CERPEN 

MAESA UTAMI

Cerpen Hafis Azhari 

______________________________________________________________________

 

MAESA Utami memilah-milah bungkus makanan yang akan dibawa untuk menjenguk anaknya di Rumah Sakit Jiwa Bogor, Jawa Barat. Kalau ada sedikit saja benda tajam, termasuk sendok garpu, ia khawatir anaknya akan salah menggunakannya. Apa saja bisa menjadi alat dan senjata yang bisa melukai tubuhnya sendiri. Sebelum masuk ke dalam, dua orang petugas akan memeriksa tas pengunjung dengan ketat. Bahkan, sebuah bolpoin atau toples kaca yang dibawa Maesa untuk menyimpan cemilan, tetap tak diperbolehkan masuk.

Suatu hari, bersama Hendra ia dipersilakan masuk sambil membawa kue-kue ulang tahun yang dibawa dengan pemotong kue yang terbuat dari plastik. Meskipun begitu, tetap ia harus membuat perjanjian dengan petugas, bahwa alat pemotong kue itu harus dibawa kembali seusai penjengukan.

———————————————-

Sumber ilustrasi:  id.pinterest.com

———————————————-

Hendra sudah hadir dalam kehidupan Maesa selama enam tahun, saat usia puteranya menginjak duabelas tahun. Saat itu, puteranya sudah mulai ketawa dan bicara sendiri dengan mulut komat-kamit yang sulit dimengerti. Cinta mereka pada Hendra cukup panjang dan berlika-liku. Sang anak sudah menganggap Hendra sebagai ayah tirinya. Maesa lebih tua usianya, sekitar dua atau tiga tahun. Ia senang mengenakan sweater atau blus berwarna abu-abu supaya terlihat agak ramping. Rambutnya yang mulai kelabu sengaja tak disemir, dan dibiarkan terurai hingga bahu.

Segera setelah puteranya ditelanjangi, dipakaikan baju pasien, ia harus dirawat dan menetap di Rumah Sakit Jiwa Bogor. Maesa tak diperbolehkan mengenakan perhiasan setiap kunjungan ke rumah sakit. Sebagai sikap tenggang rasa kepada anaknya, dia memilih tak mengenakannya sama sekali, lalu menaruhnya di bawah lipatan baju di dalam lemari kamarnya.

Tidak seperti janda-janda lain seusianya, yang cenderung berdandan secara berlebihan, dengan aksesoris pakaian dan perhiasan yang kadang mencolok berlebihan. Kini, ia merasa bahwa upaya semacam itu nampak menggelikan. Sewaktu bepergian, penampilan Maesa biasa-biasa saja, nyaris menyerupai wanita desa yang polos dan lugu, meskipun Hendra tetap memuji dan menyanjungnya, “Bagi saya, dengan mengenakan baju model apapun, kamu tetap saja menarik.”

Hendra nyaris kehilangan pekerjaan akibat krisis keuangan di era pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu. Ia sempat menetap dan tinggal bersama Maesa, tetapi persoalan si anak yang mengidap kelainan jiwa, sepertinya menjadi pertimbangan yang cukup rumit, sehingga ia selalu menjaga jarak. Suatu ketika, ia mengatakan bahwa ia mencintai Maesa apa adanya, tetapi di sisi lain kecemburuannya kadang muncul ketika sang kekasih harus sibuk mengurusi sang anak seharian. Kadang perkataannya masam, dengan lirikan hambar terarah ke kamar depan, tempat si putera meringkuk dalam balutan selimut, menonton siaran televisi dengan tatapan kosong tanpa ekspresi.

 

***

Sudah beberapa minggu berlalu. Maesa bertanya-tanya ke mana perginya Hendra. Ia berusaha mengacuhkannya, tetapi tetap saja tak bisa membohongi batinnya yang terus merindu, semacam rasa cinta yang sulit diungkapkan. Ia merasa haus sentuhan dalam minggu-minggu itu. Ia mencoba pergi ke salon untuk sekadar mengeramas rambutnya. Beberapa kali ia pergi ke stasiun, membeli tiket kereta untuk menemui seorang kakak perempuannya di daerah Tanah Abang, Jakarta. Ia senang sekali melihat petugas yang ramah, sambil sesekali menyentuh bahu Maesa seraya menunjukkan arah menuju pintu gerbong kereta. Kadang ia pun mengajak sang kakak, menuju jalur selatan ke arah Bogor.

“Pak Hendra mana, Bu?” puteranya bertanya-tanya manakala ia menjenguk dan datang ke rumah sakit, tanpa disertai Hendra.

Maesa menatap wajah anaknya yang kemerahan berbintik-bintik, akibat efek samping dari berbagai jenis obat-obatan. Disampaikan pada sang anak bahwa hari itu Pak Hendra sedang sibuk. Tetapi nanti, mungkin minggu depan ia akan datang lagi. Rasa keibuan membuat kepalanya terasa pening dan penat. Ruangan seakan berputar-putar. Ia melihat sayatan pada lengan anaknya bagaikan mural atau coretan dinding yang mengabadikan nama Hendra. Ia takut anaknya kehilangan sosok ayah, yang meskipun bukan ayah kandung namun perhatiannya seakan tidak pilih kasih.

Sayatan pada lengan anaknya menggambarkan rasa rindu, kepiluan dan luka hati yang mendalam. Pernah ibunya berkunjung bersama Hendra sambil membawa dua buah novel karya Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer. Kedua novel itu berasal dari raknya sendiri dan boleh dibawa masuk, meski puteranya akan meyakini benda itu pasti mengandung pesan. Cerita di dalamnya bukan hanya tentang orang yang hidup pada masa lalu, melainkan juga tentang perjuangan dan penderitaannya sendiri dalam menghadapi setiap bentuk kebiadaban, penaklukan, dan perampasan hak-hak asasi manusia. Ada banyak petunjuk dalam kata-kata pada setiap halaman, suatu petunjuk terselubung mengenai keberadaan dirinya dalam jagat raya yang serba misterius ini.

Bertiga duduk di meja kunjungan. Si anak mencoba mengesampingkan kedua buku itu dan berusaha tersenyum lembut. Nampak keramahan pada sorotan matanya, yang memang sudah ada sejak ia dilahirkan. Seorang petugas telah memotong rambutnya yang hitam kecokelatan. Meskipun terlihat agak asal-asalan. Mungkin si petugas merasa khawatir guntingnya berdekatan terlalu lama dengan anak itu, sehingga ia memangkas rambutnya dengan tergesa-gesa. Sekarang terlihat agak cepak, mencuat tajam dan kasar, yang kemungkinan tak akan diacuhkan oleh siapapun kecuali ibunya.

“Pak Hendra ke mana aja, selama ini jarang kelihatan,” tanya sang putera kepada Hendra.

Ia mendehem dan menghela napasnya, kemudian si Ibu akan menyela, “Pak Hendra kan sering ada tugas keluar kota. Tentu saja dia sibuk.”

 

“Pak Hendra kangen sama kami, enggak?” tanyanya lagi.

Hendra tidak menjawab. Hanya tersenyum kikuk.

“Pak Hendra kepikiran sama aku enggak, waktu lihat bulan malam-malam?”

“Ya, sepertinya begitu,” Hendra mengangguk pelan seraya menatap balik anak itu. Ia menjaga posisi duduknya agar tak berubah-ubah. “Saya berharap kamu bisa sembuh, dan dirawat dengan baik di sini.”

“Pak Hendra kepikiran sama Ibu enggak, waktu lihat bintang malam-malam?”

Hendra membisu lagi. Untuk menengahi suasana, Maesa angkat bicara, “Sudah ya, waktu kunjungannya sudah mau habis. Lagipula, Pak Hendra ada tugas dan harus berangkat sore ini.”

“Oya, Bu, ngomong-ngomong besok ada yang ulang tahun lagi lho? Tapi, potong kuenya enggak boleh pake pisau dan makan kuenya enggak boleh pake garpu. Terus, lilinnya juga enggak ada. Jadinya, kita-kita langsung aja nyanyi selamat ulang tahun, dan makan kuenya rame-rame. Oya, Pak Hendra,” anak itu beralih menoleh ke Herndra, “pernah enggak lihat komet jatuh? Katanya, pas dia jatuh permintaan kita bakal terkabul ya? Bahkan, keinginan kita pada perempuan yang kita cintai sekalipun, apa iya? Apakah sebegitu mudahnya harapan orang bisa tercapai seketika? Oya, Pak Hendra merasa bingung enggak, kenapa ada orang yang masih muda tapi kekayaannya begitu banyak, juga pacarnya cantik-cantik? Apakah ada hubungannya orang semacam itu dengan jatuhnya komet-komet di atas langit?”

Maesa mengamit lengan Hendra, seraya mengingatkan puteranya bahwa waktu kunjungan sudah habis.

 

***

 

Dalam perjalanan pulang, Maesa Utami dan Hendra saling bungkam dan diam seribu basa. Tiapkali wanita itu menengok ke arah sang kekasih, nampak kehati-hatian pada raut mukanya saat mengemudikan kendaraan. Sesekali ia menatap tangannya, dari lengan hingga jari-jarinya yang putih dan bersih, walaupun usianya sudah cukup lanjut. Beda dengan garis-garis pada lengan anaknya yang dipenuhi luka bekas sayatan. Menurut kesaksian dokter, puteranya itu pernah mencoba melukai dirinya dengan cara yang sederhana tetapi cukup ekstrim. Kalau tidak karena kesigapan seorang temannya sesama pasien, ia sudah tak mungkin tertolong lagi. Darah sudah menggenang di mana-mana. Beberapa dokter segera menanganinya dengan perawatan darurat yang mungkin bisa dilakukan. Dalam beberapa minggu kemudian, tampaknya ia masih bisa pulih dan bangkit kembali.

Pada pertemuan konseling, ia menyatakan banyak hal yang sulit dimengerti oleh pasien-pasien lainnya. Sepertinya, yang diinginkan anak itu hanya mengalihkan rasa sakit, namun ia mencoba menggali lubang yang kemudian tertarik untuk menjebloskan diri ke dalam lubang galiannya itu. Hidup baginya penuh dengan mata-mata yang selalu mengintai setiap saat. Teka-teki itu tak henti-hentinya mengejar dirinya di sepanjang tepi pantai, sehingga ia terus berlari dan berlari, seakan pelarian itu telah dimulai sejak tahun 1965 lalu.

Kini, mobil telah sampai di depan rumah Maesa. Sepintas Hendra memandang dirinya pada kaca spion mobil. Barangkali ia butuh kepastian bahwa wajahnya masih ada dan hidup, bukan seperti hantu yang dibayangkan putera wanita itu. Setelah masuk ke dalam rumah, kontan Maesa menawarkan, “Mau minum teh atau kopi? Saya punya kopi Rangkasbitung yang rasanya cukup nikmat.”

“Boleh, kopi hitam,” jawab Hendra dengan berat. “Tapi gulanya sedikit saja.”

Maesa membuka rak dapur dan membuat dua cangkir kopi hitam. Sebelum menyuguhkan kopi itu, sejenak ia memandangi foto anaknya sewaktu masih balita di ruang tengah. Ia mengenang masa-masa itu. Sejak bayi hingga balita, anaknya itu begitu gemuk, lucu dan menggemaskan. Seperti kebanyakan anak balita Indonesia pada umumnya. Sewaktu berusia tujuh tahun, dia sedang imut dan lucu-lucunya. Kedua lengan tangannya terentang bebas bagaikan pancaran sinar bintang. Giginya yang masih renggang, tampak berkilauan. Rambutnya hitam mengikal dengan indahnya.

Ketika usianya di atas sepuluh tahun, raut wajahnya tampak kuyu dan ketakutan. Walaupun pada sorot matanya masih membersitkan sinar yang memesona. Ketika beranjak remaja, tubuhnya gemuk dan montok. Tampak pada salah satu foto, ia merangkul Hendra yang saat itu baru dikenalnya. Di sampingnya ada beberapa saudara sepupu yang dulu sangat menyayanginya.

Salah satu foto di ujung tembok, tampak tubuh mungilnya sedang disangga sang ayah yang memiliki wibawa dan kharisma sebagai seorang pengusaha. Ketika beranjak remaja, ia tak mengenal ayahnya lagi, karena mengalami kecelakaan pesawat yang ditumpanginya sejak belasan tahun lalu.

Maesa tak mau mengenang kematian suaminya. Ia lebih banyak memikirkan anak yang ditinggalkannya. Sebab, dengan mengingat hal itu, ia akan terperangkap dalam penafsiran hidup menurut persepsinya sendiri. Sudah sejak lama ia berpendapat bahwa hakikat kehidupan ini hanyalah sebuah harapan kosong akan berkurangnya penderitaan. Harapan itu laiknya kartu-kartu yang muncul secara kebetulan, di atas harapan lainnya. Keinginan akan munculnya kebaikan dan belas kasih secara tak terduga, bagaikan munculnya raja dan ratu dalam sebuah permainan kartu.

“Kenapa pakai gulanya sedikit,” kata wanita itu sambil menaruh kedua cangkir kopi di atas meja. “Ada riwayat diabetes atau gula darah?”

“Ah, enggak juga. Tapi orang yang sudah sepuh seperti kita ini, sepertinya banyak pantangan yang harus dihindari.”

Maesa meletakkan nampan kembali ke dapur, kemudian duduk berhadapan dengan Hendra. “Sudah sebulan lebih kita tak saling jumpa. Anak saya sering menanyakan kabar tentang kamu. Saya bilang, Pak Hendra sedang sibuk, tapi mudah-mudahan jawaban saya itu benar adanya,” ia tersenyum seakan kata-kata itu mengandung pesan dan sindiran.

 

Hendra tak merasa tersinggung. Ia memang banyak pekerjaan di luar kota, sehubungan dengan omset di perusahaannya yang menurun drastis akibat pandemi Covid-19 akhir-akhir ini.

Tak lama kemudian, tatapan wanita itu berkaca-kaca, “Saya berencana untuk membawa anak saya pulang minggu depan ini. Bagaimana menurut kamu?”

“Saya kira, lebih baik dia dirawat di rumah saja,” kata Hendra. “Lagipula, dia tidak akan membahayakan siapapun.”

Hendra menyesap kopi dari atas meja. Maesa memahami, seakan Hendra akan turut ambil bagian dari problem keluarga yang ia jalani. “Sepertinya dia sangat mengenal kamu,” ujar Maesa lagi.

“Ya, bagaimanapun kita harus hadapi bersama-sama,” kata Hendra meyakinkan.

“Dia juga sangat mengangumi kamu,” ia terdiam sejenak dan lanjutnya, “begitu pun saya…”

“Terimakasih,” balas Hendra singkat.

Keduanya diam dengan pandangan menerawang. Tak lama kemudian, Hendra angkat bicara, “Bagaimana kalau dalam minggu ini kita menemui Pak Kiai di pesantren Al-Bayan, untuk melangsungkan pernikahan secara resmi?”

Tawaran Hendra disambut Maesa dengan senyum bangga. Mereka pun mempersiapkan segala sesuatunya dalam beberapa hari ke depan, kemudian melangsungkan pernikahan sederhana yang dihadiri kiai pesantren, para santri, serta mengundang petugas Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Jombang, kota Cilegon. []

  • Penulis adalah pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Jenderal Tua dan Kucing Belang.

Related posts

Leave a Comment

fourteen − 9 =