ESAI 

Menyoal Budaya dan Peradaban Kampung

Muhamad Muckhlisin adalah cerpenis dan kritikus sastra, tinggal di daerah Bogor, Jawa Barat. Pemenang pertama lomba cerpen nasional (2017). Karyanya banyak disiarkan beragam media.

 

Setelah mudik ke kampung halaman, senantiasa kita menemukan konsep diri yang lebih arif dan bijaksana, bahwa memang ada batasan antara ‘kita’ yang berpendidikan ketimbang ‘mereka’ yang minim secara intelektual. Tapi bagaimanapun, mereka yang minim secara keilmuan itu merupakan bagian dari darah daging kita sendiri, yang membuat hidup kita menjadi berwawasan seperti saat ini. Kita tak mungkin sanggup mengecap pendidikan tinggi tanpa peran dan jerih-payah orang tua yang seringkali kita anggap kuno dan moderat.

Silaturahmi di tengah-tengah keluarga mngendung banyak hikmah dan pelajaran. Meskipun tidak jarang makin memperuncing persoalan yang sulit ditanggulangi pemecahannya, seperti yang tergambar dalam novel Putu Wijaya berjudul Telegram. Sang tokoh terpaksa harus mudik setelah sekian tahun tak pernah jumpa dengan kampung halamannya. Ia terpaksa harus mengalah dan menyarungkan ego-ego pribadinya untuk sesuatu yang baginya kecil dan sepele, namun bagi orang lain boleh jadi sangat vital dan bermakna. Ketika datang telegram mengabarkan orang tuanya yang sedang sakit keras, ia pun terpaksa berhadap-hadapan dengan kultur peradaban kampungnya.

Meskipun semula terombang-ambing penuh keraguan, namun secara diam-diam sang tokoh masuk ke rumah orang tuanya, bersimpuh di hadapan ibunya, seakan-akan ia masuk kembali dalam “perangkap keluarga” pada saat ia tidak punya kekuatan untuk rujuk dengan tradisi kampungnya. Hal ini sehaluan dengan novel Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer). Meskipun temanya sama-sama sederhana namun mengandung kejutan-kejutan filosofis yang sangat tajam. Pada kedua tema tersebut tak lepas dari “keterjebakan” masuknya sang tokoh dalam penjara keluarga, yang identik dengan masuknya ia ke dalam penjara hukum adat maupun pemahaman agama yang kaku, moderat dan konservatif.

Sang tokoh seakan menggugat situasi dan keadaan, terperangkap dalam situasi gelap, di saat ia harus mengambil keputusan tegas meskipun menghadapi risiko menderita dan terhakimi oleh peradaban kampungnya. Ia berusaha menggapai-gapai sinar di lorong-lorong gelap, mencari-cari sepercik cahaya, meskipun ia harus menyadari bahwa sumber cahaya itu ada dalam hati nuraninya sendiri.

Nilai-nilai tradisional yang dianggap sakral oleh masyarakat kampung telah dibedah dan diverbalkan oleh kekuatan sastra yang menggedor jiwa dan kalbu kita semua. Karena memang karya sastra adalah cara terbaik untuk menempuh jalan pencerahan dan transparansi pemikiran agar mampu melihat konsep diri, bercermin diri secara utuh. Sesekali ada yang menyebut sebagai proses sekularisasi yang profan, tetapi toh bukan dalam konteks sekularisme ansikh yang rasional tulen. Ada pertimbangan nalar dan akal budi, serta nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Menurut orang-orang bijak, ketika berhadapan dengan budaya dan kultur setempat, sesuatu yang bersifat ilmiah-rasional, bahkan yang bersifat syariah (hukum-hukum agama) terpaksa harus mengalah demi kemaslahatan bersama.

 

Membangun konsep diri

Karya sastra memang paling jitu untuk meneropong tradisi dan peradaban kampung, menggambarkan fenomena kehidupan masyarakat Indonesia secara jujur dan apa adanya. Ia merupakan wahana penting untuk mengembangkan konsep diri yang baik. Karya jurnalistik maupun karya sastra yang baik, merupakan sarana penting bagi proses pendewasaan kita semua, yang di dalamnya bukan mengajarkan kultus dan doktrin, serta tidak ada gugatan lewat penghakiman hitam-putih.

Dengan karya sastra yang baik masyarakat kita dibuat melek dan sadar diri. Dengan kualitas sastra yang baik, mereka dibuat bangkit untuk mengenali berbagai peradaban manusia secara luas. Ada banyak tema-tema penting dalam kehidupan masyarakat yang bisa dikemas menjadi bahan-bahan dramatik yang bisa dipantulkan untuk membangun emansipasi perubahan dan kemajuan bangsa.

Dalam konteks kepemimpinan Indonesia, dapat pula dikemukakan hal-hal prinsipil mengenai eksistensi manusia sebagai khalifah dan pusat kosmos. Di mana batasan antara ketegasan dan kelembutan hati itu? Kapankah saatnya pemimpin harus bersikap tegas dan adil bagi kepentingan mayoritas rakyat? Apakah layak seorang pemimpin menghamba pada status quo, tradisi leluhur, lalu mengabaikan hal-hal fundamental untuk berjuang dan berkorban bagi kemaslahatan umat?

Jadi, apa makna kekuasaan dan kepemimpinan itu? Di mana batasan antara kepatuhan rakyat dengan kedaulatan dan kemerdekaan pribadi? Bagaimana ketika seseorang harus taat pada arus kehidupan yang tak dipahami ujung-pangkalnya, bahkan terjebak dalam siklus yang dikendalikan penguasa untuk melumpuhkan daya nalar masyarakat?

Bagaimana seseorang harus menunjukkan pemihakannya? Apakah patut dituruti petuah-petuah sang mentor (mursyid) yang keliru dalam memberikan garis instruksi, hingga kita terperangkap memusuhi orang yang tak layak dijadikan musuh?

 

Menyongsong perubahan

            Memang tidak ada pilihan lain bahwa Indonesia harus siap menyongsong perubahan ke depan. Bagi pihak-pihak yang gemar berdebat secara arogan dan temperamental, mestinya tidak ada lagi tempat dan ruang yang memadai bagi maraknya egoisme dan kesombongan diri. Saat ini, kalangan jurnalis, sastrawan dan budayawan, semakin peka dan jeli untuk mengadakan sanering bagi karya-karya yang mumpuni demi kemaslahatan umat.

Mengenai konflik batin antara pendirian anak yang sudah memasuki era milenial, dengan orang tua yang masih “mendewakan” masa lalu, kita pun bisa bercermin pada tokoh Sodik dan ibunya (Marfuah) dalam novel yang ramai menjadi perbincangan publik, Perasaan Orang Banten. Di situ kita melihat sekesal-kesalnya perasaan orang tua, sejengkel-jengkel hati seorang ibu, ia masih tetap luluh dan terenyuh ketika anaknya pulang setelah bertahun-tahun berpisah dan tinggal di Kota Bandung. Bahkan, meskipun ia datang bersama seorang istri yang dinikahi tanpa sepengetahuan ibunya sendiri.

Masyarakat kita nampaknya sudah meninggalkan format kesusastraan yang bersumber dari perspektif tunggal yang terkesal mendengki dan mendendam. Sehingga, kita pun diperkenalkan oleh generasi milenial tentang maraknya karya sastra Indonesia yang dijuluki “sastra pendendam”, yang kurang mewakili khazanah dan wawasan keilmuan yang menyegarkan batin dan kalbu.

Setelah mudik dan pulang kampung, mengawali Syawal yang fitri ini, mari kita raih kemenangan menuju hati-hati yang bening dan bersih dari segala prasangka-prasangka buruk. Hendaknya setiap wacana intelektual terus dikembangkan untuk membangun kemandirian, solidaritas guna menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan yang semakin beradab dan berperikemanusiaan. ***

Related posts

Leave a Comment

six + eighteen =