Agenda 

Imaji yang Menari Dalam Puisi Alya Salaisha

Apresiasi Ahmadun Yosi Herfanda

Puisi dimulai dari kegairahan

Dan berakhir dengan kearifan

 (Robert Frost)

Membaca sajak-sajak Alya Salaisha dalam buku kumpulan puisi Taman Terakhir saya menemukan imaji yang menari-nari dalam sajak. Imaji itu bergerak dengan gemulai, di balik sususan kata yang indah, membangun gambar-gambar dinamis yang samar, dan menghadirkan teka-teki makna yang menantang pembaca untuk menangkapnya. Tidak gampang menjawab teka-teki makna yang tersembunyi di balik tarian imaji itu, ketika deretan imaji membentuk gambar-gambar yang surealistik.

Coba kita simak salah satu puisi Alya sbb.

 

ADA YANG KUPERAM DI SINI

 

Ada yang kuperam di sini

Di rumah kabut bagimu berlabuh

Juga di rumput hijau yang mulai menghitam

Sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar

Waktu berlalu tapi selalu kunamai dengan nama bunga

: mawar, melati, kenanga, kamboja si bunga mati

 

Hingga taman terindah kini singgah di tubuhku

Kau bahkan memakai gaun tembus pandang

Berdebu-debu menempal di kulit tubuhku

Mengutiku, menyelamiku, mengendap di taman tubuhku

Tanpa kutahu selain aroma tubuh

Yang kerap menghampiri ujung-ujung jemariku

“aku akan bersamamu,” katamu merdu dan aku percaya

 

Sebab ada yang kuperam di sini

Di rumah kabut bagimu berlabuh

Juga di rumput hijau yang mulai menghitam

Sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar

 

Pangkalpinang, 14 Maret 2011

 

Puisi, secara sederhana dapat dimengerti sebagai susunan kata yang indah dan bermakna. Ya, indah dan bermakna. Dan, puisi yang indah dan bermakna akan selalu dulce et utile, menghibur dan berguna — sebuah prinsip klasik dari Horace yang tetap dirujuk oleh banyak penyair (penulis karya kreatif) hingga sekarang. Yang indah selalu menghibur atau menyenangkan, karena dapat mempesona rasa keindahan pembaca. Yang bermakna selalu berguna, karena dari sana pembaca akan menangkap pesan yang mencerahkan.

Untuk mencapai kegunaan, atau kebermanfaatan, seperti tersamar pada sajak-sajak Alya, seorang penyair tentu saja tidak harus menyampaikan pesan secara gamblang, atau secara eksplisit, seperti pesan dalam esai, dan apalagi khotbah Jumat. Pesan sering juga disampaikan secara tersamar, seperti pesan pada sajak-sajak Alya, untuk membuat pembaca makin penasaran. Seperti kata Sapardi, puisi yang bagus adalah yang berhasil menyembunyikan pesan di balik kaca kristal puitika atau estetika puisi. Tiap benda atau sesuatu (something) yang berada di balik kaca kristal akan tampak lebih indah dan tersamar, tapi siapapun tahu ada sesuatu yang penting dan berharga di balik kaca kristal itu.

Kaca kristal puitika itu, secara konvensional berupa pemanfaatan metode puisi secara maksimal dan kreatif, meliputi tipografi, rima, ritme, citraan (imagery), dan diksi. Dalam mazhab puisi imajis, baik imaji simbolik maupun konotatif, kemahiran membangun citraan menjadi sangat penting, baik citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, maupun citraan peraba. Keberhasilan sebuah puisi bergantung pada kemampuan sang penyair membangun citraan yang untuk, jernih, dan indah dalam sajak-sajaknya. Dan, disinilah upaya-upaya penemuan simbol, konotasi, atau metafor baru sangat diperlukan, agar puisi dapat menghadirkan cita-rasa baru yang unik, segar dan menarik. Pemanfaatan majas atau gaya bahasa – semisal personifikasi dan paralelisme — juga menjadi penting agar citraan dalam puisi menjadi hidup dan indah.

Jika kita nikmati dan simak secara seksama, terlihat ada upaya-upaya puitik seperti itu dalam sajak-sajak Alya. Dan, upaya-upaya itu menghasilkan sajak-sajak yang puitis, apik, indah, menyenangkan, menghibur, enak dinikmati, dengan tetap menyembunyikan pesan-pesannya agar pembaca tertantang untuk menafsirkannya. Untuk dapat dikatakan berguna, atau mencerahkan, sajak, puisi, memang tidak selalu harus menyampaikan pesan secara telanjang. Jika keindahannya saja sudah menyenangkan, maka sudah dapat dianggap bahwa puisi tersebut mencerahkan; karena perasaan pembaca atau kebutuhan pembaca akan keindahan sudah terpenuhi.

Coba kita simak lagi salah satu sajak Alya sbb.

 

CELOTEH MATAHARI

MENJELANG PAGI

 

Di pagi buta bulan oktober

Matahari kecil itu

Berceloteh tentang embun

: mengecup ubun-ubun

 

Tahukah kau, matahari itu

Telah lama kugali bersama air mata

Hingga sungai-sungai hidup di pipiku

: aku merindukanmu

 

Maka tak bosan aku menimangmu

Dengan nyanyian paling merdu

Sampai habis segala syair

Segala yang liris

Dan jalan mengantarku pulang

 

2011

 

Sajak romantik yang berbicara tentang kerinduan, tentang saat-saat sang penyair merindukan seseorang, yang mengisyaratkan kecintaan dan kesetiaan untuk pulang pada yang dirindukannya, mengingatkan saya pada sajak “Dalam Doaku” karya Sapardi Djoko Damono, yang juga berbicara tentang kerinduan dan kesetiaan pada seseorang yang dicintanya. Coba kita simak sbb.

 

DALAM DOAKU

 

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit,

Yang semalaman tak memejamkan mata,

Yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,

Yang melengkung heing karena akan menerima

sara-suara

 

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,

Dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara,

Yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan

Pertanyaan muskil kepada angin yang menedasu

entah dari mana

 

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja,

Yang mengibas-gibaskan bulunya dalam gerimis,

Yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu bunga jambu,

Yang tiba-tiba gelisah dan terbang

Lalu hinggap di dahan mangga itu

 

Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun

Sangat pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan

Kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,

Rambut, dahi dan bulu-bulu mataku

 

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,

Yang dengan sabat bersitahan terhadap rasa sakit yang

entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi

rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi

kehidupanku

 

Aku mencintaimu,

itu sebabnya aku takkan pernah selesai

mendoakan keselamatanmu

 

Jakarta, 1990

 

Sajak-sajak Alya dan sajak-sajak Sapardi, juga banyak penyair Indonesia yang lain, banyak memanfaatkan metafor ataupun simbol alam dalam menuliskan kesan, suasana, perasaan, dan pikiran, dalam puisi, sehingga makin terasa indah. Memang, puisi juga dapat dipahami sebagai ekspresi pikiran dan perasaan dalam sususan kata yang indah dan bermakna, yang menghibur dan mencerahkan.

Dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan itu, sejak zaman sastra klasik hingga sekarang, banyak penyair yang memanfaatkan benda-benda dan fenomena alam sebagai “media” untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Seperti ditemukan oleh Rene Wellek, sebagian besar penyair Barat pun banyak memanfaatkan simbol alam (natural symbol) dalam menulis puisi, selain simbol-simbol yang sangat personal (private symbol), dan simbol-simbol yang bersifat umum (blank symbol) yang gampang dicerna maknanya oleh pembaca. Penyair yang berpengalaman akan mengolah, memadukan, dan memainkan ketiga jenis simbol tersebut secara kreatif untuk menghasilkan sajak-sajak yang indah dan mencerahkan.

Di sekitar penyair, di manapun dia berada, akan selalu tersedia sangat banyak benda dan fenomena alam yang menyediakan diri untuk menjadi simbol dan metafor bagi sajak-sajak yang hendak dia tulis. Banyaknya benda dan fenomena alam itu dapat dihayati sebagai tanda kemurahan sekaligus keagungan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Bagi para penyair, benda-benda dan fenomena alam itu adalah berkah yang takkan pernah habis untuk dimanfaatkan bagi sajak-sajak, ribuan sajak, jutaan sajak,  yang hendak mereka tulis. Keberkahan yang sangat patut untuk selalu kita syukuri. ***

 

Pamulang, 25 Maret 2017

 

  • Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi dan peluncuran buku kumpulan puisi Taman Terakhir karya Alya Salaisha di Soeltan Coffee, Jl. Ampera Raya No. 59, Kemang, Jakarta Selatan, Senin 27 Maret 2017, pukul 16.00 wib hingga selesai. Acara berlangsung meriah, diwarnai baca puisi, musikalisasi puisi, dan diskusi dengan moderator Sahrul Fuad. Ikut membaca puisi, antara lain Dino Umahuk, Kurnia Effendi, Nana Ernawati, Fanny J. Poyk, Sofyan Rh Zaid, dan Sihar Ramses Simatupang. Beberapa sajak Alya juga dinyanyikan dengan apik oleh Bintang Catonia dan Alya Salaisha, seperti tampak pada foto di atas.

 

Related posts

Leave a Comment

three × four =