SESEORANG DAN LANGKAH MISTERIUS ITU

Cerpen Lintang Alit Wetan

———————————————————————————-


 

 

Terdengar suara amat keras di suatu malam. Bum! Buk! Berkali-kali. Tanah bergetar hebat, hingga getarannya terasa sekali di sebuah rumah paling mewah dengan desain arsitektur loji minimalis, yang terletak di kampungku Dalang Jamid. Tidak ada desir angin bertiup, ketika mendadak seperti suara orang melangkah kedengaran lagi.
Kali ini lebih keras. Jelas. Ya, mirip langkah kaki orang memakai sepatu bot. “Gedebak…Gedebug…Gedebug…Gedebug!” berulang-ulang. Seperti jejakan kaki raksasa yang melangkah berirama.

Aneh. Tidak tampak sosok raksasa itu. Nah, ini pastinya bukan manusia! Tetapi, bagi warga kampung, mereka sudah paham. Sangat paham. Suara itu berasal dari kedatangan danyang penunggu dan penjaga kampung, yang dijuluki Si Mbah Karto Buka.

Sedangkan rumah termewah berbentuk loji di kampung itu, dulu adalah rumah Si Mbah Karto Buka, yang sekarang ditempati oleh Kasma, keturunan Mbah Karto Buka ke-10.
Orang-orang kampung bergegas menutup rapat-rapat dan mengunci pintu dan jendela rumah mereka. Bulu kuduk berdiri. Merinding. Takut. Semua mengalami ketakutan yang amat mencekam. Ibu-ibu, anak-anak dan eyang-eyang putri memancal selimut, menutupi sekujur tubuh. Sembari merapal doa-doa permohonan keselamatan, ayat Kursi, doa selawat, Al Fatihah kepada Gusti Allah SWT.
Lain halnya dengan para lelaki, semua berjaga-jaga dan mengintip dari balik bilik bambu yang berlubang. Batin mereka bertanya-tanya, “Apakah gerangan yang akan terjadi berikutnya, diluar rumah?”

Kemunculan danyang kampung dipercaya sanggup membuat seorang pencuri akan berputar-putar terus-menerus mengelilingi rumah yang akan dijadikan sasaran pencurian. Dan, bernyanyi lalu berjoget tanpa henti. Bahkan sampai hari menjelang pagi!

Tidak cuma itu, suara keras kehadiran danyang kampung yang mirip jejakan kaki raksasa, akan sanggup membuat pencuri seperti terkena sihir. Hingga koleng atau tidak tahu arah mata angin, pandangan mata selamur tidak melihat harta benda yang ada di dalam rumah yang akan dicuri, berkarung-karung beras di depan mata pun tidak tampak.
***
Karjo Belut, tidak paham hal-hal semacam itu. Sebagai seorang pencuri yang jumlah jam terbangnya sudah banyak, ia tidak percaya bahwa kehadiran danyang kampung akan membuat setiap pencuri yang berani masuk pekarangan rumah akan berputar-putar sampai pagi, hingga aksi pencurian gagal. Bagi Karjo Belut, nonsens, tidak masalah. Karjo Belut berprinsip sekali beraksi, bergepok-gepok harta benda mestinya sukses dibawa lari. Bodo amat!
***
Peristiwa tempo hari yang menghebohkan itu yakni kegagalan aksi penggarongan terhadap juragan tembakau Suharta oleh dua garong yang bermarkas di Celah Kledung: Jlamprang dan Jambrung. Malahan kedua orang saling bunuh demi menguasai harta benda hasil menggarong. Tidak menyurutkan nyali Karjo Belut.
Dari insiden itu, justru semakin menggebu semangat Karjo Belut beraksi tunggal alias sendirian. Kali ini ia bertekad bulat untuk menggasak harta benda rentenir Kasma.
“Ini misi rahasia. Insya Allah, sukses. Maka harta benda rentenir Kasma yang aku embat, akan menjadi milikku semua. Dan, langkah selanjutnya, adalah terserah kebijaksanaanku mutlak. Siapa pun tak aku izinkan ikut campur.”
“Status quo!” Gumam Karjo Belut.
“Aku sudah berencana, harta benda rentenir Kasma, seorang rentenir yang juga pencuri uang negara, akan aku bagikan pada seluruh warga kampungku, juga warga kampung sekitar, terutama yang terimbas pagebluk. Iya, benar!”
Karjo Belut terinspirasi dari kisah super hero Robin Hood di Inggris, berkat buku-buku serial super hero yang dibacanya.
“Kenapa tidak? Tidak ada yang salah. Seorang pencuri pun berhak untuk membaca buku-buku. Tidak ada yang melarang.” tandas Karjo Belut mantap.
***

Angin malam berhembus lembut, dingin. Dingin menusuk-nusuk tulang. Kawanan kera di pepohonan hutan di sekitar rumah rentenir Kasma, sepertinya terkena ajian sirep yang ditembakkan Karjo Belut. Tidak sedikit pun terdengar teriakan dari mulut kawanan kera yang sungguh cerewetnya. Hening.
Tercium bau kemenyan. Harumnya menyengat hidung yang apabila dihirup akan mematikan. Kasma yang masih tiduran, merasa ada sesuatu yang mencekik leher, dan perutnya bagai ditusuk-tusuk belati semiliar. Keringat dingin mengalir deras. Jantungnya berdegup kencang, tidak beraturan. Hari ini, semenjak sarapan, berkali-kali Kasma terkena serangan jantung. Dan, malam ini untuk kesekian kali, serangan jantung kronis, menyerangnya. Ditambah lagi dengan rasa aneh yang mengejarnya.
Tubuh Kasma terhuyung. Mirip batang-batang padi yang hampir panen, roboh disapu oleh angin puting beliung. Kasma tumbang oleh serangan jantung. Setelah sebelumnya, ia menghirup kemenyan berbau harum yang aneh.
“Maling!” teriakan Kasma dari kamar tengah rumahnya yang berbentuk loji. Sebelum roboh. Sepintas matanya sempat melihat sesosok lelaki sedang menggasak harta bendanya. Dan, lelaki itu adalah Karjo Belut.
***
“Gedebak…Gedebug…Gedebug…Gedebug!” langkah kaki tak berwujud manusia ini, terdengar lagi. Lebih keras. Bahkan semakin keras!
Ketika para asisten rumah tangga rentenir Kasma yang dibantu warga kampung sibuk berdoa selamatan selama tujuh malam, Karjo Belut sudah masuk berkali-kali dan berkeliaran di dalam rumah loji Kasma. Tidak ada yang melihat kejadian ini.
Hanya Karjo Belut yang melihat seorang lelaki berumur sekitar 90 tahun, berambut putih, berjambang putih memanjang, berserban sedang berdiri di dekatnya. Karjo Belut tidak mengenal lelaki itu.
Danyang Karto Buka berpakaian lurik, mengenakan pakaian khas priyayi keraton. Dipercaya, tutur katanya tegas, berwibawa, hemat kata. Sorot mata setajam burung Elang, kumis tebal menutupi bibir atasnya.
Ya, lelaki itu adalah Si Mbah Karto Buka. Leluhur dari Kasma. Danyang kampung Dalang Jamid. Tatapan matanya penuh kewibawaan dengan keangkeran aura mistis.
Konon, Si Mbah Karto Buka semasa hidupnya dahulu ialah seorang dalang. Ia sebenarnya, salah seorang pemimpin laskar perang Pangeran Diponegoro, yang bertempur di garis depan medan laga. Dan, mengatur siasat memperkuat pasukan tempur kerajaan dari wilayah Banyumas. Ia mahir mendalang wayang kulit. Sayang, pada sebuah pementasan wayang kulit, terjadi insiden. Di tengah kantuk, malam kian larut. Penabuh gongnya tidak dapat mengendalikan kantuk. Rasa kantuk yang menyengat, menjadikan penabuh gongnya memukul gamelan gong beruntun tak beraturan. Geger!
Si Mbah Karto Buka raib entah ke mana pada saat gegerkan gong, yang dikira penonton dan warga kampung, terjadi musibah. Bencana. Warga kampung meyakini hilangnya Mbah Karto Buka di saat mendalang disebabkan digondol demit. Sebagai penghormatan dan mengingat lupa atas peristiwa tersebut, maka kampungku dahulunya oleh para warga dinamakan Dalang Jamid.
***
Si Mbah Karto Buka memegang tangan Karjo Belut. Tangan ini tidak segera dilepaskan, tetapi semakin lama makin dirasakan panas seperti tersengat aliran listrik. Karjo Belut mengatupkan kedua kelopak matanya kuat-kuat. Mulutnya masih sempat menahan teriakan. Beberapa pasang mata warga kampung terbelalak. Kaget!
Sembari bertanya-tanya yang tak terjawab, sedang apa mereka itu? Hari menjelang pagi. Kokok ayam mulai terdengar bersahutan dari rumah-rumah penduduk. Di timur, ufuk merah menyemburat, perlahan meninggi.
Di depan loji milik Kasma. Seseorang terlihat berlari mengitari rumah loji itu, seperti putaran gasing, sambil berjoget dangdut. Seseorang itu adalah Karjo Belut, yang menjadi tontonan warga kampung***

Lintang Alit Wetan adalah nama pena dari Agustinus Andoyo Sulyantoro. Lahir di Dusun Dalang Jamid, Desa Kalialang, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jateng, 13 Mei. Karya fiksi alumni FPBS IKIP N Yogyakarta (UNY) tahun 1997 ini bertebaran di media massa cetak dan online baik lokal maupun nasional. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit Lingkar Mata di Pintu Gerbang (Gambang, 2015), kumpulan esai Banyumas dalam Prosa Nonfiksi (Gambang, 2016). Menyunting buku Perjamuan Cinta (2015), Manusia Jawa Modern (2016), Para Penuai Makna (2020), Tuan Tanah Kamandaka (2021). Email: aasulyantoro@gmail.com

Related posts

Leave a Comment

15 + eight =