PUISI 

BERSUJUD DALAM CAHAYA

Sajak-sajak Abdul Wachid B.S.

______________________________________________________________________

 

TAHAJUD

 

Malam membuka matanya,

dan aku mendengar langkah-langkah sunyi

mengitari dada langit yang terluka.

Angin mengetuk jendela,

membawa bisik yang belum sempat kusampaikan.

Di sepertiga waktu,

ada cahaya kecil menyala,

seperti ibu yang berjaga di tepi ranjang,

seperti kekasih yang tak beranjak dari pintu,

seperti sahabat yang tetap terjaga

ketika dunia terlelap dalam kesibukan.

 

Aku sujud,

bukan hanya pada sajadah,

tapi pada luka yang ingin direngkuh,

pada rindu yang ingin dipahami,

pada wajah-wajah yang diam menahan tangis

namun berharap ada tangan yang menuntun.

 

“Rabbi adkhilni mudkhala sidqin

wa akhrijni mukhraja sidqin,

waj’al li min ladunka sulthanan nashira.”

Bimbing aku memasuki fajar dengan kejujuran,

dan meninggalkan malam dengan keikhlasan.

Anugerahkan cahaya yang tak pudar,

agar langkahku tak ragu menuju keabadian.

 

Tahajud adalah pelukan yang tak bersuara,

adalah genggaman yang tak melepaskan,

adalah kehadiran yang tak meminta balasan.

Ia bukan sekadar doa yang melayang ke langit,

tetapi kasih yang mengalir ke bumi,

membasuh yang sepi,

menemani yang sendiri.

 

Dan ketika fajar merayap di ufuk,

aku mengerti:

mereka yang tetap terjaga,

mereka yang memilih mencinta dalam diam,

adalah lentera yang menuntun jalan pulang,

adalah embun yang tak letih membasuh pagi.

 

Purwokerto, 2025

 

 

CAHAYA DI TUBUHMU

 

Dulu, langkahmu tenggelam dalam bayang sendiri,

malam merambat di urat nadimu,

dingin memelukmu seperti doa

yang kehilangan suara.

Namun kini, lihatlah

di dadamu, cahaya tumbuh,

seperti mata air yang tak pernah kering,

seperti rahasia yang meluruh dari langit.

 

Di ujung jemarimu, fajar mekar,

bukan sekadar sinar, bukan sekadar warna,

melainkan nyala dari suaramu sendiri,

dari dzikir yang kau semai dalam sunyi.

Tak ada yang hilang dalam gelap, kasih,

hanya cahaya yang menunggu dipanggil namanya.

Kau bukan bayangan, bukan sepi yang tersesat,

kau adalah bintang yang menemukan cakrawala,

cahaya yang tak mencari sumbernya,

karena ia adalah sumber itu sendiri.

 

Lihat tubuhmu

ia adalah lentera yang tak gentar oleh malam,

ia adalah pagi yang tak pernah lelah terbit,

sebab terang bukan datang dari luar,

melainkan dari jiwamu yang telah kembali pada dirinya.

Dan kini, kasih,

tak ada yang bisa memadamkanmu,

sebab kau telah menjadi cahaya itu sendiri.

 

Purwokerto, 2025

 

 

RAMADAN, KEKASIHKU

 

Kau datang seperti rembulan,

menyinari hatiku dengan cahaya yang teduh.

Kau mengetuk pintu malamku

dengan langkah lembut tahajud,

mencium ubun-ubunku

dengan angin sahur.

 

Aku jatuh kepayang dalam tatapanmu.

Puasa adalah caramu menggoda,

membiarkan aku tenggelam dalam haus

agar kutemukan manisnya penantian.

Aku menikmati dekapmu di waktu-waktu sunyi,

membiarkan rindu ini

mengendap dalam doa.

 

Kau ajarkan aku mencintai tanpa memiliki,

menyentuh tanpa melukai,

menanti tanpa resah.

Aku mabuk dalam bisikanmu

yang kau titipkan di tiap fajar.

Tapi Ramadan, kekasihku,

kau seperti angin yang tak bisa kugenggam,

selalu berkemas saat aku mulai ingin merengkuh.

Kau pergi dengan langkah cahaya,

meninggalkan sajadah

yang masih basah oleh tangis,

meninggalkan jejak rinduku di udara.

 

Aku tak akan meminta waktu berhenti,

karena perpisahan ini

adalah caramu mengajarkanku setia.

Meski kau jauh, aku akan tetap menunggumu,

memeluk bayanganmu dalam doa,

hingga kau kembali

dengan cahaya yang lebih mesra.

 

Yogyakarta, 2025

 

 

AKU ADALAH KAU

 

Ramadan, kau datang seperti angin,

tak meminta izin pada ranting,

seperti cahaya yang meresap ke mataku,

tanpa kutahu batasnya.

Kau bukan sekadar tamu,

kau adalah nafas

yang kuluputkan namanya.

 

Aku lapar, kau menjelma sabar.

Aku haus, kau menjelma cahaya.

Aku sendiri, kau adalah bayanganku

yang tak terpisah.

Setiap detik bersamamu

adalah perjalanan pulang.

 

Aku terhisap ke dalam sunyi,

di mana doa menjadi cermin,

dan rindu hanyalah kelambu tipis

yang memisahkan aku dan Kau.

Tetapi, apakah cinta

pernah benar-benar pergi?

Bukankah aku adalah Kau,

dan Kau adalah aku?

 

Bukankah perpisahan hanyalah ilusi

bagi mereka yang belum

menanggalkan dirinya?

Aku tak perlu mencarimu

dalam penanggalan,

karena kau telah menetap dalam diriku.

 

Kau bukan sekadar bulan yang berlalu,

kau adalah cahaya di setiap sujud,

udara yang memenuhi paru-paruku.

Bukan aku yang kehilanganmu,

tetapi diriku yang harus semakin

menemukan Kau.

 

Yogyakarta, 2025

 

MALAM IDUL FITRI

 

Di teras rumah, sepasang sandal berdebu,

suara takbir mengalun syahdu,

angin membawa jejak rindu,

bulan mengambang di atas pohon jambu.

 

Di dapur, ibu mencuci piring perlahan,

air mengalir, membasuh kenangan,

doa-doa jatuh di tepian sajadah,

menyatu dalam sunyi yang pasrah.

Ayah bersimpuh di sudut ruang,

tatapannya karam dalam terang,

malam merunduk dalam ketenangan,

tasbih melingkar di jemari waktu.

 

Anak-anak berlari membawa bintang,

cahaya mekar, lalu menghilang,

seperti desir takbir yang melayang,

menyentuh kalbu yang pulang.

 

Dan aku,

mendengar bedug dari kejauhan,

serupa detak jantung yang perlahan,

mengeja rindu dalam kepulangan.

 

Yogyakarta, 2025

 

 

PULANG DI HARI FITRI

 

Langit subuh memantulkan takbir,

bergetar di dinding-dinding masjid.

Sajadah membentang bagai hamparan cahaya,

sujud-sujud mengalir seperti sungai,

mencari muara di telaga ampunan.

 

Di halaman rumah, ibu menunggu,

mata beningnya mengurai rindu.

Tangan yang dulu menimang,

kini merangkulku dalam doa.

Keringatnya menua bersama waktu,

tapi kasihnya tetap berkilau

seperti fajar yang tak pernah padam.

 

Di tanganku, rezeki berpindah,

di genggamanku, doa berbisik.

Setiap helai yang kita berikan

mengundang rahmat turun perlahan,

mengisi ruang hati

dengan cahaya yang tak terbeli.

 

Di tanah makam, angin berbisik,

membawa rindu tanpa suara.

Kami duduk dalam keheningan,

membuka kitab yang dulu diajarkan,

membacakan ayat-ayat yang mengalir

seperti gerimis jatuh ke tanah,

agar ruh-ruh mereka diterangi,

agar hidup kami diberkahi.

 

Malam ini, aku melangkah pulang

di jalan yang sunyi, tetapi terang.

Hari ini, langkah-langkah kembali ke fitrah,

jiwa dipeluk cahaya takbir,

menjemput rahmat yang dijanjikan.

 

Yogyakarta, 2025

 

 

SUNGKEM IBU

 

Pagi membuka jubahnya,

angin menebar doa dari dahan jati.

Di halaman, kami berdiri,

bayang-bayang kami menjangkau kakimu,

seperti akar yang meraba tanah asal.

 

Ibu,

wajahmu bulan tua

yang mengambang di tepi telaga,

mata beningmu menyimpan zikir angin,

dan tanganmu ranting kamboja,

tempat sunyi berlabuh.

 

Kami sujud,

seperti padi merunduk pada tanah,

dahi kami menyentuh waktu

yang kau tenun dengan air mata.

Saat jemarimu membelai ubun-ubun kami,

angin membawa wangi kayu cendana,

menggetarkan sunyi yang lama tertidur.

 

Di sudut rumah,

kupat menggantung seperti lentera,

opor mendidih dalam kuali berkilau,

aroma bawang putih menari di dapur,

bersama doa-doa yang mengendap di tungku.

 

Kau tersenyum,

serupa embun terakhir di daun pisang,

serupa cahaya yang ragu sebelum fajar,

dan di dada kami,

segala luka menjelma kelopak mawar,

mekar dalam kasihmu yang tak bertepi.

 

Angin mengayun doa-doa di langit,

bayang-bayang kami tenggelam dalam tanah,

sementara tanganmu,

seperti rembulan yang pecah di air,

menghapus segala nestapa.

 

Purbalingga, 2025

 

BIOGRAFI:

Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa

Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, dan

menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam

Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Abdul Wachid B.S. lulus Doktor

Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

(15/1/2019). Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai

Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan

Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan

Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan

Sajak Wasilah Sejoli (2022). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid

B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai

karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang

tahunnya yang ke-55).

Related posts

Leave a Comment

three × 2 =