KRITIK 

MENGUNGKAP RAHASIA SUFISTIK DALAM SAJAK

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pengajar dan pelayan sastra

—————————————————————————————-

 

Religiusitas selalu menyertai kehidupan puisi Nusantara sejak dulu hingga kini. Religiusitas itu dapat kita temukan pada puisi-puisi Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan yang masih kuat jejak Islamnya. Inti dari religiusitas itu, yang paling terasa, adalah nilai-nilai tasawuf atau sufisme. Dalam khasanah sastra Indonesia pengaruh tasawuf sudah mulai terlihat sejak masa sastra Melayu klasik pada akhir abad ke-16 Masehi. Sastra Melayu klasik pengaruh Islam pada masa itu selain ditandai dengan munculnya berbagai hikayat para nabi dan pahlawan Islam, juga ditandai dengan munculnya karya-karya penyair sufistik Hamzah Fansuri. Puisi panjangnya, “Syair Perahu”,  sangat jelas memperlihatkan sikap religius dan pandangan sufistik.

Jika ditelusur sampai ke masa kini, puisi sufistik atau puisi yang secara tematik dipengaruhi tasawuf memperlihatkan mata rantai yang cukup jelas pada karya-karya penyair sesudahnya. Misalnya pada masa Angkatan Pujangga Baru, warna sufistik itu sangat jelas pada sajak-sajak Amir Hamzah. Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, warna sufistik itu jelas terlihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Hamid Jabbar, dan Emha Ainun Najid. Mata rantai ini terus bersambung sampai perpuisian Indonesia mutkahir, terutama pada sajak-sajak Ahmad Nurullah, Achmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Rukmi Wisnhu Wardani, dan Lukman Asya. Bagi penyair Indonesia, sufisme bagaikan tema yang abadi dan tidak lekang oleh hempasan waktu.

——————————————-

Gambar diambil dari:  puisibijak.com

——————————————-

 

Tulisan ini akan mengungkap misteri sufistik pada puisi-puisi Indonesia kontemporer, terutama sajak-sajak Abdul Hadi W.M., yang merupakan pelopor pemikiran tasawuf dalam sastra Indonesia kontemporer. Pembahasan tentu dapat diperluas ke puisi-puisi Indonesia lain yang mengandung nilai-nilai sama. Dalam membahas sajak-sajak Abdul Hadi, penulis akan menggunakan pendekatan intertekstual. Pendekatan ini akan mencoba melihat hubungan intertekstual sajak-sajak Abdul Hadi dengan konsep-konsep tasawuf, kitab suci, dan ungkapan-ungkapan sufistik yang ditemukan dalam berbagai teks kesusastraan yang mempengaruhi kelahiran puisi-puisinya.  Karena, pada dasarnya membicarakan nilai sufistik pada karya sastra (puisi) adalah melakukan pendekatan dari aspek ekstrinsik, yakni memahami puisi dengan bertitik tolak dari teks-teks  yang mempengaruhi proses kelahiran karya itu.

Melakukan pendekatan intertekstual, berarti membaca dan memahami karya sastra dengan melihat pertaliannya dengan teks-teks lain  sebelumnya. Karena, tampilnya setiap teks (karya sastra), pasti memiliki pertalian dengan teks lain, atau dengan kata lain memiliki hubungan intertekstualitas. Boleh jadi, yang dimaksud sebagai teks dalam pembahasan ini adalah teks dalam pengertian luas sebagaimana dikemukakan Julia Kristeva. Dunia ini adalah bentuk dan struktur yang mempengaruhi aktivitas penulisan (Kristeva,  1981: 68). Karena itu, dunia ini dipandang sebagai sebuah teks.

Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami sebuah teks sastra secara lengkap. Dalam dua bukunya — Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979) —  Kristeva mengingatkan pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam menafsir teks sastra. Menurutnya, sebuah teks sastra diciptakan di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

Pendekatan ini dipilih mengingat adanya kenyataan bahwa sajak-sajak Abdul Hadi pada umumnya amat pelik dan rumit, baik konsep-konsep pemikirannya, simbol-simbol yang dipergunakan maupun ungkapan-ungkapannya, sehingga sulit dipahami atau ditafsirkan tanpa bekal referensi dan teks yang luas. Secara umum, puisi-puisi Abdul Hadi memiliki ciri sebagai lirik-lirik alam yang romantik dan didaktik, sebagaimana ciri yang dimiliki puisi-puisi sufistik pada umumnya. Pendekatan serupa ini juga dapat dicoba ketika mengungkap misteri sufistik sajak-sajak Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi, Hamid Jabbar dalam puisi panjangnya, “Laila Majenun Hamba”, dan Emha Ninun Najib dalam 99 untuk Tuhanku.

Arberry (1985) dalam penelitiannya terhadap puisi-puisi Sufi Persia juga mengelompokkannya ke dalam tiga kategori utama itu (lirik, didaktik, dan romantik). Puisi-puisi sufistik bersifat lirik, karena pada umumnya berupa lirik-lirik yang berisi ungakapan perasaan cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Puisi-puisi sufistik sebagian besar merupakan lukisan perasaan cinta dan kerinduannya itu melalui imaji-imaji alam yang indah.

Tulisan ini lebih khusus akan membahas puisi-puisi Abdul Hadi yang terinspirasi oleh teks-teks Alquran[1], teks-teks puisi sufistik, dan pengalaman keagamaan penyair. Agar tidak terlalu melebar,  pembahasan akan difokuskan pada pada puisi-puisi yang terkumpul dalam Meditasi (1976) dan Tergantung pada Angin (1977). Kalau dalam pembicaraan nanti disinggung pula puisi-puisinya dalam buku-buku lain, dan puisi-puisi karya penyair lain, hanya dimaksudkan sebagai pembanding untuk mengetahui perkembangan konsep nilai sufistik dalam sastra Indonesia.

 

Puisi sebagai Dzikrullah

Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu ciri puisi yang banyak ditulis oleh penyair sufistik modern Indonesia sejak Amir Hamzah hingga Abdul Hadi W.M.  dengan memanfaatkan citraan-citraan alam yang indah. Sajak-sajak Abdul Hadi banyak sekali yang berupa lirik alam dalam bentuk dialog, nuansa-nuansa maupun sketsa-sketsa alam yang memancarkan nilai-nilai sufistik. Bahkan, hampir semua sajak penyair ini mengandung simbol-simbol alam, terutama laut, kemudian angin, embun, cahaya, daun, bunga, bulan, matahari, dan pohon. Kadang-kadang alam hadir sebagai lanskap biasa, kadang-kadang sebagai pendukung suasana hati. Pada sajak-sajak yang terkumpul dalam Meditasi (1976) dan Tergantung pada Angin (1977) pada umumnya hadir sebagai imaji-imaji simbolik untuk menyatakan pengalaman-pengalaman religius dan mistis. Dengan cara demikian penyair ini mencoba mengungkapkan penghayatannya terhadap sifat-sifat Tuhan, yakni Jalal (Maha Besar) dan Jamal (Maha Indah), sekaligus sebagai dzikrullah.

Dari 31 buah sajak yang terkumpul dalam Meditasi, 15 sajak diantaranya berupa sajak-sajak dialog dengan alam dan lanskap-lanskap alam yang sangat menarik, seperti sajak-sajak yang berjudul “Laut”, “Cengkerik”, “Nyanyian”, “Melati”, “Sehabis Hujan Kecil”, “Ke Mana”, “Gerimis”, dan “Nyanyian Kabut”. Sajak-sajak lainnya bertema tentang maut, pertanyaan tentang hakekat sesuatu, tanggapan penyair terhadap lingkungannya, sikap hidup penyair, dan keadaan keluarga.

Sedangkan 52 buah sajak yang terkumpul dalam Tergantung pada Angin hampir semuanya melukiskan hubungan manusia, baik penyair sendiri maupun orang lain, dengan alam dan lingkungannya, dalam bentuk lirik-lirik yang romantik. Setidaknya ada 22 sajak yang memperlihatkan gambaran demikian, seperti sajak-sajak yang berjudul “Tergantung pada Angin”, “Laut Luas”, “Dari Tawangmangu”, “Kuncup”, “Ombak Menghempas Lagi”, “Dipembaringan”, “Untuk yang Cepat Tidur”, “Ia Kecil”, “Kudengar”, “Anak”, “Mungkin Kau”, “Antara”, dan “Dari Rembang ke Rembang”.

Dalam sajak-sajak itu terselip banyak gambaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan secara samar. Hanya ada satu sajak yang secara gamblang menggambarkan hubungan manusia (penyair) dengan Tuhan yang diungkapkan secara simbolis, yakni sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat“ (halaman 40) dan sebuah sajak yang menggambarkan hubungan Tuhan dengan alam semesta, yakni sajak “Doa II” (halaman 53).

Bagi Abdul Hadi, alam adalah sesuatu yang hidup, dan bahkan bisa diajak berbicara atau berdialog. Sejalan dengan firman Allah dalam QS 2:115 yang berbunyi: Ke manapun engkau menghadap, disanalah wajah Allah. Pada beberapa sajaknya, dengan manis ia berdialog dengan alam, seperti laut, pasir, ombak, angin, bunga, dan kabut. Alam pun setiap saat mengucapkan salam padanya:

 

LAUT

 

Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku

Selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah

Dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam

Menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? Atau kata-kata

Laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan perlahan-lahan

Selamat pagi laut kataku dan lautpun tersenyum, selamat pagi katanya

Suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun.…

 

(Meditasi, halaman 24)

 

Dialog dengan alam dan penyatuan diri dengan alam itu pun kemudian menyeret penyair ke dalam suatu renungan tentang hekekat alam semesta ciptaan Tuhan itu. Dan, renungan tentang keberadaan alam itu pun sampai pada suatu kesadaran bahwa semuanya adalah fana, termasuk diri penyair, kecuali Sang Pencipta:

Kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser menggeser dan terkam menerkam

Kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami

 

(“Laut” baris 14-15)

 

Dengan pengahayatan alam secara mendalam, manusia akan sampai pada kesadaran akan kefanaan dirinya, karena dirinya tak ubahnya seperti sekeliling yang fana itu, yang akhirnya akan sampa ke maut juga. Maka akan sampailah pada kesadaran di hadapan Tuhan Yang Mahabesar, manusia sungguh tiada artinya. Dengan kesadaran ini manusia tidak akan merasa sombong di muka bumi, tetapi justru akan hidup dengan rasa cinta, cinta pada sesame, cinta pada alam. Karena sebagai khalifah di bumi, manusia telah dibebani tanggung jawa oleh Tuhan agar melestarikan alam dan tidak membuat kerusakan: Dan jangablah kau membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya (QS 7: 56).

Dengan dzikrullah itu, dengan menghayati alam, manusia yang sadar akan merasa bersyukur kepada Tuhan, karena telah diberi kenikmatan hidup dan bisa menikmati alam yang maha indah. Dari sini kemudian akan timbul pengakuan bahwa Tuhan Maha Indah, Tuhan sumber segala keindahan dan menyukai keindahan. Dengan sifat-sifat-Nya inilah Tuhan menciptakan alam semesta dalam keadaan serba indah. Alam semesta adalah karya seni yang besar dan tak tertandingi. Di antara ciptaan-ciptaan Tuhan itu, manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan sempurna serta paling mulia. Karena itulah, manusia sudah sepatutnya merasa bersyukur kepada Tuhan, sebab sekuntum melati pun – yang diciptakan dengan kadrat keindahan yang sederhana – tahu mensyukuri karunia Tuhan. Wajahnya berseri-seri dalam mensyukuri nikmat Tuhan itu:

 

MELATI

 

Dalam semak ribut dan gelap

Sekuntum melati bersila merenungi sunyi

Apakah cahaya itu turun dari langit ataukah tidak

Wajahnya berseri-seri, warna putihnya cukup memberkati

 

(Meditasi, halaman 28)

 

Alam semesta, bumi, langit, bulan, matahari, bintang-bintang, angin, laut, ombak, pohonan, dan bahkan kilat dan guntur serta gunung-gunung pun selalu bersujud dan bertasbih kepada Allah:  KepadaNya bertasbih apa yang di langit dan juga burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS 24: 41).

Sebagaimana alam semesta berdzikir, penyair sufistik berdzikir melalui puisi-puisi yang menggambarkan keagungan Tuhan, yakni puisi-puisi yang melukiskan keindahan alam, dialog dengan alam, lanskap alam, dan berbagai imaji yang diambil dari alam sebagaimana dicontohkan Tuhan dalam ayat-ayat Alquran yang banyak menggunakan simbol-simbol dan imaji serta perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari alam semesta beserta isinya. Sebagaimana dikemukakan Muhammad Iqbal (1959) dan dilakukan Jalaluddin Rumi serta penyair-penyair sufistik lainnya, Abdul Hadi pernah mengemukakan bahwa puisi-puisi alam adalah salah satu bentuk dzikir seorang penyair.[2]

Abdul Hadi banyak sekali menulis lirik-lirik alam atau sajak-sajak dzikir itu, bahkan sajak masa awal kepenyairannya. Puisi-puisi lirik alam sebagai bentuk dzikir seperti itu juga pernah ditulis oleh penyair sufistik Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan bayak penyair sufi Persia. Dalam buku Tergantung Pada Angin puisi-puisi seperti itu dapat kita lihat antara lain “Tergantung Pada Angin”, “Laut Luas”, “Dari Tawangmangu”, “Kuncup”, “Ombak Menghempas Lagi”, “Dari Rembang ke Rembang”, “Seperti Perahu”, “Aku Mengikut”, “Mantra”, dan “Naiklah”. Sajak-sajak tersebut kadang-kadang juga sekaligus menyimbolkan hubungan penyair (nanusia) dengan alam semesta, hubungan penyair dengan Tuhan atau simbol-simbol pernyataan pengalaman religius-mistis penyair dan kadang-kadang pula mewakili ungkapan kenangan manis penyair dengan seseorang:

 

KE MANA

 

Ke mana menyebar bauan mawar itu?

Bunganya telah tertimbun tanah

Jadi kusebut kenangan denganmu setiap desir angin

Yang mencari, kekasihku. Di antara burung yang cuma sendiri

Cemas tahu sayap-sayap birunya

Luruh meraba-raba langit yang putih semata.

 

(Meditasi, halaman 30)

 

Sebagaimana telah dicontohkan Tuhan dalam Alquran yang tidak segan-segan membuat perumpamaan dengan benda-benda kecil, seperti lebah, semut, lalat, unta, buah tin, pohon zaitun, dan biji sawi; dalam menggarap imaji-imaji dan simbol-simbol alam, Abdul Hadi juga tidak hanya memakai simbol-simbol alam yang besar seperti matahari, bumi, cakrawala, dan laut. Tetapi juga banyak memakai simbol-simbol dan imaji-imaji dengan memanfaatkan benda-benda alam yang kecil, seperti bunga melati, kucing, daun, rumput, dan cacing. Karena, dengan demikian, penyair semakin melihat banyak tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Besar. Sebab, lebah pun merupakan tanda bagi yang mau berpikir (QS An Nahl: 69). Sabda Tuhan pula: Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan (QS 86: 17).

Berbagai ungkapan berupa lirik-lirik alam itulah dzikir-dzikir yang menarik dari puisi sufistik Abdul Hadi. Karena, dengan berbagai penghayatan kepada alam itu penyair akan menyadari bahwa Tuhan Maha Besar (Jalal), Mahaindah (Jamal) serta hanya Tuhanlah Yang Mahakekal. Manusia (penyair) dengan begitu selalu mengingat Tuhan (dzikir), mendekati-Nya untuk meminta perlindungan-Nya, kemudian mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan menjadi penerang ketika ajaran Tuhan padam di muka bumi.

Tanda-tanda alam, perumpamaan-perumpamaan, dan imaji-imaji dalam Alquran banyak mengilhami puisi-puisi Abdul Hadi. Bahkan dengan memperhatikan alam yang sekecil-kecil sering membawa penyair pada kesadaran akan kefanaan dirinya, maupun maut. Seperti pada baris ini: seperti nyawa sekarat, menggeliat mungkin kau/ sedang menghiasiku dengan retakan-retakan air hujan/ dan keharuan waktu yang bergaram. (Dari Tawangmangu, bait 2). Kefanaan alam itu lebih jelas pada sajak “Sehabis Hujan Kecil”, yang disimbolkan pada daun yang gugur (terperanjat lepas):

 

Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau

Pada kelopak kembang yang memerah

Antara batu-batu hening merenungi air kolam

Angina bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas

 

(Meditasi, halaman 29)

 

Dalam kumpulan sajak Meditasi ada sajak panjang terdiri dari lima bagian, yakni “Meditasi”, yang dengan jelas menggambarkan proses atau perjalanan manusia dalam menuju api ketuhanan itu, atau lebih tepatnya potret pencarian manusia menuju api ketuhanan, api tauhid, dan iman. Sajak ini nampak diilhami Musyawarah Burung karya Farid Attar (1983). Pada bagian pertama sajak itu (Meditasi, halaman 40) Abdul Hadi menyebut Farid Attar dan memakai simbol burung sebagaimana simbol yang dipakai Farid Attar. Dari segi intensitas pencariannya, sajak “Meditasi” yang dijadikan judul buku ini bisa disejajarkan dengan karya Farid Attar itu:

 

Lalu kita dengar paduan suaranya.

Seperti deru angina di pantai.

“Demi Yesus, pahala surga dan kenikmatan,

akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya”,

begitu nyanyian mereka.

“Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf,

gembala Musa dan Muhammad

bentangkanlah pada kami jalan yang benar

dari aroma bintang dan buah-buahan”.

 

O, burung-burung, sudahkah kau baca

Farid Attar? Yerusalem dan Mekkah

tidak seluas hati dan jiwa ini.

Pohon-pohon rindang lebat

tumbuh juga dalam hatimu.

 

Pada bagian ketiga dan keempat sajak tersebut, tergambar bagaimana Abdul Hadi dengan intens mencari sandaran keimanannya.  Sementara pada bagian kedua tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia) pada dunia (alam semesta), karena manusia adalah fana, alam semesta adalah fana. Ia mengibaratkan dunia sebagai perempuan tua yang selalu merayunya agar ia menyusu tetek perempuan itu sampai kering dan mandul. Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia yang tanpa diimbangi dengan upaya pelestarian, akan membuat alam kehabisan sumber daya dan mandul:

 

Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib

yang mengheningkan cipta dalam sebatang kayu.

Kebenaran kudapat dari embun dan mawar.

Abadi. Seperti ciuman perempuan

dan bintang-bintang. Tapi perempuan tua ini

selalu merayuku dan minta aku menyusu

pula hingga kering dan mandul teteknya.

Itulah dunia.

 

(Meditasi, halaman 47)

 

Ungkapan-ungkapan, imaji-imaji dan simbol-simbol pada sajak-sajak Abdul Hadi, pada umumnya memang sulit dipahami dan ditafsirkan. Kebanyakan sangat ambigu, multi interpretable, atau bersayap ganda. Dan ini merupakan ciri umum dari puisi-puisi liriknya yang bersifat prismatis, sehingga kalau tidak berhati-hati dan tidak memiliki modal yang memadai dalam mendekatinya, bisa sampai pada penafsiran yang sesat (kurang tepat). Pembaca harus siap dengan kunci pembuka yang berupa teks-teks yang mempengaruhi proses kelahiran sajak-sajak Abdul Hadi, yakni teks-teks ayat suci Alquran, teks lingkungan hidup penyair, kebiasaan menikmati keindahan alam, dan berbagai teks lain baik yang berupa puisi-puisi sufistik maupun konsep-konsep tasawuf.

 

Bermanunggal dengan Tuhan

Gagasan sufistik tertinggi dalam tradisi puisi sufistik adalah “bermanunggal” dengan Tuhan. Simbol kemanunggalan manusia (penyair) dengan Tuhan secara jelas tergambar pada sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Sajak yang dapat dikatakan sebagai puncak ungkapan sufistik Abdul Hadi itu juga menggambarkan kepasrahannya yang paling total pada kehendak Tuhan, suatu gambaran “kemanunggalan” sifat dan kehendak antara manusia dengan Tuhan:

 

Tuhan, Kita Begitu Dekat

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dan panas

Aku panas dalam apimu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dan kapas

Aku kapas dalam kainmu

 

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

 

Kita begitu dekat

 

Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

 

1976

 

Dari bait pertama sampai bait terakhir sajak tersebut menyimbolkan kemanunggalan penyair dengan Tuhan. Pada bait pertama disimbolkan sebagai kemanunggalan api dengan panas: penyair mengibaratkan dirinya sebagai panas dalam api Tuhan. Pada bait kedua disimbolkan sebagai kemanunggalan kain dengan kapas: penyair mengibaratkan dirinya sebagai kapas dalam kain Tuhan. Pada bait ketiga disimbolkan sebagai kemanunggalan angin dan arahnya. Dan pada bait terakhir, penyair dalam gelap, mengibaratkan dirinya sebagai nyala pada lampu padam Tuhan.

Kalau kita hanya melihat simbol-simbol kemanunggalan api dengan panas, lebih-lebih ungkapan kemanunggalan kain dengan kapas, secara sepintas, maka kita akan berpendapat bahwa ungkapan-ungkapan sajak itu adalah simbol ajaran hulul dalam konsep tasawuf wahdatul wujud, yakni manunggaling kawula lan Gusti. Tetapi kalau simbol-simbol kemanunggalan itu kita kupas lebih dalam lagi; maka akan terlihat bahwa menunggalnya penyair dengan Tuhan yang dilukiskan pada sajak itu adalah manunggal secara sifat dan kehendak. Karena, penyair dengan Tuhan digambarkan tetap memiliki jarak, dengan adanya ungkapan Tuhan, kita begitu dekat pada bait pertama, kedua dan ketiga, judul sajak, serta bait keempat yang hanya terdiri dari kalimat: Kita begitu dekat. Dekat, berarti masih ada jarak antara penyair dengan Tuhan, setidaknya jarak yang berupa perbedaan posisi dan dzat, yakni posisi penyair sebagai hamba (abdi) dan Tuhan sebagai Ma’bud (Penguasa). Ini sejalan dengan firman Tuhan: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat (QS Al Baqarah: 186). Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS Qaaf: 16).

Adanya simbol kemanunggalan api dengan panas, kain dengan kapas, dan angin serta arahnya, selain untuk menyangatkan kedekatan penyair dengan Tuhan, juga untuk menyimbolkan kemanunggalan sifat dan kehendak penyair dengan sifat dan kehendak Tuhan. Penyair mengibaratkan dirinya sebagai panas dalam api Tuhan (Aku panas dalam apimu). Panas adalah salah satu sifat dari api, di mana dalam alam pemikiran tasawuf ahlussunnah adalah dua hal yang berbeda, walaupun tak terpisahkan. Panas adalah sifat dan pancaran dari api, tapi bukan api itu sendiri. Begitu juga antara angin dan arahnya. Arah adalah sifat atau gerakan angin, tapi arah bukanlah angin itu sendiri. Ini bisa dirujukkan dengan alam pemikiran tasawuf ahlussunnah, bahwa sifat-sifat Tuhan dengan Dzat Tuhan adalah dua hal yang berbeda, meskipun tak terpisahkan.

Sedangkan simbol kemanunggalan kain dengan kapas, di mana penyair mengibaratkan dirinya sebagai kapas dalam kain Tuhan, mestilah dipahami sebagai kemanunggalan penyair dengan ajaran-ajaran Tuhan, kehendak dan sifat-sifatnya. Ungkapan kainmu berarti kain milik Tuhan. “Mu” adalah kata ganti empunya untuk Tuhan. Maka kain dapat ditafsirkan sebagai alam semesta setidaknya lingkungan sekeliling penyair yang tercipta atas salah satu sifat Tuhan yakni Maha Berkehendak (Iradat). Sebagaimana kapas dengan kain, penyair, hidup dan eksistensinya tak terpisahkan dari alam sekelilingnya. Penyair atau manusia adalah unsur terpenting dari lingkungan, sebagaimana kapas merupakan unsur terpenting dari kain. Di dalam kain, keberadaan kapas tergantung pada kain.

Simbol kemanunggalan api dengan panas: aku (penyair) panas dalam apimu (api milik Tuhan), di samping dapat ditafsirkan sebagai kemanunggalan penyair dengan sifat dan kehendak Tuhan, secara lebih luas dan mendalam dapat ditafsirkan sebagai kepasrahan penyair secara total ke dalam api ketuhanan atau semangat ketuhanan (semangat keagamaan), yakni kepasrahan penyair untuk menyatu dengan kehendak Tuhan, melaksanakan ajaran-ajaran-Nya, beribadah secara total, melaksanakan syariat dan menjauhi segala larangan Tuhan.

Agama memiliki dua dimensi penting, dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahirnya berujud ibadah formal atau syariat. Dimensi batinnya adalah tasawuf. Keduanya tak boleh ditinggalkan agar kehidupan beragama kita tidak timpang. Tanpa tasawuf, kehidupan beragama kita akan kering. Dan tanpa syariat, kita tidak bisa mendisiplinkan diri. Padahal disiplin batin manuntut pula disiplin jasmani. Kita dapat membayangkan apabila bentuk-bentuk ibadah formal ditinggalkan: kekhasan suatu agama akan lenyap dan barangkali agama itu sendiri tidak akan ada lagi.

 

Penutup

Pendekatan intertekstual membawa pembaca kepada teks-teks yang menjadi sumber inspirasi bagi kelahiran sajak-sajak Abdul Hadi, dan mungkin juga penyair-penyair lain yang menempuh jalan sama seperti Emha Ainun Najib. Teks-teks itu meliputi konsep-konsep tentang tasawuf, puisi-puisi sufistik, ayat-ayat suci Alquran, dan pengalaman keagamaan penyair. Kehidupan masa kecil Abdul Hadi yang banyak diwarnai suasana religius dan dekat dengan Alquran serta pergaulannya yang intensif dengan karya-karya sastra sufistik, banyak menjadi sumber ilham bagi kelahiran puisi-puisi sufistiknya. Puisi menjadi jalan untuk mengingat Allah, ekspresi tasbih dan dzikir, memahami kefanaan hidup, serta jalan untuk “bermanunggal” dengan Tuhan.

Dalam puisi-puisi Abdul Hadi, alam selalu bertasbih, berdzikir menyebut nama-Nya beserta Kebesaran-Nya. Bunga-bunga yang mekar pagi hari menyebarkan harumnya, buah-buahan yang bergelantung di pohon-pohonnya, angin yang bertiup pagi dan sore, laut yang selalu bernyanyi melalui ombaknya, bulan dan matahari serta bintang-bintang yang setia beredar pada garis edarnya; dalam puisi-puisi sufistik Abdul Hadi; merupakan pernyataan sujud dan dzikir alam semesta pada Tuhan.

Berbagai teks yang mempengaruhi dan  sumber inspirasi itu diolah sedemikian rupa sehingga muncul kembali sebagai imaji-imaji dan simbol-simbol yang khas serta kreatif. Dengan demikian, berbagai pengaruh itu, sedikitpun tidak mengurangi bobot dan nilai kreativitas Abdul Hadi sebagai penyarir sufistik terpenting dalam khasanah perpuisian kontemporer Indonesia. Sajak-sajaknya perlu diapresiasi dan dimasyaratkan secara lebih luas untuk literasi sastra sekaligus literasi sufistik.***

 

Daftar pustaka

  1. Al-Kamil, Musaf. 2017. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta:  CV Darus Sunnah.
  2. Arberry, AJ. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Terjemahan Bambang Irawan. Bandung: Mizan Pustaka.
  3. Attar, Fariduddin. 1983. Musyawarah Burung. Terjemahan Hartoyo Andangjoyo. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Hadi W.M., Abdul. 1976. Meditasi. Jakarta: Pustaka Jaya.
  5. Hadi W.M., Abdul. 1977. Tergantung pada Angin. Jakarta: Pustaka Jaya.
  6. Hadi W.M., Abdul. 1985. Rumi, Sufi, dan Penyair. Bandung: Pustaka.
  7. Hamzah, Amir. 1982. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
  8. Kristeva, Julia. 1974. Revolution in Poetic Language. Translatet by Margaret Waller. New York: Columbia University Press.
  9. Kristeva, Julia. 1979. Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. Edited by Leon S. Roudies. New York. Columbia University Press.
  10. Teeuw, A. Prof. Dr. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

[1] Dalam wawancara dengan penulis di kediamannya, Abdul Hadi W.M. dalam tahun 1994 antara lain mengatakan banyak puisinya yang terinspirasi oleh ayat-ayat suci Alquran.

[2] Dikemukakan dalam wawancara dengan penulis di kediamannya, di Jakarta, pada 21 Juni 1994.

Related posts

Leave a Comment

5 − 4 =