puisi 

Puisi-Puisi Surya Gemilang

Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Antologi cerpen tunggal pertamanya berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Tulisan-tulisannya yang lain dapat dijumpai di lebih dari delapan antologi bersama dan sejumlah media massa. Kini tinggal dan bergiat di renon, Denpasar, Bali.

 

Diam yang Melumatmu

 

bahasa bagi kita adalah kapal yang karam

di tengah gurun pasir, atau jembatan

yang tak bisa diterjemahkan oleh kamus

mana pun, apalagi dilalui oleh kalimat.

 

tiupan angin malam mencoba mengajarkan

kita untuk memahami apa arti dari

kehancuran. kehancuran yang abadi,

mencakar-cakar sesuatu yang lebih

baik hampa.

 

sela-sela bibirku menjelma diam yang

melumatmu. aku menikmati hangat

dagingmu dan bahasa yang susah payah

kita rangkai untuk menjadi sesuatu yang

remuk. seremuk-remuknya.

*

ada seekor hewan buas yang tak bisa mati

di balik tempurung kepalaku, seperti

rasa rindu yang muram. hewan buas itu

adalah makhluk yang akan menghibur kita

sepanjang hari—dengan kelucuannya

—sebelum akhirnya menerkam kita dalam diam.

 

 

Sajak Tentang Sebuah Kerajaan Kecil

 

ada yang akan lenyap tanpa

isyarat di antara kita; ada

yang akan memiliki sepasang

sayap untuk mengecup

ketinggian yang kusam. di

dapur ibuku mungkin akan ada

seseorang yang menjelma

jelaga ketika aku lupa

cara untuk berhenti menangis.

 

ia menampung berbilah-bilah

pisau dapur di pekat bola

matanya, juga buku-buku

tebal yang membuat debu

jatuh cinta. ia meretih untuk

membahagiakan tungku,

untuk memberikan rasa

yang dalam pada sekilo beras

yang angkuh.

 

aku adalah jelaga yang berhasrat pada

minyak dan api. ada misteri yang menggerogoti

warna tubuhku juga warna bola matanya. dan,

akan ada sesuatu yang liar yang menjadikan kita

menu sarapan.

 

 

Ritual

 

kau boleh pergi setelah kecambah

kesedihan tumbuh di sudut bilik kiri

jantungku. aku akan selalu merawatnya.

untukmu. atas namamu.

 

di kamarku, kau sedang mengamati

gerbang rumahku: menanti tamu

yang kira-kira tak akan pernah

datang. atau mungkin kau sedang

mengamati kebunku yang dipenuhi

kesedihan, namun terdengar tawa

terbahak-bahak dari sana.

 

kau kerap mengingatkanku bahwa ada

beberapa pasang kekasih yang abadi di daun

telingaku. kau memintaku merekam segala desah

yang mereka rajut dari tanah liat: kenangan kita

yang kedap air.

*

mari kutunjukkan padamu akhir dari ritual

puisi yang payah ini: segalanya menyatu dalam

lingkaran kita, merayap pada muram yang

sedih

dan penuh tawa.

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

four × four =