ARTIKEL 

Fiksi, Imajinasi, dan Realitas yang Terbagi

Saat kita membaca karya sastra baik puisi, prosa atau mungkin menonton drama, kita akan beranggapan bahwa itu hanya fiksi. Tak salah, karya sastra adalah karya fiksi. Puisi, cerpen, dan novel tentu berbeda dengan karya non fiksi seperti buku sejarah, biografi, sains, atau laporan jurnalistik. Kita mungkin tak bisa menjadikan puisi dan novel sebagai referensi ilmiah secara umum kecuali hanya pada wilayah analisis fakultas sastra semata yang tentu saja sudah memasuki wilayah akademis. Kita akan melihat karya sastra tentu dengan perangkat akademis di mana puisi, cerpen, dan novel telah menjadi sebuah pertaruhan akademis yang ternyata tak sesederhana seperti yang dibayangkan banyak orang.

Percikan ini akan berbicara karya sastra secara umum saja dengan tidak terlalu bertumpu pada teori sastra yang complicated walau sesungguhnya saat kita memandang sastra kita tak bisa lepas juga dengan perangkat teoretik. Bagaimanapun juga proses membaca berbeda dengan menulis. Siapa saja mampu menulis puisi atau mungkin cerpen dan novel sepanjang anda merasa yakin bahwa itu adalah puisi, cerpen, atau novel. Kita juga tak bisa memungkiri betapa banyak puisi dan prosa lahir dan menjamur oleh banyak orang dengan beragam kalangan atau profesi seperti penjual bubur, kyai atau pemuka agama, buruh dan karyawan, ibu rumah tangga dan asisten rumah tangga, atau bahkan seorang tukang parkir yang mungkin tak begitu paham apa sebenarnya sastra itu kecuali sebatas keyakinan bahwa itu adalah sebuah karya yang lahir dari imaginasi dan bersifat fiktif. Pertanyaan tentang sastra, terlebih apa yang dinamakan estetika mungkin bisa diabaikan dan menjadi tak penting. Produktivitas karya sastra yang massif yang kita temui dan baca sehari-hari menunjukkan hal tersebut.

Secara umum memang siapa saja bisa menulis karya sastra, terlebih puisi yang mungkin lebih mudah kita baca di ruang atau media apapun. Saat kita membuka media sosial misalnya, mungkin kita bisa membaca ratusan atau bahkan ribuan puisi dalam satu hari. Sebagian besar puisi itu begitu indah. Sesungguhnya jika kita benar-benar perhatikan, pola puisi itu hampir seragam, dalam hal ini secara tipografi atau tatanan larik, bait, kalimat, kalusa, frase, dan kata. Kita akan sedikit menjumpai hal yang berbeda dari puisi-puisi tersebut, meski pasti ada yang berbeda dalam kuantitas yang sangat sedikit. Keseragaman ini sesungguhnya menjadi indikator kuat bahwa para penyair atau prosais pastilah mengacu pada bentuk-bentuk yang telah ada. Dengan kata lain, mereka yang menulis puisi tersebut sesungguhnya sedikit atau banyak telah merekam sebuah prototipe atau bentuk dasar di pikiran mereka. Ada model yang ditiru secara tipografis. Mereka yang mampu keluar dari keseragaman dalam hal tipografi dan berinovasi adalah mereka yang benar-benar tekun membaca dan belajar dan hanya sedikit yang bisa melakukannya.

 

Tentang Fiksi dan Imajinasi

 

Sebagian besar orang menganggap fiksi hanyalah sebuah khayalan semata. Secara definisi “fiksi adalah prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Pada faktanya sebagian besar orang menganggap bahwa fiksi adalah khayalan yang tentu saja banyak ciri fiksi yang sebenarnya melekat pada prosa juga melekat pada puisi. Kita bisa menjumpai hal-hal irasional dan tak mengandung kebenaran dalam banyak puisi atau prosa. Tak apa, itu juga merupakan wilayah kebebasan para penulis, itu dalih untuk suatu justifikasi. Tentu saja definisi fiksi di atas bisa bergeser dan berkembang sepanjang kita telah memiliki pemahaman dasar yang kuat, tapi jika berjalan dengan tak memiliki dasar yang kuat, akan tampak fiksi yang kita yakini memang hanya semata-mata khayalan di mana kita bisa sebebas-bebasnya menulis dengan justifikasi dan dalih otoritas tersebut.

Begitu juga dengan imajinasi yang dianggap juga hanyalah proses khayal dengan memperhatikan begitu banyak puisi yang kita baca adalah hal-hal yang terkadang tak memiliki pijakan atau gagasan yang kuat. Relasi-relasi kata yang sesungguhnya harus kuat terabaikan bahkan miskin makna dan yang nampak hanya pemborosan pada kata atau kalimat. Banyak kata seakan hanya menjadi dekorasi yang berlebihan tanpa isi. Mengacu Wikipedia “Imajinasi secara umum adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide.” Tersering konsep dan pemahaman dasar ini lepas begitu saja dalam karya sastra, dan puisi menjadi semata kumpulan kata yang ditulis secara tipografis tanpa citra dan ide yang kuat yang hanya mengutamakan gambaran tak jelas. Lagi-lagi yang bisa menjadi dalih adalah bahwa karya sastra hanya fiksi dan imajinasi dan khayal semata padahal keyakinan seperti ini akan menjadi fatal dan menciderai makna sebuah karya sastra.

 

Realitas yang Terbagi

 

Barangkali kutipan yang saya singkat dari tulisan E. Balibar dan P. Macherey dalam buku Modern Literary Theory pada bab “Fiction and realism: the mechanism of identification in literature” hal 64 ini bisa menjadi sebuah renungan.

“Literature is the production of a certain reality, not indeed (one cannot over-emphasise this) an autonomous reality, but a material reality, and of a certain social effect (we shall conclude with this). Literature is not therefore fiction, but the production of fictions: or better still, the production of fiction-effects (and in the first place the provider of the material means for the production of fiction-effects).” (Arnold, edited by Philip Rice and Patricia Waugh, third edition 1996).

Mungkin kita menulis adalah untuk hobi atau beragam alasan lain. Mungkin kita tak begitu memiliki alasan kuat yang bersifat ideologis atau prinsip yang didasarkan pemikiran yang matang, tapi secara sederhana bahwa ketika kita telah menulis puisi atau prosa meski itu adalah fiksi, karya tersebut pastilah ingin bisa kita publikasikan pada orang banyak. Kita pun ingin mendapat apresiasi dari khalayak. Bahkan bisa jadi kita ingin mendapat predikat, pengakuan, atau bahkan sebuah eksistensi. Apapun sesungguhnya alasan kita tersebut tak mengubah suatu kenyataan bahwa karya yang telah kita publikasikan telah menjelma sebagai realitas. Ia dimaknai oleh banyak orang dengan beragam cara dan apresiasi. Realitas itu bisa menjadi kaya makna atau bahkan hanya lewat begitu saja seperti angin bertiup. Bisa jadi juga seperti tulisan di atas pasir. Lebih sedikit beruntung menjadi tumpukan buku yang hanya diletakkan begitu saja kecuali hanya kita sendiri yang berulang-ulang membacanya dengan penuh kebanggaan. Bahkan bisa juga menjadi pembelajaran yang begitu berharga oleh banyak orang. Kita juga bisa melihat dan merasakan banyak karya sastra memiliki kedudukan dan pengaruh yang begitu dahsyat yang tak hanya mendapat tempat di kalangan sastrawan tapi juga banyak orang. Orang banyak bahkan awam sekalipun banyak yang mengenal dan mengagumi Kahlil Gibran (1883-1931), dan WS Rendra (1935-2009) misalnya. Banyak orang juga tak asing dengan puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono atau “Sembahyang Rumputan” Ahmadun Yosi Herfanda sekadar mengambil contoh. Terlebih di karya prosa, pembaca karya novel bisa mencakup banyak kalangan. Karya sastra Itu benar-benar menjelma sebagai realitas yang terbagi. Meski mungkin karya kita tak akan sedahsyat itu, tapi setidaknya kita harus menyadari bahwa karya kita adalah realitas yang hidup. Akankah realitas yang hidup itu serupa tanpa makna, atau bahkan seakan menjadi tumpukan yang mungkin orang memandangnya dengan pujian semu tanpa ada pembelajaran dan nilai yang berarti. Karya yang tak mampu menjadi motivasi bahkan bagi keluarga kita sendiri. Ya, karya kita adalah realitas yang terbagi, tentu akan penuh makna jika realitas itu mendapat banyak tempat dan penuh manfaat.

Sekali lagi, kita memang punya banyak alasan dan motif saat menulis karya sastra, tetapi semua akan menjelma realitas yang mampu berbicara. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh mau belajar dan penuh dedikasi yang akan memiliki dan memberi arti. Banyak warna dalam sastra yang sesungguhnya membuat kita makin kaya dengan beragam karya yang penuh makna. Apa yang kita baca adalah realitas yang akan melahirkan realitas. Fiksi dan imaginasi adalah senjata yang akan melahirkan sebuah karya nyata atau realitas.

 

Mahrus Prihany, divisi kaderisasi dan organisasi KSI

 

Related posts

Leave a Comment

10 − six =