Berita PERISTIWA 

Kemeriahan Mimbar Puisi Ramadhan

Depok (litera). Acara Mimbar Puisi Ramadhan di Depok berjalan sangat meriah. 40 lebih pegiat sastra hadir di acara yang diadakan rumah seni Asnur yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Depok (DKD) pada hari minggu 26 Juni. Meski pada awalnya Asrizal Nur sang tuan rumah agak cemas karena sore hari diguyur hujan lebat, namun ternyata itu tak mengurangi antusiasme para pegiat seni dan sastra untuk menghadiri acara tersebut.

Acara dibuka pada pukul 16.30 dengan dipandu pembawa acara Mustafa Ismail, redaktur budaya Koran Tempo dan Teroka Sastra. Dibuka dengan sambutan tuan rumah Asrizal Nur (rumah seni Asnur dan ketua harian DKD). Acara kemudian dilanjutkan dengan sessi diskusi yang bertajuk “Sastra dan Islam” dengan pembicara Prof Abdul Hadi WM , Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Kurnia Effendi dengan moderator Mahrus Prihany.

Dalam pengantar diskusi Abdul Hadi WM yang juga merupakan guru besar universitas Paramadina mengatakan bahwa sastra itu sesungguhnya bagian dan milik semua bangsa. Setiap bangsa memiliki pandangan yang berbeda-beda sesuai kondisi masyarakatnya, namun pada hakikatnya sastra memiliki ruh yang sama. Tokoh sastra sufistik yang memiliki konsentrasi pada sastra timur tersebut menyebut contoh bahwa ada sastra Arab, sastra Persia, sastra India, sastra melayu, dan sastra Islam yang tentu juga harus dipisahkan tersendiri karena berbeda dengan sastra Arab. Menurut Abdul Hadi sastra Indonesia sendiri sering sekali merujuk ke sastra bangsa barat. Sastra Islam dalam pandangan Abdul Hadi adalah spiritualitas yang penuh perenungan dan hikmah.

“Sastra itu adalah jalan dan tempat pindah dari raga menuju batin. Yang mengendalikan adalah jiwa. Dalam sastra Islam, cita rasa yang paling tinggi adalah sastra yang mendatangkan kedamaian,” ungkap Abdul Hadi.

Sutardji berpandangan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang dahsyat. Banyak hal yang tak bisa dilukiskan oleh medium lain tapi mampu dilukiskan lewat puisi. Kecemburuan, kemarahan dan kasih sayang Tuhan sering dilukiskan lewat kata.

“Tuhan dan para nabi hanya bisa dilukiskan lewat kata-kata atau puisi, maka sesungguhnya puisi adalah kata-kata yang dahsyat,” papar Sutardji.

Pemateri ketiga adalah Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair yang dikenal dengan puisi “Sembahyang Rumputan” itu menegaskan bahwa kata dalam puisi memiliki kekuatan seperti mantra. Bahkan puisi itu serupa doa yang bisa terjadi pada kehidupan penyairnya. Ia mencontohkan jika seorang penyair menulis puisi tentang sesuatu misalnya musibah, kecelakaan, atau persetubuhan maka itu sangat mungkin terjadi dengan diri penyairnya. Ada beberapa contoh untuk hal semacam itu.

“Karena puisi seperti doa, saya tak berani menulis puisi dengan cita rasa buram,” tegas penyair yang kini menyebut dirinya sebagai “pelayan sastra tersebut.”

Diskusi sempat ditunda karena adzan maghrib. Para tamu lalu dipersilakan buka puasa bersama. Diskusi kemudian dilanjutkan kembali pada pkl 19.00. Pemateri terakhir Kurnia Effendi yang merupakan penulis prosa mengatakan jika sastra adalah media. Media apapun itu ingin menyampaikan sesuatu atau pesan.

“Sastra yang baik tentu mengandung pesan moral dan dakwah. Dulu para penyampai risalah menyebarkan agama lewat seni dan budaya seperti sunan Kalijaga dan sunan Bonang yang ahli menulis kata atau syair yang disebut suluk,” tutur pria yang dikenal dengan panggilan mas Keff di kalangan teman-teman ini.

Usai diskusi, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi. Hampir semua yang hadir dengan penuh semangat tampil di acara tersebut. Ada L.K Ara, Chairil Gibran Ramadhan, Iman Sembada, Jose rizal Manua, Endin Sas, Ical vrigar, Imam Maarif, Rara Gendis, Endang supriadi, Shobir poer, Hadi Sastra, Budhi Setyawan, Tejha Fathasena, Khoer Jurjani dan masih banyak lagi.

Satu hal yang mengejutkan adalah saat Asrizal Nur memberi kejutan pada Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri dengan menayangkan film pendek pada layar tentang kiprah mereka berdua di dunia sastra Indonesia sebagai kado ulang tahun dan apresiasi. Ternyata mereka berulang tahun pada tanggal yang sama, 24 Juni. Abdul Hadi lahir pada 24 Juni 1946 dan Sutardji Calzoum Bachri pada 1941.

(Mahrus Prihany)

Related posts

Leave a Comment

two × three =