PERISTIWA 

Ada Pergeseran Kredo Puisi Sutardji

JAKARTA (Litera) – Presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri menggeser kredo puisinya menjadi lebih religius. Tidak lagi membebaskan kata dari beban makna, tapi ke kredo puisi yang lebih religius dan merujuk pada Alquran dan Hadis Qutsi.

Pergeseran itu dijelaskan Sutardji pada kredo barunya yang dimuat dalam kumpulan puisi terbarunya, Petiklah Aku, suntingan Nasruddin Anshori yang diterbitkan oleh Ilmu Giri. “Konsep puitika sajak dalam Petiklah Aku, sudah berbeda dengan konsep puitika dalam O Amuk Kapak,”  kata Ahmadun Yosi Herfanda dalam diskusi sastra di auditorium PDS HB Jassin, TIM, Rabu sore.

Kredo Sutardji dalam Petiklah Aku, lanjut Ahmadun sebagaimana dikutip Republika,  sudah berbeda dengan kredo sebelumnya. Tidak lagi “membebaskan kata dari beban makna”, tetapi mempertegas kesaksian manusia di alam Ruh, bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam.

Diskusi sastra itu mengawali serangkaian acara peringatan HUT ke-82 penyair Sutardji yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) sejak 20 Juni hingga 24 Juni malam. Acara di PDS juga diisi pembacaan puisi, antara lain oleh Kepala Dispusip DKI Hermansyah, dan lomba baca serta musikalisasi puisi tingkat nasional.

 

Puncak acara

Puncak acara HUT Sutardji digelar di Teater Kecil TIM, diisi sambutan oleh Kadisbud DKI Iwan Henry Wardana dan Kadispusip DKI Hermansyah, parade testimoni, baca puisi, musik puisi, penyerahan penghargaan sastra dari Disbud DKI, penyerahan penghargaan kepada para pemenang lomba baca dan musikalisasi puisi, serta pemotongan tumpeng ulang tahun.

Pembacaan puisi Sutardji, antara lain oleh pimpinan Teater Tanah Air Jose Rizal Manua. Menurut ketua panitia Octavianus Masheka, acara ini didukung oleh Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta, serta Dinas Kebudayaan Provinsi Kepuluan Riau.

Testimoni, antara lain disampaikan oleh Kadisbud Riau Raja Yoserizal Zen, Fadli  Zon, dan cerpenis Taufik Ikram Jamil. Tumpeng dipotong oleh Sutardji dan diberikan kepada istrinya, Mardiam Linda. Selain mendapatkan penghargaan sastra dari Disbud DKI, Sutardji juga menerima hadiah lukisan tentang dirinya yang sedang membaca puisi. Doa ulang tahun dibacakan oleh penyair Ahmadun YH.

 

Kesaksian Ruh

Mengutip kredo baru Sutardji, Ahmadun lebih lanjut mengatakan, menulis puisi adalah seirama dengan pekerjaan (aktivitas) Ruh yakni bersaksi, melakukan penyaksian. Di alam Ruh, Tuhan berfirman: “Apakah Aku ini bukan Tuhanmu?” Ruh menjawab: “Ya kami bersaksi, Engkau adalah Tuhan kami.”

Puisi, menurut Sitardji, sebagai kesaksian yang otentik tidak bisa ditolak atau didustakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Sebagai kesaksian yang otentik, pada mulanya puisi adalah khasanah yang tertsembunyi.  Sebuah hadis Qutsi mengatakan, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui,” kata Ahamadun mengutip Hadis Qutsi.

Tersimpan dan terkandung dalam Khasanah yang Tersembunyi, menurut Sutardji dalam kredonya, Puisi juga ingin dikenal. Maka, disukakan pada penyair untuk mencari, menemukan, mengenal, serta menuliskan atau menyampaikan untuk orang lain keindahan/kesaksian yang ditemukannya itu.

Puisi, sebagai kesaksian, telah dituliskan dan tak bisa didustakan. Berakrab dengan kalbu – mengutip kredo Sutardji —  puisi selalu berada pada kebenaran. “Puisi selalu otentik. Ia tidak bisa dan mustahil untuk dipalsukan. Karena tiada Puisi selain Puisi,” kata Ahmadun, mengutip kredo baru Sutardji.

 

Memberontak

Diskusi dalam rangka HUT ke-82 Sutardji itu juga menampilkan kritikus sastra dari UI Maman S Mahayana, dengan moderator jurnalis Isson Khairul. Maman lebih banyak menyoroti sajak-sajak Sutardji dalam kumpulan O Amuk Kapak yang memberontak. Dengan kredo “membebaskan kata dari beban makna” pada era 1970-an Sutardji banyak mengusung puitika mantra dan puisi konkrit. “Pemberontakan Sutardji ini banyak mempengaruri penulisan puisi di Indonesia pada masa itu,” kata Maman.

Para pecinta puisi yang membaca O Amuk Kapak, sambung Ahmadun, umumnya memang tidak membicarakan sajak-sajak religius dari kumpulan puisi itu. Meskipun ada cukup banyak puisi religius seperti “Mawar”, “Tapi”, dan “Ah”, pembaca umumnya hanya menyebut sajak “Walau” sebagai satu-satunya puisi yang cahaya religiusitasnya begitu benderang, bahkan sufistik.

Puisi-puisi dalam buku kumpulan sajak tersebut memang lebih banyak mengedepankan puitika mantra dan puisi konkrit. Para pengamat puisi tampaknya tidak tergoda untuk membicarakan sajak religius dari kumpulan puisi tersebut. “Karena itu, religiusitas sajak-sajak Sutardji masih menjadi khasanah yang tersembunyi,” katanya.

Puisi, sebagai kesaksian, telah dituliskan dan tak bisa didustakan. Berakrab dengan kalbu – mengutip kredo Sutardji —  puisi selalu berada pada kebenaran. “Puisi selalu otentik. Ia tidak bisa dan mustahil untuk dipalsukan. Karena tiada Puisi selain Puisi,” kata Ahmadun, mengutip kredo baru Sutardji.

Malam ulang tahun Sutardji di Teater Kecil TIM berlangsung sangat meriah. Ruangan dipadati oleh hadirin. Selain para pejabat di lingkungan Dinas Kebudayaan DKI, Dinas Kebudayaan Riau, dan Dispusip DKI, juga hadir para penyair pecinta sastra dari Jabodetabek dan Riau serta Lampung. Antara lain, Fakhrunnas MA Jabbar, Isbedy Stiawan ZS, Asrizal Nur, Imam Ma’arif, Ewith Bahar, Nissa Rengganis, Arief Djoko Wicaksono TR, Ariani Isnamurti, dan Uki Bayusejati.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rangat, Indragiri Hilir, Kepulauan Riau, pada 24 Juni 1941. Penyair bergelar Seri Datuk Pujangga Utama ini menerima Anugerah Seni dari DKJ tahun 1977 dan SEA Write Award tahun 1979. @ red/rep/editor

 

Related posts

Leave a Comment

two × 2 =