ARTIKEL 

Sajak-sajak Sufistik Abdul Hadi WM, Dialektika Sastra dan Alquran

Oleh Ahmadun Yosi Herfada, pengajar dan pelayan sastra

—————————————————————————————-

Pengaruh tasawuf atau sufisme dalam khasanah sastra Indonesia mulai terlihat sejak masa sastra Melayu klasik pada akhir abad ke-16 Masehi. Sastra Melayu klasik pengaruh Islam pada masa itu selain ditandai dengan munculnya berbagai hikayat para nabi dan pahlawan Islam, juga ditandai dengan munculnya karya-karya penyair sufistik Hamzah Fansuri. Puisi panjangnya, “Syair Perahu”, sangat jelas memperlihatkan sikap hidup, ajaran, dan pandangan sufistik.

Jika ditelusur sampai ke masa kini, puisi sufistik atau puisi yang secara tematik dipengaruhi tasawuf memperlihatkan mata rantai yang cukup jelas pada karya-karya penyair sesudahnya. Misalnya pada masa Angkatan Pujangga Baru, warna sufistik itu sangat jelas pada sajak-sajak Amir Hamzah. Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, warna sufistik itu jelas terlihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M, Hamid Jabbar, dan Emha Ainun Najid. Mata rantai ini terus bersambung sampai perpuisian Indonesia mutkahir, terutama pada sajak-sajak Ahmad Nurullah, Achmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Rukmi Wisnhu Wardani, dan Lukman Asya. Bagi penyair Indonesia, sufisme bagaikan tema yang abadi dan tidak lekang oleh hempasan zaman.

Tulisan ini akan membahas pengaruh tasawuf pada sajak-sajak Abdul Hadi W.M. dengan menggunakan pendekatan intertekstual. Pendekatan ini akan mencoba melihat hubungan intertekstual sajak-sajak Abdul Hadi dengan konsep-konsep, simbol-simbol, dan ungkapan-ungkapan sufistik yang ditemukan dalam berbagai teks kesusastraan, kitab suci (Alquran), dan berbagai konsep lain yang mempengaruhi puisi-puisinya. Karena, pada dasarnya membicarakan warna sufistik pada karya sastra (puisi) adalah melakukan pendekatan dari segi ekstrinsik, yakni memahami karya sastra (puisi) dengan bertitik tolak dari masalah-masalah yang mempengaruhi proses penciptaan karya itu dari luar, misalnya, agama, filsafat, dan bahkan kitab suci.

Melakukan pendekatan intertekstual, berarti membaca dan memahami karya sastra dengan melihat pertaliannya dengan teks-teks lain di luarnya. Karena, tampilnya setiap teks (karya sastra), pasti memiliki pertalian dengan teks lain, atau dengan kata lain memiliki hubungan intertekstualitas. Boleh jadi, yang dimaksud sebagai teks dalam pembahasan ini adalah teks dalam pengertian luas sebagaimana dikemukakan Julia Kristeva. Dunia ini adalah bentuk dan struktur yang mempengaruhi aktivitas penulisan (Kristeva, 1981: 68). Karena itu, dunia ini dipandang sebagai sebuah teks.

Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami sebuah teks sastra secara lengkap. Dalam dua bukunya — Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979) — Kristeva mengingatkan pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam menafsir teks sastra. Menurutnya, sebuah teks sastra diciptakan di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

Pendekatan ini dipilih mengingat adanya kenyataan bahwa sajak-sajak Abdul Hadi pada umumnya amat pelik dan rumit, baik konsep-konsep pemikirannya, simbol-simbol yang dipergunakan maupun ungkapan-ungkapannya, sehingga sulit dipahami atau ditafsirkan tanpa bekal referensi dan teks yang luas. Puisi-puisi Abdul Hadi memiliki ciri umum sebagai lirik-lirik alam yang romantik dan didaktik, sebagaimana ciri yang dimiliki puisi-puisi sufistik pada umumnya. Dalam pembicaraan ini terutama akan dibahas puisi-puisi Abdul Hadi yang dipengaruhi oleh ayat-ayat suci Alquran, atau yang terinspirasi oleh ayat suci Alquran .

Sebagai ekspresi sufistik, setidaknya puisi-puisi Abdul Hadi memiliki tiga fungsi, yakni sebagai dzikrullah, ungkapan hubungannya dengan alam semesta, dan ungkapan hubungan dirinya dengan Tuhan. Agar tidak terlalu melebar, pembahasan akan difokuskan pada pada puisi-puisi religiusnya yang terkumpul dalam Meditasi (1976) dan Tergantung pada Angin (1977). Kalau dalam pembicaraan nanti disinggung pula puisi-puisinya dalam buku-buku lain, hanya kita maksudkan sebagai pembanding untuk mengetahui perkembangan konsep sufistik Abdul Hadi dan untuk menguatkan argumentasi.

Pengertian Puisi Sufistik

Istilah “puisi sufistik” merujuk pada dua pengertian. Pertama, puisi yang hidup dan berkembang di kalangan para sufi dan ditulis oleh kaum sufi. Kedua, karya sastra yang memiliki kandungan tema maupun isi yang bersifat sufistik, baik yang berupa renungan-renungan dan ajaran-ajaran tasawuf, maupun berupa ungkapan cinta dan kerinduan untuk “menyatu” dengan Tuhan ataupun ungkapan “kemanunggalan” dengan Tuhan.

Sedangkan istilah “puisi sufistik” saat ini dapat diberi pengertian yang lebih luas, tanpa mempersoalkan apakah karya sastra itu ditulis oleh seorang sufi atau oleh seorang penyair religius. Semua karya sastra yang bertema tasawuf, atau berisi tentang tasawuf, dapat disebut “puisi sufistik”. Istilah “puisi sufistik” untuk selanjutnya akan digunakan untuk menyebut semua karya sastra yang bertema tasawuf, berisi pandangan dan konsep tentang tasawuf, serta berisi pengalaman kerohanian dalam menempuh jalan sufistik.

Contoh-contoh puisi sufistik adalah puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Farid Attar, Ibnu Farabi, Muhammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Abdul Hadi H.W, Emha Ainun Najib, Ahmad Nurullah, Achmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Lukman Asya, dan Rukmi Wisnu Wardani. Pada karya-karya Rumi, misalnya, banyak sekali kita temukan kandungan ajaran-ajaran tasawuf yang meliputi jalan tasawuf, ajaran kearifan, kerinduan dan kecintaan kepada Allah, dan gambaran jarak antara Tuhan dan manusia.

Ciri-ciri umum puisi-puisi sufistik berupa lirik-lirik yang didaktik dan romantik. Ciri lirik yang romantik terlihat sekali pada puisi-puisi Abdul Hadi. Arberry (1985) dalam penelitiannya terhadap puisi-puisi Sufi Persia juga memasukkannya ke dalam tiga kategori utama itu (lirik, didaktik, dan romantik). Puisi-puisi sufistik bersifat lirik, karena pada umumnya merupakan ungakapan perasaan cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Puisi-puisi sufistik sebagian besar merupakan lukisan perasaan cinta dan kerinduannya itu melalui imaji-imaji yang indah.
Puisi-puisi lirik para penyair sufistik menjadi romantik, karena dalam mengungkapkan perasaan cinta dan kerinduannya pada Tuhan banyak dilukiskan dalam nada-nada yang sendu dan romantik. Lirik-lirik romantik secara lebih jelas dapat kita temukan pada puisi-puisi Amir Hamzah (1962), misalnya pada kutipan berikut ini:

DOA

Dengan doa kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama meningkat naik setelah menghalau panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa, menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihan, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar bersinar gelakku raya.

Puisi-puisi sufistik juga bersifat didaktik, karena di dalamnya banyak mengandung berbagai aspek ajaran Tasawuf, baik tentang kebijaksanaan hidup, maupun tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Bahkan sebenarnya, puisi-puisi sufistik itu banyak dijadikan sarana untuk menyampaikan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tasawuf.
Sedangkan kalau dilihat dari segi tema, maka puisi-puisi sufistik memiliki, setidaknya, empat tema pokok, yakni, kefanaan dan kekekalan, kematian, cinta ketuhanan, serta kemanunggalan dengan Tuhan. Keempat tema pokok sastra sufistik ini sejalan dengan tingkatan-tingkatan penghayatan kerohanian kaum Sufi terhadap hakekat kehidupan, yakni:

Pertama, mengamati dan merenungkan gejala-gejala kehidupan dan tanda-tandanya pada alam semesta, sehingga menemukan kesadaran bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah fana.

Kedua, dari kesadaran akan kefanaan hidup itu sampailah kesadaran manusia pada maut, bahwa semua manusia — bahkan semua kehidupan di alam smesta — akan sampai pada maut. Semuanya akan mati dan musnah, kecuali Tuhan.
Ketiga, dari kesadaran akan maut itu, tumbuh kesadaran bahwa manusia harus menumbuhkan rasa cinta kepada Tuhan dalam dirinya. Karena hanya dengan mencitai Tuhanlah manusia bisa mendapatkan balasan cinta dari Tuhan, untuk kemudian hidup kekal dalam cinta Tuhan setelah maut merenggutnya.

Keempat, dari kesadaran bahwa hanya dengan hidup dalam api cinta di sisi Tuhan manusia bisa mendapatkan kekekalan. Maka lahirlah kerinduan-kerinduan untuk “manunggal” dengan Tuhan, bukan saja di akherat kelak, tapi juga dalam kehidupan di dunia. Manusia berjuang dengan berbagai praktek peribadatan dan tarikat untuk mencapai tingkat makrifat (kemanunggalan dengan Tuhan). Dari sini pula kemudian muncul berbagai konsep kemanunggalan manusia dengan Tuhan seperti manunggaling kawul lan Gusti dalam kebatinan Jawa.

Intisari dari tahap-tahap penghayatan kerohanian terhadap hakekat kehidupan itu dapat dirujukkan pada Firman Allah: Semua yang ada di bumi itu fana (akan binasa). Dan akan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS 55:26-27). Oleh para penyair sufistik ayat itu dijadikan sebagai “gantungan” doktrin khas mereka tentang kefanaan. Sifat-sifat manusia yang fana, melalui “kemanunggalan” dengan Tuhan, mereka meraih kebakaan kehidupan spiritual di sisi Allah.

Dalam puisi-puisi sufistik, keselarasan antara pengalaman yang transenden dan immanen, antara yang kekal dan yang fana, antara komponen-komponen kerohanian, psikis dan sensual, berpadu menjadi kesatuan yang mempesona. Banyak puisi yang lahir dari pengalaman kerohanian yang dalam dan ekstase sufistik. Ungkapan-ungkapan puisinya kaya dengan simbol-simbol yang diambil dari sejarah atau kisah-kisah keagamaan, serta petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam Alquran, serta renungan atas kefanaan dan kekekalan hidup.

Puisi sebagai Dzikrullah

Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu fungsi puisi yang banyak ditulis oleh penyair sufistik modern Indonesia sejak Amir Hamzah hingga Abdul Hadi W.M. dengan memanfaatkan citraan-citraan alam yang indah. Sajak-sajak Abdul Hadi banyak sekali yang berupa lirik alam dalam bentuk dialog, nuansa-nuansa maupun sketsa-sketsa alam yang memancarkan nilai-nilai sufistik. Bahkan, hampir semua sajak penyair ini mengandung simbol-simbol alam, terutama laut, kemudian angin, embun, cahaya, daun, bunga, bulan, matahari, dan pohon. Kadang-kadang alam hadir sebagai lanskap biasa, kadang-kadang sebagai pendukung suasana hati. Pada sajak-sajak yang terkumpul dalam Meditasi (1976) dan Tergantung pada Angin (1977) pada umumnya hadir sebagai imaji-imaji simbolik untuk menyatakan pengalaman-pengalaman religius dan mistis. Dengan cara demikian penyair ini mencoba mengungkapkan penghayatannya terhadap sifat-sifat Tuhan, yakni Jalal (Maha Besar) dan Jamal (Maha Indah), sekaligus sebagai dzikrullah.

Dari 31 buah sajak yang terkumpul dalam Meditasi, 15 sajak diantaranya berupa sajak-sajak dialog dengan alam dan lanskap-lanskap alam yang sangat menarik, yakni sajak-sajak yang berjudul “Laut”, “Cengkerik”, “Nyanyian”, “Melati”, “Sehabis Hujan Kecil”, “Ke Mana”, “Gerimis”, “Nyanyian Kabut”, “Lanskap Malam Akhir Musim Hujan”, “Kusebut”, “Siang”, “Larut Malam, Hamburg Musim Panas”, “Atas Kabut”, “Untuk Sebuah Catatan Harian”, dan “Di Bawah Bulan yang Baru Muncul”. Sajak-sajak lainnya bertema tentang maut, pertanyaan tentang hakekat sesuatu, tanggapan penyair terhadap lingkungannya, sikap hidup penyair, dan keadaan keluarga.

Sedangkan 52 buah sajak yang terkumpul dalam Tergantung pada Angin hampir semuanya melukiskan hubungan manusia, baik penyair sendiri maupun orang lain, dengan alam dan lingkungannya, dalam bentuk lirik-lirik yang romantik. Setidaknya ada 22 sajak yang memperlihatkan gambaran demikian, yakni sajak-sajak yang berjudul “Tergantung pada Angin”, “Laut Luas”, “Dari Tawangmangu”, “Kuncup”, “Ombak Menghempas Lagi”, “Dipembaringan”, “Untuk yang Cepat Tidur”, “Ia Kecil”, “Kudengar”, “Anak”, “Mungkin Kau”, “Antara”, “Dari Rembang ke Rembang”, “Seperti Perahu”, “Aku Mengikut”, “Naiklah”, “Dari Tembok”, “Kemudian Kaususun”, “Ombak Itulah”, “Perahu”, “Beku”, “Doa II”, “Haiku I-II”, “Angin Segera Bersama Kita”, “Di Bumi tak Ada Bisik-bisik Lagi”, dan “Dekaplah”.

Dalam sajak-sajak itu terselip banyak gambaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan secara samar. Hanya ada satu sajak yang secara gamblang menggambarkan hubungan manusia (penyair) dengan Tuhan yang diungkapkan secara simbolis, yakni sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat“ (halaman 40) dan sebuah sajak yang menggambarkan hubungan Tuhan dengan alam semesta, yakni sajak “Doa II” (halaman 53). Sajak-sajak yang lain memiliki tema yang beragam yang diungkapkan melalui simbol-simbol alam.

Bagi Abdul Hadi, alam adalah sesuatu yang hidup, dan bahkan bisa diajak berbicara atau berdialog. Sejalan dengan firman Allah dalam QS 2:115 yang berbunyi: Ke manapun engkau menghadap, disanalah wajah Allah. Pada beberapa sajaknya, dengan manis ia berdialog dengan alam, seperti laut, pasir, ombak, angin, bunga, dan kabut. Alam pun setiap saat mengucapkan salam padanya:

LAUT

Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku
Selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah
Dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam
Menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? Atau kata-kata
Laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan perlahan-lahan
Selamat pagi laut kataku dan lautpun tersenyum, selamat pagi katanya
Suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun.…

(Meditasi, halaman 24)

Bahkan antara ombak, pasir, ruput-rumputan pun bisa berbincang-bincang:

Dan di atas sana hanya bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakkan dan alun yang berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan, dan rumput-rumput di atas karang dan burung-burung bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa

(“Laut” baris 9-10)

Dialog dalam suasana akrab antara penyair dengan alam, akhirnya membawa penyair ke dalam suatu persatuan dengan alam dalam suatu percintaan yang mesra:

Selamat pagi laut kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa
Kemudian bagai sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam….
aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya.

Dialog dengan alam dan penyatuan diri dengan alam itu pun kemudian menyeret penyair ke dalam suatu renungan tentang hekekat alam semesta ciptaan Tuhan itu. Dan, renungan tentang keberadaan alam itu pun sampai pada suatu kesadaran bahwa semuanya adalah fana, termasuk diri penyair, kecuali Sang Pencipta:
Kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser menggeser dan terkam menerkam
Kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami

(“Laut” baris 14-15)

Dengan pengahayatan alam secara mendalam, manusia akan sampai pada kesadaran akan kefanaan dirinya, karena dirinya tak ubahnya seperti sekeliling yang fana itu, yang akhirnya akan sampa ke maut juga. Maka akan sampailah pada kesadaran di hadapan Tuhan Yang Mahabesar, manusia sungguh tiada artinya. Dengan kesadaran ini manusia tidak akan merasa sombong di muka bumi, tetapi justru akan hidup dengan rasa cinta, cinta pada sesame, cinta pada alam. Karena sebagai khalifah di bumi, manusia telah dibebani tanggung jawa oleh Tuhan agar melestarikan alam dan tidak membuat kerusakan: Dan jangablah kau membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya (QS 7: 56).

Dengan menghayati alam itu pula manusia yang sadar akan merasa bersyukur kepada Tuhan, karena telah diberi kenikmatan hidup dan bisa menikmati alam yang maha indah. Dari sini kemudian akan timbul pengakuan bahwa Tuhan Maha Indah, Tuhan sumber segala keindahan dan menyukai keindahan. Dengan sifat-sifat-Nya inilah Tuhan menciptakan alam semesta dalam keadaan serba indah. Alam semesta adalah karya seni yang besar dan tak tertandingi. Di antara ciptaan-ciptaan Tuhan itu, manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan sempurna serta paling mulia. Karena itulah, manusia sudah sepatutnya merasa bersyukur kepada Tuhan, sebab sekuntum melati pun – yang diciptakan dengan kadrat keindahan yang sederhana – tahu mensyukuri karunia Tuhan. Wajahnya berseri-seri dalam mensyukuri nikmat Tuhan itu:

MELATI

Dalam semak ribut dan gelap
Sekuntum melati bersila merenungi sunyi
Apakah cahaya itu turun dari langit ataukah tidak
Wajahnya berseri-seri, warna putihnya cukup memberkati

(Meditasi, halaman 28)

Dari rasa syukur kemudian manusia akan selalu ingat dan taat pada Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, selalu berdzikir kepada Allah. Kalau alam semesta saja, yang perkasa selalu berdzikir, sujud, dan bertasbih pada Allah, maka sangatlah tidak patut kalau manusia yang diberi perasaan dan akal tidak mau berdzikir kepada Allah. Allah berfirman: Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang. Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman (QS 33: 41-43).

Alam semesta, bumi, langit, bulan, matahari, bintang-bintang, angin, laut, ombak, pohonan, dan bahkan kilat dan guntur serta gunung-gunung pun selalu bersujud dan bertasbih kepada Allah: Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) baying-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13: 15). KepadaNya bertasbih apa yang di langit dan juga burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS 24: 41). Guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, demikian pula para malaikat karena takut kepada-Nya (QS 13: 13).

Sebagaimana alam memiliki cara bertasbih dan dzikirnya masing-masing, penyair sufistik pun memiliki cara berdzikir dan bertasbih tersendiri. Di samping berdzikir secara lisan dan hati dengan mengucap “lailaha illallah” dan kalimat-kalimat tasbih serta tahmit lainnya, para penyair sufistik biasanya berdzikir melalui puisi-puisi yang menggambarkan keagungan Tuhan, yakni puisi-puisi yang melukiskan keindahan alam, dialog dengan alam, lanskap alam, dan berbagai imaji yang diambil dari alam sebagaimana dicontohkan Tuhan dalam ayat-ayat Alquran yang banyak menggunakan simbol-simbol dan imaji serta perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari alam semesta beserta isinya. Sebagaimana dikemukakan Muhammad Iqbal dan dilakukan Jalaluddin Rumi serta penyair-penyair sufistik lainnya, Abdul Hadi pernah mengemukakan bahwa puisi-puisi alam adalah salah satu bentuk dzikir seorang penyair.

Abdul Hadi banyak sekali menulis lirik-lirik alam atau sajak-sajak dzikir itu, bahkan sajak masa awal kepenyairannya. Puisi-puisi lirik alam sebagai bentuk dzikir seperti itu juga pernah ditulis oleh penyair sufistik Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan bayak penyair sufi Persia. Dalam buku Tergantung Pada Angin puisi-puisi seperti itu dapat kita lihat antara lain “Tergantung Pada Angin”, “Laut Luas”, “Dari Tawangmangu”, “Kuncup”, “Ombak Menghempas Lagi”, “Dari Rembang ke Rembang”, “Seperti Perahu”, “Aku Mengikut”, “Mantra”, “Naiklah”, “Pada Rumah-rumah Terhantar”, “Kemudian Kau Susun”, “Ombak Itulah”, “Doa II”, “Haiku I”, “Haiku II”, “Angin Segera Bersama Kita”, “Bahkan”, “Di Bumi Tak Ada Bisik-bisik Lagi”, ”Dekaplah”, dan “Kaulah”. Sajak-sajak tersebut kadang-kadang juga sekaligus menyimbolkan hubungan penyair (nanusia) dengan alam semesta, hubungan penyair dengan Tuhan atau simbol-simbol pernyataan pengalaman religius-mistis penyair dan kadang-kadang pula mewakili ungkapan kenangan manis penyair dengan seseorang:

KE MANA

Ke mana menyebar bauan mawar itu?
Bunganya telah tertimbun tanah
Jadi kusebut kenangan denganmu setiap desir angin
Yang mencari, kekasihku. Di antara burung yang cuma sendiri
Cemas tahu sayap-sayap birunya
Luruh meraba-raba langit yang putih semata.

(Meditasi, halaman 30)

Pada kutipan berikut ini akan terlihat jelas bahwa sajak-sajak alam Abdul Hadi bukan sekedar sketsa ataupun lanskap biasa, tetapi di dalamnya tergambar hubungan penyair dengan alam dan bahkan menyimpan semacam misteri:

DARI TAWANGMANGU

Kaulah kehijauan yang bangkit dari bukit-bukit dan air terjun,
Di mana aku pernah lewat dan menghirup
Kesegaran pagi dan kuntum melur
Sekarang aku tahu yang kau angkat dari tepi sungai
Dan kau biarkan abadi
Seperti nyawa sekarat, menggeliat, mungkin kau sedang menghiasiku
Dengan retakan-retakan air hujan
Dan keharuan waktu yang bergaram

(Tergantung pada Angin, halaman 11)

Sebagaimana telah dicontohkan Tuhan dalam Alquran yang tidak segan-segan membuat perumpamaan dengan benda-benda kecil, seperti lebah, semut, lalat, unta, buah tin, pohon zaitun, dan biji sawi; dalam menggarap imaji-imaji dan simbol-simbol alam, Abdul Hadi juga tidak hanya memakai simbol-simbol alam yang besar seperti matahari, bumi, cakrawala, dan laut. Tetapi juga banyak memakai simbol-simbol dan imaji-imaji dengan memanfaatkan benda-benda alam yang kecil, seperti bunga melati, kucing, daun, rumput, dan cacing. Karena, dengan demikian, penyair semakin melihat banyak tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Besar. Sebab, lebah pun merupakan tanda bagi yang mau berpikir (QS An Nahl: 69). Sabda Tuhan pula: Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan (QS 86: 17).

Dengan memperhatikan alam ciptaan Tuhan, baik yang besar maupun yang kecil, manusia akan bertambah iman kepada Allah, mengagungkan kebesaran-Nya, keindahan-Nya dan mensyukuri rahmat-Nya, sebagaimana sabda-Nya dalam QS Ar Ruum: 46: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan keadaanmu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya: mudah-mudahan kamu bersyukur.

Tanda-tanda alam, perumpamaan-perumpamaan dan imaji-imaji dalam Alquran itu banyak mengilhami puisi-puisi Abdul Hadi. Bahkan dengan memperhatikan alam yang sekecil-kecil itu sering membawa penyair pada kesadaran akan kefanaan dirinya, maupun maut. Seperti pada baris ini: seperti nyawa sekarat, menggeliat mungkin kau/ sedang menghiasiku dengan retakan-retakan air hujan/ dan keharuan waktu yang bergaram. (Dari Tawangmangu, bait 2). Kefanaan alam itu lebih jelas pada sajak “Sehabis Hujan Kecil”, yang disimbolkan pada daun yang gugur (terperanjat lepas):

Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angina bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas

(Meditasi, halaman 29)

Berbagai ungkapan berupa lirik-lirik alam itulah dzikir-dzikir yang menarik dari puisi sufistik Abdul Hadi. Karena, dengan berbagai penghayatan kepada alam itu penyair akan menyadari bahwa Tuhan Maha Besar (Jalal), Mahaindah (Jamal) serta hanya Tuhanlah Yang Mahakekal. Manusia (penyair) dengan begitu selalu mengingat Tuhan (dzikir), mendekati-Nya untuk meminta perlindungan-Nya, kemudian mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan menjadi penerang ketika ajaran Tuhan padam di muka bumi, seperti diungkapkan Abdul Hadi pada sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” berikut ini:

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

(Bait 4 dan 5)

Puisi untuk Memahami Kefanaan Hidup

Dengan membaca ekspresi sufistik Abdul Hadi melului puisi-puisi dialog dengan alam, kita juga diajak untuk memahami kefanaan hidup, bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini, di alam semesta ini, adalah fana, tidak abadi. Dengan fokus pembahasan pada sajak-sajak yang terkumpul dalam Tergantung pada Angin, terutama pada sajak-sajak yang menggambarkan hubungan penyair dengan alam, pembaca dapat merasakan kefanaan itu. Yang menarik pada sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini adalah dominannya dialog antara aku dan kau, di mana kata ganti kau banyak menunjuk pada sosok yang kabur, bahkan misterius; di samping beberapa diantaranya mengisyaratkan “kehadiran” dan kehendak Tuhan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Teeuw (1980: 140) dari 52 sajak yang dimuat dalam kumpulan itu tidak kurang dari 38 sajak menyebut secara eksplisit seorang “kau” di samping “aku” lirik. Ada sajak-sajak yang kata ganti “kau” dan “mu” mengarah pada “kehadiran” Tuhan. Adakalanya indentifikasi Tuhan diperjelas dengan pemakaian huruf besar, “Kau” dan “Mu”. Misalnya, dan sajak “Doa” (halaman 52-53), “Jalan” (halaman 55). Menurut Teeuw, adakalanya identifikasi kau dan mu tidak begitu jelas, tetapi kalau dibaca dengan seksama akan menunjukkan identifikasi Tuhan pula. Misalnya, sajak “Aku Mengikut” (halaman 26), “Kemudian Kaususun” (halaman 41), “Dari Rembang ke Rembang” (halaman 24), dan “Dialog Gelombang Tahun-tahunku” (halaman 54). A.Teeuw memasukkan sajak “Deru Angin” (halaman 39) dan “Di Bumi Tidak Ada Bisik-bisik Lagi” (halaman 61) ke dalam kategori ini:

DERU ANGIN

Deru angin yang tiba-tiba terhenti
Ke mana lautmu pergi, Kaudekap
Langit itu kembali
Di atas bumi dukamu tak habis bermimpi

Tawa kanak-kanak, gembira
Seperti ikan di air, yang tiba-tiba memancar
Dan lenyap di awan – malam
Tak sebutir bintang
Bahkan untuk menandakan kegelapan
O, kita di kamar pesakitan
Tidur dan mati, lampu-lampu terbakar
Membangunkan hanya malaikat Tuhan

1976

Bagi Abdul Hadi, alam semesta seisinya adalah teman yang akrab untuk diajak berdialog, teman yang selalu membuka diri untuk diajak merenungkan hakekat hidup dan kehidupan serta untuk mempertanyakan kemudian menemukan hakekat alam semesta itu sendiri dan hakekat diri penyair sebagai bagian dari alam itu. Karena itulah, sebagai bagian dari alam semesta, Abdul Hadi sangat tergantung padanya, alam semesta menjadi sumber dan dasar eksistensi manusiawi. Karena adanya alam semesta ciptaan Tuhan manusia bisa melangsungkan hidupnya, manusia bisa bernafas, bisa minum, bisa mendapatkan sumber-sumber makanan, dan bahkan bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu, penyair (manusia) sangat tergantung pada alam sebagaimana digambarkan pada sebagian besar sajak-sajak Abdul Hadi. Dan alam semesta pula yang menjadi dasar eksistensi manusiawi, penyair, dan manusia pada umumnya. Tanpa alam semesta eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan paling mulia diantara mahluk-mahluk ciptaan lainnya tidak akan terlihat. Bagaimana kita akan tahu bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika tidak ada ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya yang bisa dijadikan bandingan?

Semua itu merupakan tiga bentuk hubungan manusia dengan alam yang digambarkan dalam sajak-sajak Abdul Hadi, yakni alam sebagai teman berdialog penyair untuk menemukan hakekat kehidupan alam semesta, alam sebagai tempat bergantungnya kehidupan manusia, dan alam sebagai dasar eksistensi manusiawi manusia. Tiga bentuk hubungan penyair (manusia) dengan alam dalam kaitannya dengan ekspresi sufistik bisa meliputi alam sebagai teman berdialog untuk menghayati kefanaan, kekekalan, dan maut. Ekspresi sufistik ini tergambar pada sajak “Angin Segera Bersama Kita” (halaman 59). Setelah penyair mengamati alam, angin/ (yang) menghembus tanah-tanah hijau yang hilang, pelupuk (pantai)-mu (alam) (yang seolah) bergerak/ memberangkatkan lagi ombak (ke lautan), (alam yang) di dunia malam (setelah hancur/ punah/ setelah kehidupan dunia berakhir) tulang-belulang-(nya) tak bisa tegak (tak bisa hidup kembali).

Setelah melampaui dialog dan penghayatan yang intens dengan alam itu sampailah kesadaran penyair pada kebenaran bahwa sebenarnya atau pada hakekatnya alam semesta ini adalah fana. Dan penyair menemukan sesuatu yang kekal di balik bentuk-bentuk yang fana itu, yakni Sang Maha Pencipta dan ruh yang berada di balik (yang menghidupkan) alam semesta itu (bisa ruh manusia, ruh hewan atau ruh tetumbuhan) yang dilukiskan penyair pada bait ketiga: O, duka dunia! Kami yang asing/ bahkan dari hari-hari mati negeri kami sendiri/ menyaksikan sekarang/ betapa kekalnya segala yang tak dapat dibayangkan. Baris penutup dari sajak alam ini merupakan kesadaran yang sangat sufistik, bahwa segala yang tak terbayangkan, yang gaib, yakni Tuhan, adalah Mahakekal. Dan, segala ruh akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Sementara jasadnya yang fana akan lebur atau hancur oleh usia dan proses alamiah lainnya.

Sajak dialog dengan alam yang diakhiri dengan kesadaran akan kefanaan alam dan diri penyair sebagai bagian dari alam sangat nampak pula pada sajak “Dari Tawangmangu”. Setelah berdialog dengan alam pada bait pertama, dengan kehijauan (pohonan) yang bangkit (tumbuh) dari (di atas) bukit-bukit/ dan air terjun; maka sampailah penyair pada kesadaran akan kefanaan alam yang berarti juga kefanaan dirinya dan teringatlah ia akan mati: seperti nyawa sekarat, menggeliat, mungkin kau/ sedang menghiasiku dengan retakan-retakan air hujan/ dan keharusan waktu yang bergaram (bait kedua). Imaji kefanaan itu sangat terasa pada baris: mungkin kau sedang menghiasiku dengan retakan-retakan air hujan.

Kesadaran akan kefanaan melalui imaji-imaji atau simbol-simbol alam secara sangat pas juga dilukiskan Abdul Hadi pada baris terakhir sajak “Sehabis Hujan Kecil” (Meditasi, halaman 29) yang digambarkan dengan sehelai daun yang terperanjat (karena diterpa angin) dan lepas dari tangkainya. Bahkan sejak bait pertama sajak ini penuh dengan imaji kefanaan itu, retakan hujan yang jatuh (dan musnah) serta kelopak kembang yang memerah (yang sebentar lagi akan gugur):

SEHABIS HUJAN KECIL

Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas

1972

Sajak-sajak dialog alam Abdul Hadi, seringkali juga sekaligus menggambarkan ketergantungan manusia pada alam dan alam sebagai dasar eksistensi manusiawi manusia. Sajak “Angin Segera Bersama Kita”, misalnya, selain merupakan gambaran dialog penyair dengan alam untuk menghayati alam dan menemukan hakekat alam dan kehidupan, juga mengandung gambaran ketergantungan manusia pada alam, yakni pada bait kedua. Setiap kali penyair melihat cahaya bulan yang gemetar dan pucat menerpa dinding kamar, ia melihat seolah-olah ada seseorang yang berada di dalam penjaranya, yakni penjara alam yang berarti penjara kefanaan dan keterbatasan. Jiwa orang itu ingin kembali sebagai kumbang yakni bebas terbang mengembara, tapi penjara alam itu, penjara kefanaan dan keterbatasan itu, mengkungkungnya. Karena ia tak dapat lepas dari padanya, sebab hidupnya tergantung pada alam yang memenjaranya itu:

Setiap kali. Cahaya pucat bulan
Yang gemetar menerpa dinding kamar
Seperti ada seseorang di sana
Dalam penjaranya, merenungi belantara hampa
Dan jiwanya ingin kembali sebagai kumbang

(“Angin Segera Bersama Kita”, Meditasi, halaman 12)

Ungkapan “jiwanya ingin kembali sebagai kumbang mengingatkan” pada proses penciptaan manusia pertama maupun manusia-manusia kemudian. Sebelum ruh (nyawa) itu ditiupkan Tuhan ke jasad Nabi Adam yang diciptakan dari segenggam tanah liat atau ke tubuh janin di dalam kandungan, berada dalam kebebasan dan kekekalannya. Ruh yang masih dalam keadaan bebas ini diibaratkan penyair sebagai kumbang yang bisa terbang bebas di udara. Konsep pemikiran penyair tentang ruh sebagai sesuatu yang bisa terbang bebas dan lepas dari kefanaan juga terlihat pada sajaknya berikut ini:

RUH

Ruh meratap dan bersedih, sayang
Menggetar dalam permainan api
Maha dahsyat ini
Ruh tiada tidur, mengembara dengan sayapnya
Kudus dan putih

Hutan-hutan hangus terbakar
Ruh terbang dan minum arak
Dikoyak-koyak keinginan
Ruh meratap dan bersedih, sayang

Dan di bibir jasad yang bermimpi ini
Ruh mendahaga dan berlagu pedih

Dengan jasad
Ruh punya jarak waktu
Memintas-mintas
Jam dinding yang biru

(Laut Belum Pasang, halaman 10)

Setelah ruh itu ditiupkan Tuhan ke jasad manusia, ia menjadi terpenjara oleh dinding-dinding kefanaan yang melekat sebagai sifat jasad menusia. Sedangkan jasad menusia itu, sebagaimana kodratnya, selalu terikat oleh nafsu-nafsu jasmaniah atau oleh berbagai keinginan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan jasmani. Karena itulah, ruh yang kudus dan putih (kekal dan suci) sering merintih di dalam penjara berbagai keinginan jasmani itu, lebih-lebih kalau nafsu jasmani itu merupakan nafsu buruk yang berlawanan dengan kodrat sang ruh (fitrah manusia).

Menyadari akan kefanaan alam dan jasad manusia itulah para penyair sufistik sering merindukan untuk segera memasuki alam baka. Maka maut pun banyak menjadi tema-tema puisi mereka. Bahkan para sufi beranggapan bahwa kematian adalah suatu tanda kehidupan baru yang kekal, yakni kematian dalam mencapai makrifat. Hidup sebagai orang biasa yang terikat pada dunia semata-mata adalah fana, sedangkan hidup dalam cinta Tuhan, dalam api ketuhanan bersifat baka. Seperti dilukiskan baris sajak Jalaluddin Rumi, karena cinta kematian berubah menjai kehidupan, tema-tema cinta ketuhanan pun banyak mewarnai puisi-puisi penyair sufi seperti farid Attar, Ibnu Arabi, Iqbal, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan Abdul Hadi W.M.

Puisi Farid Attar (1983), “Musyawarah Burung” (Mantiqu’t-Thair) adalah karya besar penyair sufi yang bertema cinta ketuhanan, yang menceritakan perjalanan umat manusia menuju api ketuhanan dengan symbol-simbol berbagai jenis burung. Sedangkan pada sajak-sajak Abdul Hadi terbayang dalam sajak-sajak dialog alamnya yang hampir selalu sampai pada kesadaran akan kefanaan manusia, tentang maut, kekekalan ruh dan alam baka, yang puncaknya sampai pada sikap pasrah penyair secara total pada Tuhan untuk meraih cinta Tuhan atau api ketuhanan yang kekal itu. Misalnya, tergambar pada sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (Tergantung pada Angin, halaman 40).

Dalam kumpulan sajak Meditasi ada sajak panjang terdiri dari lima bagian, yakni “Meditasi”, yang dengan jelas menggambarkan proses atau perjalanan manusia dalam menuju api ketuhanan itu, atau lebih tepatnya potret pencarian manusia menuju api ketuhanan, api tauhid, dan iman. Sajak ini nampak diilhami Musyawarah Burung karya Farid Attar itu. Pada bagian pertama sajak itu (Meditasi, halaman 40) Abdul Hadi menyebut Farid Attar dan memakai simbol burung sebagaimana simbol yang dipakai Farid Attar. Dari segi intensitas pencariannya, sajak “Meditasi” yang dijadikan judul buku ini bisa disejajarkan dengan karya Farid Attar itu:

Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan.
Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera
nampak di depan kita sebuah gereja tua.
Ketika lonceng berbunyi beribu burung
terbang ke mana hendak mensucikan diri.
Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama,
selalu dinyanyikannya lagu yang sama
dan sesat di sarang yang sama.

Lalu kita dengar paduan suaranya.
Seperti deru angina di pantai.
“Demi Yesus, pahala surga dan kenikmatan,
akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya”,
begitu nyanyian mereka.
“Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf,
gembala Musa dan Muhammad
bentangkanlah pada kami jalan yang benar
dari aroma bintang dan buah-buahan”.

O, burung-burung, sudahkah kau baca
Farid Attar? Yerusalem dan Mekkah
tidak seluas hati dan jiwa ini.
Pohon-pohon rindang lebat
tumbuh juga dalam hatimu.

Pada bagian ketiga dan keempat sajak tersebut, tergambar bagaimana Abdul Hadi dengan intens mencari sandaran keimanannya. Ia mengembara dari agama yang satu ke agama lainnya. Sementara pada bagian kedua tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia) pada dunia (alam semesta). Ia mengibaratkan dunia sebagai perempuan tua yang selalu merayunya agar ia menyusu tetek perempuan itu sampai kering dan mandul. Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia yang tanpa diimbangi dengan upaya pelestarian, akan membuat alam kehabisan sumber daya dan mandul:

Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib
yang mengheningkan cipta dalam sebatang kayu.
Kebenaran kudapat dari embun dan mawar.
Abadi. Seperti ciuman perempuan
dan bintang-bintang. Tapi perempuan tua ini
selalu merayuku dan minta aku menyusu
pula hingga kering dan mandul teteknya.
Itulah dunia.

(Meditasi, halaman 47)

Cukup banyak sajak-sajak Abdul Hadi yang menggambarkan ketergantungan manusia pada alam, yang dibaliknya mengisyaratkan kefanaan alam dan kehidupan di dunia. Ciri umum yang perlu kita catat ialah bahwa gambaran itu muncul setelah di awali baris-baris sajak yang menggambarkan upaya penghayatan penyair terhadap alam, baik melalui dialog langsung dengan alam maupun pengamatan yang intens. Saking tergantungnya kehidupan manusia pada alam menurut pengamatan Abdul Hadi sampai-sampai dia melukiskan hubungan manusia dengan alam itu seperti benalu dengan pohon yang menjadi tempat bergantung hidupnya, seperti sajak “Ombak Itulah” berikut ini:

Dulu angin musim panaslah yang mendudukkan
aku di sampingmu dan atas ranjangmu
ia tambatkan desirnya memeluk tidurmu.
Kau pun terima aku seperti pohon menerima benalu
dan aku mengikutimu seperti mata batu
mengikuti suara di udara.

(Tergantung pada Angin, halaman 44)

Ungkapan-ungkapan, imaji-imaji dan simbol-simbol pada sajak-sajak Abdul Hadi, pada umumnya memang sulit dipahami dan ditafsirkan. Kebanyakan sangat ambigu, multi interpretable, atau bersayap ganda. Dan ini merupakan ciri umum dari puisi-puisi liriknya yang bersifat prismatis, sehingga kalau tidak berhati-hati dan tidak memiliki modal yang memadai dalam mendekatinya, bisa sampai pada penafsiran yang sesat (kurang tepat). Begitu juga dalam mendekati sajak “Ombak Itulah” tersebut. Seorang Teeuw (1980) saja tak berhasil membongkar misteri sajak ini. Uraiannya yang panjang lebar dalam Tergantung pada Kata (halaman 130-143) hanya melingkar-lingkar di luar makna sajak itu, karena ia tak berhasil menemukan kunci pembukanya, atau kunci yang dipakainya (pendekatan Barat) ternyata bukan jodohnya. Terbukti Teeuw sempat dibuat pusing hanya oleh lawan bicara penyair “kau” atau “mu” yang dianggapnya sangat ambigu.

Kunci-kunci pembuka yang berupa teks-teks yang mempengaruhi proses kelahiran sajak-sajak Abdul Hadi sangat berarti dalam mendekati dan membongkar makna sajak-sajak itu, yakni teks-teks ayat suci Alquran, teks lingkungan hidup penyair, kebiasaan menikmati keindahan alam, dan berbagai teks lain baik yang berupa puisi-puisi sufistik maupun konsep-konsep tasawuf. Dan kunci terpenting adalah ayat suci Alquran dan sikap penyair dalam memandang alam, yakni alam dianggap sebagai teman berdialog dalam melahirkan baris-baris puisinya.

Dengan sikap demikian itu penyair bisa sampai pada tingkat penghayatan alam yang sangat total yang membawanya sampai ke misteri alam itu, di mana ia bisa melihat adanya kesatuan atau hubungan antara dunia atas dan dunia bawah, dunia yang transenden dan immanen, bahkan antara dunia dalam dirinya (jagad kecil) dengan alam semesta (jagad besar) itu. Hasilnya adalah berbagai ungkapan yang mistis religius yang sangat sufistik. Kehidupan masa kecil Abdul Hadi yang banyak diwarnai suasana religius dan dekat dengan Alquran serta pergaulannya yang intensif dengan karya-karya sastra sufi, banyak mempengaruhi puisi-puisinya, setidaknya merupakan sumber ilham terbesar bagi kelahiran puisi-puisi sufistiknya.

Dengan kunci pembuka itu dapat melihat bahwa inti pemikiran Abdul Hadi pada bait kedua sajak “Ombak Itulah” terletak di baris ketiga, kau pun menerima aku seperti pohon menerima benalu, baris yang melukiskan ketergantungan penyair pada alam, yang bisa juga ditafsirkan sebagai simbol ketergantungan kehidupan manusia pada alam. Dalam ketergantungan itu, alam bagi penyair tetap merupakan misteri, seperti digambarkan melalui simbol yang cukup sulit ditafsirkan pada baris berikutnya: dan aku mengikutimu seperti mata batu mengikuti suara di udara.

Setiap manusia akan sampai di hari akherat yang kekal, tetapi untuk ini manusia harus menempuh kehidupan di dunia yang fana, seperti diungkapkan Abdul Hadi: dan memberi jalan pada pagi hari lain yang tak mungkin datang. Ungkapan hari lain yang menunjuk hari akherat ini mengingat adanya ungkapan matahari lain yang juga menunjuk hari akherat yang bisa dipakai dalam kepustakaan Timur. Suatu kesadaran dari penyair yang cukup sufistik. Karena kesadaran itu bisa mengandung kesadaran lain (secara tersirat) bahwa dunia ini adalah fana, sebagaimana kesadaran akan kefanaan yang banyak terdapat pada puisi-puisinya yang lain.

Eksistensi manusia dilukiskan Abdul Hadi sebagai sosok yang fana, tak ubahnya seperti kefanaan alam semesta ciptaan (mahkluk) Tuhan. Hanya ruhnya-lah yang kekal, yang akhirnya kembali ke sisi Tuhan. Sekalipun manusia bisa mendapatkan eksistensi di tengah alam semesta, sekalipun manusia bisa mengubah alam lingkungannya, mewarnainya dengan citra-citra dan kehendak yang manusiawi sebagaimana garam mewarnai air laut; manusia toh tetap fana juga, tak ubahnya seperti ciptaan Tuhan yang lain, karena alam sendiri itu pun selalu memahkotai manusia dengan tanda-tanda kefanaan:

Seperti nyawa sekarat menggeliat, mungkin kau sedang menghiasiku dengan retakan-retakan air hujan dan keharuan waktu yang bergaram

(“Dari Tawangmangu”, Tergantung pada Angin, halaman 11)

Suatu kesadaran yang sangat religius, bahkan sufistik, yang mengingatkan kita pada firman Tuhan dalam Alquran: Semua yang ada di bumi itu akan binasa (fana). Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS Ar Rahmaan: 26-27). Dan firman Tuhan pula: Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS Al Qoshash: 60).

Simbol Kemanunggalan dengan Tuhan

Gagasan sufistik yang paling tinggi adalah “bermanunggal” dengan Tuhan. Simbol kemanunggalan manusia (penyair) dengan Tuhan secara jelas tergambar pada sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Sajak yang dapat dikatakan sebagai puncak ungkapan sufistik Abdul Hadi itu juga menggambarkan kepasrahannya yang paling total pada kehendak Tuhan, suatu gambaran “kemanunggalan” sifat dan kehendak antara manusia dengan Tuhan:

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT

Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

1976

Dari bait pertama sampai bait terakhir sajak tersebut menyimbolkan kemanunggalan penyair dengan Tuhan. Pada bait pertama disimbolkan sebagai kemanunggalan api dengan panas: penyair mengibaratkan dirinya sebagai panas dalam api Tuhan. Pada bait kedua disimbolkan sebagai kemanunggalan kain dengan kapas: penyair mengibaratkan dirinya sebagai kapas dalam kain Tuhan. Pada bait ketiga disimbolkan sebagai kemanunggalan angin dan arahnya. Dan pada bait terakhir, penyair dalam gelap, mengibaratkan dirinya sebagai nyala pada lampu padam Tuhan.

Membaca perlambang-perlambang kemanunggalan manusia (penyair) dengan Tuhan secara sepintas pada sajak tersebut, terutama simbol kemanunggalan kain dengan kapas, di mana penyair melukiskan dirinya tiada terpisah dengan Tuhan, menyatu dalam diri Tuhan bagaikan kapas di dalam kain, tak terpisahkan, dan wujud kapas sudah hilang, lebur dalam wujud kain, hingga hanya tinggal wujud kain; maka pembaca akan segara menduga bahwa Abdul Hadi adalah penganut faham wahdatul wujud (kesatuan wujud) atau panteisme. Bukan tasawuf ahlussunnah. Tetapi kalau kita kupas sajak itu secara lebih dalam dan kita hubungkan dengan konsep-konsep pemikiran Abdul Hadi tentang tasawuf dan kita bandingkan konsep sufisme pada umumnya, dugaan itu akan meleset.

Kalau kita hanya melihat simbol-simbol kemanunggalan api dengan panas, lebih-lebih ungkapan kemanunggalan kain dengan kapas, secara sepintas, maka kita akan berpendapat bahwa ungkapan-ungkapan sajak itu adalah simbol ajaran hulul dalam konsep tasawuf wahdatul wujud, yakni manunggaling kawula lan Gusti. Tetapi kalau simbol-simbol kemanunggalan itu kita kupas lebih dalam lagi; maka akan terlihat bahwa menunggalnya penyair dengan Tuhan yang dilukiskan pada sajak itu adalah manunggal secara sifat dan kehendak. Karena, penyair dengan Tuhan digambarkan tetap memiliki jarak, dengan adanya ungkapan Tuhan, kita begitu dekat pada bait pertama, kedua dan ketiga, judul sajak, serta bait keempat yang hanya terdiri dari kalimat: Kita begitu dekat. Dekat, berarti masih ada jarak antara penyair dengan Tuhan, setidaknya jarak yang berupa perbedaan posisi dan dzat, yakni posisi penyair sebagai hamba (abdi) dan Tuhan sebagai Ma’bud (Penguasa) sebagaimana dalam tasawuf ahlussunnah. Dengan adanya jarak ini berarti penyair tidak lebur secara dzat dalam Diri Tuhan dan Tuhan tidak manunggal secara dzat dalam diri penyair.

Adanya simbol atau ungkapan kemanunggalan api dengan panas, kain dengan kapas, dan angin serta arahnya, selain untuk menyangatkan kedekatan penyair dengan Tuhan, juga untuk menyimbolkan kemanunggalan sifat dan kehendak penyair dengan sifat dan kehendak Tuhan. Penyair mengibaratkan dirinya sebagai panas dalam api Tuhan (Aku panas dalam apimu). Panas adalah salah satu sifat dari api, di mana dalam alam pemikiran tasawuf ahlussunnah adalah dua hal yang berbeda, walaupun tak terpisahkan. Panas adalah sifat dan pancaran dari api, tapi bukan api itu sendiri. Begitu juga antara angin dan arahnya. Arah adalah sifat atau gerakan angin, tapi arah bukanlah angin itu sendiri. Ini bisa dirujukkan dengan alam pemikiran tasawuf ahlussunnah, bahwa sifat-sifat Tuhan dengan Dzat Tuhan adalah dua hal yang berbeda, meskipun tak terpisahkan.

Sedangkan simbol kemanunggalan kain dengan kapas, di mana penyair mengibaratkan dirinya sebagai kapas dalam kain Tuhan, mestilah dipahami sebagai kemanunggalan penyair dengan ajaran-ajaran Tuhan, kehendak dan sifat-sifatnya. Ungkapan kainmu berarti kain milik Tuhan. “Mu” adalah kata ganti empunya untuk Tuhan. Maka kain dapat ditafsirkan sebagai alam semesta setidaknya lingkungan sekeliling penyair yang tercipta atas salah satu sifat Tuhan yakni Maha Berkehendak (Iradat). Sebagaimana kapas dengan kain, penyair, hidup dan eksistensinya tak terpisahkan dari alam sekelilingnya. Penyair atau manusia adalah unsur terpenting dari lingkungan, sebagaimana kapas merupakan unsure terpenting dari kain. Di dalam kain, keberadaan kapas tergantung pada kain.

Begitu juga di alam semesta, keberadaan penyair (manusia pada umumnya), terutama kelangsungan hidupnya, tergantung pada alam. Ini sebagaimana banyak digambarkan pada sajak-sajak Abdul Hadi yang lain. Tetapi manusia (penyair) bisa memiliki peranan penting sebagai khalifah Tuhan di bumi untuk membentuk dan mewarnai alam lingkungannya, sebagaimana kapas berperanan penting dalam membentuk kain. Inilah eksistensi manusia di tengah alam semesta, sebagai wakil Tuhan, menurut Abdul Hadi, sesuai dengan kehendak Tuhan yang tertulis dalam firman-firman-Nya.

Simbol kemanunggalan api dengan panas: aku (penyair) panas dalam apimu (api milik Tuhan), di samping dapat ditafsirkan sebagai kemanunggalan penyair dengan sifat dan kehendak Tuhan, secara lebih luas dan mendalam dapat ditafsirkan sebagai kepasrahan penyair secara total ke dalam api ketuhanan atau semangat ketuhanan (semangat keagamaan), yakni kepasrahan penyair untuk menyatu dengan kehendak Tuhan, melaksanakan ajaran-ajaran-Nya, beribadah secara total, melaksanakan syariat dan menjauhi segala larangan Tuhan. Ini sejalan dengan pernyataan penyair sendiri: Sebenarnya Tuhan itu tidak jauh dari diri kita. Hanya untuk mendapatkan (mendekati) tidak mudah. Manusia harus berupaya lahir batin, beramal dan mengerjakan ibadah, mentaati syariat ajaran agama, serta mendalami agama benar-benar.

Agama memiliki dua dimensi penting, dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahirnya berujud ibadah formal atau syariat. Dimensi batinnya adalah tasawuf. Keduanya tak boleh ditinggalkan agar kehidupan beragama kita tidak timpang. Tanpa tasawuf, kehidupan beragama kita akan kering. Dan tanpa syariat, kita tidak bisa mendisiplinkan diri. Padahal disiplin batin manuntut pula disiplin jasmani. Kita dapat membayangkan apabila bentuk-bentuk ibadah formal ditinggalkan: kekhasan suatu agama akan lenyap dan barangkali agama itu sendiri tidak akan ada lagi. “Inilah sebabnya saya menjalankan ibadah formal atau syariat itu. Kecuali naik haji. Untuk yang ini saya belum kuasa.” Serta tercermin dalam kehidupan sehari-hari Abdul Hadi, yang penuh dengan kesederhanaan, rendah hati dan taat beribadah.

Penyerahan diri secara total dalam semangat keagamaan itu kemudian mencapai puncaknya pada kesediaan penyair untuk menjadi api semangat keagamaan itu sendiri: Dalam gelap/ kini aku nyala/ pada lampu padammu (bait terakhir sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat”). Penyair menyediakan dirinya untuk menjadi nyala semangat ketuhanan yang dapat menerangi lingkungannya. Walaupun ajaran-ajaran agama ditinggalkan orang, yang diibaratkan penyair sebagai lampu padam, penyair menyediakan dirinya untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran itu, menjadi nyala, yang dapat meneruskan ajaran-ajaran itu kepada orang lain, untuk menjadi penerang atau cahaya kegelapan, cahaya kehidupan.

Ungkapan “Tuhan, kita begitu dekat” pada sajak itu mengingatkan kita pada Firman Tuhan dalam Alquran: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat (QS Al Baqarah: 186). Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS Qaaf: 16). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tasawuf yang mendasari konsep hubungan manusia dengan Tuhan pada sajak-sajak Abdul Hadi – sejalan dengan konsep-konsep pemikirannya – adalah tasawuf ahlussunnah. Abdul Hadi tetap menganggap ada jarak antara Tuhan dengan manusia (dirinya), walaupun jarak itu sangatlah dekat.

Penutup

Pendekatan intertekstual membawa pembaca kepada teks-teks yang mempengaruhi atau menjadi sumber inspirasi bagi proses kelahiran sajak-sajak Abdul Hadi. Teks-teks itu meliputi konsep-konsep tentang tasawuf, puisi-puisi sufistik, ayat-ayat suci Alquran, dan pengalaman keagamaan penyair. Kehidupan masa kecil Abdul Hadi yang banyak diwarnai suasana religius dan dekat dengan Alquran serta pergaulannya yang intensif dengan karya-karya sastra sufistik, banyak mempengaruhi puisi-puisinya, setidaknya merupakan sumber ilham bagi kelahiran puisi-puisi sufistiknya. Puisi menjadi jalan untuk mengingat Allah, ekspresi tasbih dan dzikir, memahami kefanaan hidup, serta jalan untuk “bermanunggal” dengan Tuhan.

Dalam puisi-puisi Abdul Hadi, alam selalu bertasbih, berdzikir menyebut nama-Nya beserta Kebesaran-Nya. Bunga-bunga yang mekar pagi hari menyebarkan harumnya, buah-buahan yang bergelantung di pohon-pohonnya, angin yang bertiup pagi dan sore, laut yang selalu bernyanyi melalui ombaknya, bulan dan matahari serta bintang-bintang yang setia beredar pada garis edarnya; dalam puisi-puisi sufistik Abdul Hadi; merupakan pernyataan sujud dan dzikir alam semesta pada Tuhan Sang Maha Pencipta. Bahkan sekuntum melatipun tahu bersyukur karena diciptakan Tuhan sesuai dengan kodrat keindahannya: Dalam semak rebut dan gelap/ sekuntum melati bersila merenungi sunyi/ apakah cahaya itu turun dari langit atau tidak/ wajahnya berseri-seri. warna putihnya cukup memberkati (“Melati”, Meditasi, halaman 28).

Berbagai teks yang mempengaruhi dan sumber inspirasi itu diolah sedemikian rupa sehingga muncul kembali sebagai imaji-imaji dan simbol-simbol yang khas serta kreatif. Dengan demikian, berbagai pengaruh itu, sedikitpun tidak mengurangi bobot dan nilai kreativitas Abdul Hadi sebagai penyarir sufistik terpenting dalam khasanah perpuisian kontemporer Indonesia. Sajak-sajaknya perlu diapresiasi dan dimasyaratkan secara lebih luas untuk literasi sastra sekaligus literasi sufistik.***

Daftar pustaka
1. Al-Kamil, Musaf. 2017. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Darus Sunnah.
2. Arberry, AJ. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Terjemahan Bambang Irawan. Bandung: Mizan Pustaka.
3. Attar, Fariduddin. 1983. Musyawarah Burung. Terjemahan Hartoyo Andangjoyo. Jakarta: Pustaka Jaya.
4. Hadi W.M., Abdul. 1976. Meditasi. Jakarta: Pustaka Jaya.
5. Hadi W.M., Abdul. 1977. Tergantung pada Angin. Jakarta: Pustaka Jaya.
6. Hadi W.M., Abdul. 1985. Rumi, Sufi, dan Penyair. Bandung: Pustaka.
7. Hamzah, Amir. 1982. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
8. Kristeva, Julia. 1974. Revolution in Poetic Language. Translatet by Margaret Waller. New York: Columbia University Press.
9. Kristeva, Julia. 1979. Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. Edited by Leon S. Roudies. New York. Columbia University Press.
10. Teeuw, A. Prof. Dr. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Foto diambil dari nusantara.news

Related posts

Leave a Comment

twenty − 3 =