya tampak sayu, barangkali karena belum kena air atau mungkin masih ngantuk.

Aku mendekatinya. Duduk gelesoran di sampingnya. Ia menoleh padaku sebentar, lalu melanjutkan makan. Ia makan daging ayam itu—lebih tepatnya tulang ayam—begitu rakus. Pikirku, ia hanya makan di pagi hari dan siang hari ketika hasil ngamennya terkumpul.

Selesai makan, ia kembali menatapku. Sepatah kata pun tak terucap dari bibirnya yang gelepotan. Aku ikut diam, meski menahan jengkel. Sungguh payah, baru awal saja aku sudah jengkel, gimana nanti setelah ini?

Ia beranjak dari tempatnya, berjalan ke seletan. Jalanan kian ramai. Kursi-kursi yang tersebar di trotoar, beberapa telah diduduki orang. Toko-toko di sepanjang jalan ini banyak yang sudah buka. Namun masih sepi pembeli. Sebentar lagi ia akan mengamen. Dari toko ke toko, orang ke orang.

Dia tak asal ngamen. Setahuku, ia lihat-lihat dulu, jika menemui orang yang memancarkan rona budiman dan dermawan, murah senyum dan tawa, ia akan menyanyikan sepotong lagu dengan kerincingan, lalu menyodorkan botol kaleng kecil. Tak heran jika hasil mengamennya tak banyak. Paling-paling, sehari ia dapat dua puluh ribu atau kurang.

Orang pertama yang diharapkannya telah ada. Di dekat sebuah plang jalan, seorang lelaki berdiri. Wajahnya enak dipandang. Senyum dari bibir berasapkan rokok, terkembang begitu melihat tukang becak melintas di dekatnya. Entah apa yang lucu. Dan, benar tebakku, Tara mendekati orang itu.

Seperti rencana dari awal, ketika ia mengamen, aku di sampingnya. Terkadang di samping kiri atau kanan, terkadang di belakangnya, berdiam saja, seolah aku ini bapaknya yang bisu atau bahkan gila. Orang-orang yang biasa menjumpai gadis itu mengamen, kini bingung dan bertanya-tanya, kenapa ada aku.

Tak mengapa, toh, hal itu aku lakukan juga sampai siang dan senja tiba. Anehnya, ia tak juga jengkel. Dan anehnya lagi, aku juga tidak jengkel dengan keanehan ini. Hanya saja, aku bosan, lelah, dan lapar. Agak lega akhirnya selesai juga mengamen.

Di waktu yang hampir gelap, ia duduk gelesot di sudut tikungan jalan dekat rel kereta, menghitung uang hasil mengamennya. Aku hampir saja keceplosan berbicara kepadanya. Untung saja keadaan kembali membaik setelah ucapan itu—sepenggal kata yang tak utuh—aku akrobatkan menjadi batuk-batuk kecil.

Selesai menghitung uang, aku mengikutnya berjalan ke utara, menuju rel kereta. Sampai di rel kereta, entah karena apa, ia menatapku cukup lama. Saat itu, kereta melintas dari timur, gerbang ditutup oleh petugas. Tatapan gadis itu begitu kuat dan lekat, seolah aku ini kekasihnya. Hatiku berdebar, sepertinya ia menyukaiku, pikiran itu tiba-tiba muncul. Ah, enggak mungkin, lagipula, kalau ia menyukaiku, dari tadi ia harus mengajak ngobrol dan tidak mengabaikanku begitu saja. Duh, mengapa ia seperti itu?

Tatapan itu teralihkan ketika petugas penjaga gerbang rel kereta membuka jalan. Aku mengikutinya berjalan lagi. Di sepanjang jalan yang entah akan ke mana, seperti yang sudah-sudah, tak ada obrolan, tak ada tolehan dan tatapan kecil, apalagi tatapan seperti tadi. Hanya suara sendal dan bising kendaraan.

Sampai berada di dekat Tugu, gadis itu masih berjalan ke utara. Aku kian lapar. Iya, sedari pagi aku belum makan. sedangkan ia sudah terbiasa menahan lapar.

Ketika sampai Tugu, ia memutarinya tiga kali, lalu berjalan ke selatan, ke arah Malioboro. Sungguh aneh sekali, apa dia sengaja melakukan itu agar aku jengkel? Jika iya, hal itu tidak akan bisa karena aku pun telah menjadi aneh sepertinya. Aku tidak akan jengkel, sekali pun ia memancingku seperti itu.

Aku ikuti saja ia mau ke mana.

*

Gadis itu tak memiliki rasa capai sama sekali. Ia terus berjalan menaiki tangga, begitu lincah dan cepat. Setelah rasa penatku sedikit hilang, aku melanjutkan menaiki tangga. Ruangan itu begitu gelap. Tak bisa memandang jelas ke sisi mana pun. Tak jarang aku tersandung dan hampir jatuh. Jika tak ada pegangan di kananku, sudah pasti aku terjatuh.

Aku terus menaiki tangga sampai lelah kembali mendera. Cukup lama menaiki tangga, entah sudah berapa menit, akhirnya aku sampai di ujung.

Aku menjumpai pintu yang terbuka, di dalamnya terlihat ruangan sangat luas dan terang. Aku berjalan memasukinya. Ada sebuah meja di dekatku. Di meja itu terdapat minuman dan makanan. Namun aku tak memedulikannya. Aku mencari di mana Tara berada. Ia menghilang begitu saja. Aku cari dia, kutoleh kanan-kiri, depan-belakang, tak ada seorang pun. Hanya ruangan yang luas seperti tanpa pembatas.

Rasa penat, haus, lapar, bingung dan takut, membuatku frustasi mencarinya. Aku ambil saja makanan di meja itu, memakannya begitu lahap. Seusai makan, aku merasakan kantuk yang begitu kuat. Aku tertidur begitu saja di ruangan itu, di dekat meja.

Bangun-bangun, aku telah berada di depan mimbar sebuah ruang rapat. Entah di mana persisnya. Aneh. Aku tak tahu bagaimana ini terjadi. Aku berjalan menuju sebuah pintu. Menjumpai beberapa ruangan kerja dan sebuah tangga di kanan. Aku lewati itu dengan acuh.

Kulihat sebuah kaca tanpa gorden, di luar tampak gelap. Aku bimbang antara masih malam atau sudah subuh. Tak ada siapa-siapa di ruangan ini. Aku mencari pintu keluar gedung yang terdapat di depan sana. Aku berjalan ke sana, pintu itu terkunci. Bingung mencari jalan keluar, aku menyusuri jendela, barangkali ada yang belum terkunci. Dan benar saja, jendela agak besar terbuka. Aku keluar ruangan lawat sana.

Sesampainya di luar gedung, kudapati gerbang yang tertutup. Aku mendekat ke sana, mencari petugas jaga. Dari celah gerbang, aku melihat Tara tertidur dengan seorang lelaki tua. Lelaki itu yang pernah memberi tahuku di mana tinggalnya Tara. Mereka tidur di bawah pohon beringin, di pohon yang kemarin Tara mengajakku masukinya. []

 

Yogyakarta, 18 Desember 2018

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

four + 16 =