Wanita Tercantik

 

Cerpen Supadilah Iskandar

———————————————————————————–

 

Suatu hari di musim hujan, persisnya pada minggu-minggu pertama bulan Februari, saya pernah berpapasan dengan seorang perempuan tercantik yang selama ini saya idam-idamkan. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa ini adalah penilaian saya pribadi, karena setiap orang punya seleranya sendiri-sendiri. Mungkin juga ada orang berpendapat bahwa kecantikannya biasa-biasa saja, tidak begitu spesial. Potongan rambutnya biasa saja, seakan dibiarkan tergerai dan disisir sekadarnya. Usianya juga sudah agak lanjut, mungkin di atas 30-an. Karena itu, sepantasnya dia dipanggil ‘Ibu’, paling tidak ‘Mbak’, jadi sudah kurang pas jika disebut gadis. Tapi menurut saya, bagaimanapun, perempuan itu adalah sosok wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini.

Silakan saja Anda pribadi punya selera tersendiri soal perempuan yang Anda idamkan. Misalnya, karena senyumnya yang mempesona, lesung pipitnya, bentuk wajahnya yang bulat atau oval, sorot matanya yang indah, bibirnya yang menawan, dagunya yang lancip atau terbelah, atau bahkan hidungnya yang mangir dan mancung.

Tetapi, apapun pendapat Anda, kalau seorang lelaki sudah terpaut hatinya pada seorang wanita, lalu menilainya sebagai perempuan tercantik, maka sosok itu sudah tak ada lagi tandingannya.

“Kemarin sore, saya sempat ketemu dengan perempuan tercantik yang saya idam-idamkan selama ini,” kata saya pada seorang sahabat karib.

“Di mana?” tanyanya.

“Di trotoar jalan Malioboro.”

“Terus, kamu ajak ngobrol?”

“Cuma berpapasan saja. Dia melangkah ke arah utara, dan saya melangkah ke selatan.”

“Lalu, kamu mengikutinya dari belakang?”

“Nggak.”

“Kenapa nggak kamu ajak ngobrol sambil duduk-duduk di bangku trotoar?”

“Kami cuma berpapasan. Itu saja.”

Tapi, benar juga kata sahabat saya itu. Seandainya saya menyapa dia dan menyempatkan waktu untuk ngobrol-ngobrol. Setidaknya hanya beberapa menit untuk berbincang-bincang sebentar. Tentu saya bisa tahu namanya, dan dia juga akan tahu nama saya. Kemudian, saya akan membahas betapa rumitnya cara kerja takdir, terutama soal mempertemukan lelaki dengan perempuan idaman hatinya, hingga sempat ngobrol-ngobrol di sekitar bangku trotoar pada awal Februari di musim hujan.

Seandainya takdir itu bisa kita atur sendiri, tentu saja akan mudah bagi saya untuk menyapanya, mengajaknya duduk-duduk di salah satu bangku di Jalan Malioboro, lalu makan-makan dan menonton film bertema cinta di Twenty One. Kemudian, kita arahkan lagi sang takdir, dengan mengadakan pertemuan yang kedua, ketiga, lalu bicara tentang rencana pernikahan, lalu menyelenggarakan resepsi pernikahan, dan berakhir dengan percintaan di atas ranjang. Wah, indah sekali hidup ini!

Tapi masalahnya, segala kemungkinan yang belum terjamah itu hanya sibuk menggedor-gedor hasrat dan keinginan dalam hati kita, tanpa sanggup kita atur serapi mungkin. Bahkan, seringkali tanpa sesuai dengan rencana yang kita harapkan.

Coba bayangkan, seandainya pada kesempatan itu saya sempat menyapanya, lalu mengajaknya duduk-duduk di salah satu bangku di sekitar trotoar, lalu saya katakan, “Apa kabar, Mbak? Apakah ada waktu untuk duduk-duduk di bangku sebelah situ?”

Ah, nanti malah saya dianggap salesman yang ingin menawarkan barang dagangan kepadanya. Atau begini saja: “Permisi, Mbak, jalan Ahmad Yani di sebelah mana, ya? Bisakah saya diantar sebentar ke arah situ?”

Mungkin dia akan berpikir, apa urusannya? Pakai harus diantar segala? Emangnya gue petugas kelurahan? Atau, barangkali saya harus bicara terus terang dan apa adanya: “Maaf, Mbak ini cantik sekali. Mbak adalah perempuan tercantik yang pernah saya jumpai sepanjang hidup saya.”

Lalu apa komentar dia? Ah, tentu saja dia nggak bakal percaya. Kalaupun percaya, mungkin dia akan takut berbincang-bincang dengan saya yang dianggapnya wong edan. Atau barangkali dia akan menjawab: “Boleh-boleh saja Mas menganggap saya sebagai wanita idaman, hanya masalahnya saya tak pernah memandang Mas sebagai laki-laki idaman saya.”

Wadduh! Ciloko! Bisa-bisa hatiku akan hancur lebur. Remuk redam. Padahal, saat ini usia saya menginjak 33, dan mestinya usia segitu sudah cukup berpengalaman untuk menjadi orang kuat berjiwa besar, serta berhati lapang untuk menerima segala bentuk penolakan cinta.

***

Sore itu cuaca cerah, matahari mulai turun di ufuk barat. Suasana sangat mendukung untuk berduaan bersama wanita tercantik dan mengajaknya ngobrol di bangku trotoar. Tercium harum bunga dari kios-kios yang menjual bunga-bunga indah dan semerbak di ujung jalan Malioboro. Perempuan cantik itu melintas dan berhenti untuk mengisi kuota internet di sebuah kios di samping penjual bunga. Ada kesempatan emas sebenarnya, untuk menyapanya, tetapi belum juga saya lakukan. Entah kenapa.

Dia duduk-duduk sebentar di sebuah bangku, dan nampaknya sedang mengirim pesan entah kepada temannya, keluarga atau saudaranya, atau bahkan kepada kekasihnya?

Dia mengenakan sweater berwarna abu-abu, tersenyum manis melihat layar handphone, kemudian wajahnya menengadah sambil tertawa sendirian. Saya tidak menaruh curiga atau khawatir sedikit pun, kenapa ia sampai tertawa sendiri. Karena boleh jadi, ada hal-hal menarik dan lucu yang sedang dilihatnya di layar handphone.

Saya mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan badan sejenak. Tiba-tiba, perempuan itu menghilang di tengah kerumunan.

Seketika saya masuk menyibak kerumunan, tetapi ke mana perempuan itu hengkang? Cepat sekali ia melangkah? Apakah dia menuju salah satu kios atau toko di sekitar itu? Ataukah ada teman yang menjemputnya kemudian berangkat bersama dengan kendaraan bermotor? Ke mana dia pergi?

Sore keesokannya, pada jam yang sama, sebelum jam yang sama malah. Saya mendatangi tempat yang sama. Saya mengambil posisi strategis untuk duduk-duduk menunggu di salah satu bangku. Sepuluh duapuluh menit, sejam dua jam berlalu, tetapi perempuan tercantik itu belum juga nongol. Atau mungkin saja dia tidak datang lagi, sama sekali, dalam sepanjang hidup saya.

Padahal, saya sudah mempersiapkan skenario sebagai bahan untuk berbincang-bincang dengannya. Bahkan saya mempersiapkan sebuah cerita sebagai bahan obrolan, yang diawali dengan kata-kata “pada suatu ketika”, kemudian akan saya akhiri dengan kata-kata “cerita yang menarik, kan?”

***

Pada suatu ketika, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu sekitar delapanbelas, dan gadisnya sekitar tujuhbelas tahun. Pemuda itu cukup tampan, dan gadis itu juga cantik dan menarik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti kebanyakan orang, merasa kesepian dalam kesendirian.

Keduanya percaya bahwa dalam kehidupan di dunia ini, setiap orang akan menemukan jodohnya, dan keduanya mesti saling mencintai satu sama lain. Kedua muda-mudi itu percaya adanya mukjizat sebagai sesuatu yang niscaya dan mesti terjadi.

Suatu hari di musim hujan, kedua muda-mudi itu saling berjumpa dan berpapasan di sekitar Jalan Malioboro.

“Luar biasa,” ujar si pemuda geleng-geleng kepala. “Sudah lama saya mencari-cari kamu, perempuan seperti kamu, dan barangkali kamu tidak percaya pada apa yang saya katakan. Tetapi sungguh, kamulah perempuan yang saya idam-idamkan selama ini.”

“Oya? Serius apa yang kamu bilang? Kalau begitu, firasat saya tepat sekali. Kamu juga adalah lelaki yang menjadi idaman saya selama ini!”

Mereka duduk di bangku trotoar, di antara kios-kios bunga di Jalan Malioboro. Kemudian, mereka saling berpegangan tangan, menceritakan kisah hidupnya masing-masing selama berjam-jam. Kini, tidak lagi mereka kesepian dalam kesendirian. Mereka telah menemukan dan dipertemukan jodohnya, dan mereka sangat mencintai satu sama lain. Mereka pun yakin bahwa pertemuan itu suatu pertanda dan mukjizat dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Namun demikian, masih ada sedikit keraguan yang mengganjal dalam hati mereka. Apakah benar keduanya adalah pasangan yang memang sudah jodohnya? Apakah mungkin hasrat dan impian itu terkabul begitu mudahnya?

Si pemuda mengamati wajah si gadis dengan seksama, lalu dia berkata, “Kalau memang benar kita ini pasangan yang berjodoh, mari kita uji dengan saling berpisah satu sama lain. Karena bagaimanapun, kalau kita memang jodoh, toh pada akhirnya kita bisa saling jumpa suatu hari nanti. Dan pada saat kita berjumpa, kita langsung mengadakan pernikahan, bagaimana?”

“Oke, baik kalau begitu, kita berpisah sekarang juga.”

Kemudian mereka pun berpisah. Si gadis melangkah ke arah utara, dan lelakinya melangkah ke arah selatan.

Kalau mereka yakin seratus persen, bahwa mereka sudah jodohnya, sebaiknya perpisahan itu tidak mesti terjadi. Tapi waktu itu, lantaran usia mereka masih belia, mereka belum bisa memutuskan untuk saling menikah.

Lalu, gelombang takdir menghempaskan mereka di jalannya masing-masing. Ada jalanan berliku, berkelok-kelok bahkan berkali-kali mereka terjerembab dalam jurang yang terjal bahkan teramat terjal. Gelombang itu menghempaskan mereka tanpa pandang bulu. Meski pada akhirnya, mereka saling menyadari bahwa setiap orang mengalami hal yang sama dalam hidup ini. Setiap orang mengalami pasang-surut, ujian dan cobaan silih berganti.

Ketika semua orang mengalami hal yang tak jauh berbeda, maka bukan ganasnya sang takdir yang menjadi persoalan. Apalagi Tuhan sudah berjanji bahwa takdir yang membebani hidup manusia, tidak akan melampaui kesanggupan manusia untuk memikulnya. Maka dari itu, bukan persoalan takdirnya melainkan persoalan manusia yang harus pintar menyikapi sang takdir. Harus sanggup memikul beban yang disodorkan sang takdir itu sendiri.

Mereka saling percaya bahwa kekasihnya pun mengalami hal yang sama dalam soal menghadapi pasang surutnya gelombang takdir.

Pada awal Februari 2020 di musim hujan, pandemi Covid 19 semakin merebak di seluruh dunia bahkan di wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Si pemuda dan si gadis menderita sakit flu, demam dan sesak napas. Mereka terkapar selama beberapa bulan di rumah sakit yang berbeda, namun sama-sama menampung dan menangani pasien Covid 19. Kini, mereka tak berdaya lagi, bahkan sama-sama lupa pada kenangan indah di usia tujuhbelas dan delapanbelas tahun.

Keduanya termasuk pribadi-pribadi yang ambisius dalam mengejar cita-cita, tetapi juga pribadi yang religius. Di usia mereka yang ke-30, keduanya terbilang sukses dalam bidang dan profesinya masing-masing. Juga sangat terpandang di tengah masyarakatnya. Selama mereka saling berpisah, mereka juga mengenal banyak teman dan sahabat dekat, baik dari kaum lelaki maupun perempuan. Tapi mereka tak pernah serius dalam hubungan bersama sahabat yang dicintai, paling banter hanya mencapai tujuhpuluh atau delapanpuluh persen. Tidak ada yang mencapai seratus persen.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga. Mendadak si pemuda telah berusia 33 tahun, dan si gadis berusia 32 tahun. Tetapi, seperti yang saya katakan tadi, keduanya terkapar tak berdaya karena terjangkit penyakit Covid 19. Berbulan-bulan lamanya mereka berbaring di rumah sakit…

***

Nah, kisah seperti itulah yang mau saya sampaikan kepada perempuan tercantik yang menjadi idaman saya itu. Kisah itu akan saya utarakan setelah saya mengajaknya duduk-duduk santai di salah satu bangku di trotoar Jalan Malioboro. Sehingga, dia pun akan penasaran pada akhir cerita, apakah kedua orang yang katanya jodoh itu pada akhirnya menikah atau tidak? Ataukah keduanya menjalani takdirnya masing-masing di tempat yang berbeda? Atau bahkan keduanya meninggal karena penyakit Covid 19 yang merebak di mana-mana? Siapakah yang bersalah jika nasib buruk justru menimpa orang-orang baik?

Lalu, saya pun menjelaskan, justru karena adanya pandemi Covid 19 yang mempertemukan keduanya, ketika mereka tiba-tiba dirujuk ke rumah sakit darurat yang merawat para pasien Covid 19 di Wisma Atlet, Kemayoran Jakarta. Ternyata, kedua pasien itu dirawat berdampingan di ruang yang sama, di antara ratusan ruang perawatan yang tersedia. Kedunya pun mendapat perawatan dari beberapa dokter dan perawat yang rela dan tulus mengabdi demi kesehatan dan pemulihan pasien dari penyakit Covid 19.

“Ira… benarkah ini Irawaty?!”

“Oh, ya ampun… benarkah ini Haris? Kenapa kamu bisa ada di sini?”

Keduanya saling bertatapan, terkesima, lalu saling tersenyum dan bersalaman. Tak lama kemudian, Haris pun berujar, “Saya nggak paham, Ira, saya nggak ngerti… barangkali ini sudah suratan takdir… apakah kamu masih ingat dengan rencana kita?”

“Ya, tentu saja saya masih ingat,” kata Irawaty sambil tersenyum gembira.

Karena keduanya mendapat perawatan dari para dokter dan perawat handal dan profesional, beberapa minggu kemudian kedua muda-mudi itu dinyatakan negatif dari virus Corona, kemudian melangsungkan pernikahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Cerita yang menarik, kan?

***

Pada hari Minggu sore, saya pun berhasil menemukan perempuan tercantik yang menjadi idaman saya itu. Ia sedang mengisi kuota internet di sebuah kios di Jalan Malioboro. Kemudian, ia duduk-duduk di salah satu bangku trotoar sambil menatap serius pada layar handphone sambil tersenyum gembira.

Seketika saya menghampirinya dan melangkah pelan-pelan ke arahnya. Sore itu juga, saya bertekad untuk menceritakan kisah Haris dan Irawaty, setelah berhasil mengajaknya berbincang-bincang di bangku tersebut. (*)

 

 

Tentang punulis:

Supadilah Iskandar, cerpenis dan kritikus sastra, menjadi pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan. Menulis cerpen di berbagai harian lokal, nasional dan media daring, di antaranya www.nu.or.id, alif.id, inilahbanten.com, Jurnal Toddoppuli, Radar Banten, Kabar Madura, Harian Haluan dan lain-lain.

 

Related posts

Leave a Comment

four − two =