Agenda 

Novel Best Seller Sekadar Loveable

Anton Suparyanta, alumni FIB UGM Yogyakarta. Dari tahun 1998-2017 aktif sebagai esais pendidikan-seni-budaya-sastra di beberapa harian pagi (Jawa Pos, Riau Pos, Lampung Pos, Suara Merdeka, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Surya, jurnal daring BASABASI.CO) dan mantan dosen sastra di FKIP Universitas Widya Dharma, Klaten. Tahun 2005 hingga kini aktif sebagai penulis buku mapel Bahasa Indonesia (”kurikulum” KBK, KTSP, BSE, Kurikulum 2013) untuk jenjang SD, SMP, SMA, SMK dan menjadi staf di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah.

 

Fluktuasi novel tanah air mudah diikuti perkembangannya. Tak ada siasat istimewa. Hebatnya, kuantitas novel karya Darwis Tere Liye akhir-akhir ini menjadi oase estafet antargenerasi novel. Gelontoran novel Tere Liye ini mengingatkan pusaran label best seller. Adakah bandingannya?

Beberapa tahun silam Ahmad Fuadi sukses promosi novel Ranah 3 Warna yang dilabeli national best seller. Novel ini menjadi buku kedua, sekuel dari trilogi Negeri 5 Menara (N5M) yang terbit lebih dahulu. Menurut catatan beberapa situs, N5M menjadi novel super-booming yang melampaui produk-produk novel gaya dwilogi, trilogi, ataupun tetralogi sezaman.

Selentingan inilah mengusik riak sastrawi. Laris karena selera pasar semata ataukah tren arah membaca karya sastra kita yang membaik? Atau justru imbas dari serentetan gaya novel trilogi atau tetralogi yang masih booming bak kacang rebus di angkringan ujung kampung.

Sebagai pemain baru untuk komunitas novelis, Ahmad Fuadi tentunya masih meraba-raba antara jaringan pasar (konsumen), novel pesaing, dan kualitas karya. Tanpa studi analisis yang mendalam, Ahmad Fuadi sukses merebut pasar dan berani bertengger di papan atas dalam daftar novel(is) ciamik. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kuat seberapa lamakah daya edar mutu novel-novel tersebut? Dengan kata lain, seberapa bermutukah novel Ahmad Fuadi untuk kompeten mengguncang jagat sastra Indonesia? Fenomena Ahmad Fuadi tersebut menjadi tantangan khusus untuk Darwis Tere Liye sekarang ini.

Novel Berseri

Beberapa tahun silam Lilimunir C pernah meluncurkan novel seri Rumah Besar. Titis Basino PI secara ide juga menerbitkan hal serupa tanpa label tersurat secara serial. Ayu Utami moncer menggebrak sastra kita dengan hentakan duologi, Saman dan Larung serta Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa. Fira Basuki memamerkan serial Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap.

Bahkan, simbiosis novel dan film telah diracik apik dengan bius sinetron dan layar lebar. Garapan Habiburrahman El Shirazy dengan ide novel beruntun sebagai narasi penggugah jiwa yang jauh sebelumnya telah digugah gaya Dee-Dewi Lestari dengan Supernova. Bak meteor melesat, Andrea Hirata pun menorehkan sastra Indonesia dengan tetralogi Laskar Pelangi dan trilogi Padang Bulan. Kemudian muncullah Ahmad Fuadi dengan sodoran trilogi Negeri 5 Menara. Tergres kini muncul nama Tere Liye dengan novel-novel tebalnya.

Deret novel berseri tersebut menawarkan karya fenomenal dan fluktuatif untuk bilangan sastra Indonesia. Gaung apresiasi tidak mampu membekas lama. Baru sebatas loveable, menyenangkan, untuk konteks sezaman. Betapa tidak!

Berbeda halnya dengan novel yang mampu menggores, melukai, menandai antarzaman disebabkan niatan gagasan yang dipolakan oleh tokoh-tokoh pemikir bangsa yang hendak membangun jati diri. Kajian lintas generasi pun tetap menyajikan pola pikir yang baru. Diskusi interteks untuk novel tersebut dapat diteroka kembali melalui karya Anak Semua Bangsa (Pramudya Ananta Toer) yang klik dengan Anak Tanah Air, Secercah Kisah (Ayib Rosidi). Pergulatan ide anak bangsa tersebut dicerahkan oleh mentalitas dan spiritualitas setiap tokoh untuk bisa menasional dan mondial, mendunia. Garapan etos cerdas ini mewujud dalam novel Burung-Burung Rantau (YB Mangunwijaya).

Adakah cermin gagasan besar di dalamnya? Bandingan-bandingan eklektik seperti inilah yang belum (tidak) menginspirasi garapan novel-novel mutakhir. Ide setiap karya masih mencerminkan kecerdasan ego setiap diri novelis. Jadi, ada semacam keterputusan alir ide untuk lintas generasi lintas zaman.

Riak Kecil Sastrawi

Mengikuti alir ide Ranah 3 Warna, novel ini tak ubahnya catatan harian yang divermak. Bisa juga sketsa kisah yang dibumbui batas-batas orang yang paham bagaimana bercerita dengan lancar, komunikatif dengan diksi yang berarti kamusan, dan urut layaknya sajian berita.

Catatan kecil berikut perlu didiskusikan lebih intensif. Pertama, paparan tema, fakta cerita, dan sarana cerita sebenarnya simpel. Ikatan unsur intrinsiknya gamblang. Tema yang dirangkai dengan dua ’mantra’ man jadda wajada (teguh sabar menghadapi cobaan hidup) dan man shabara zhafira (yang sabar akan sukses dan beruntung) justru semata-mata tidak membelit penceritaan. Mantra tersebut tak beda jauh dengan moto. Moto ini untuk mewujudkan mimpi si tokoh.

Kedua, tokoh protagonis (Alif Fikri) belum menunjukkan pergulatan batin yang mumpuni. Tidak tampak rekayasa imaji untuk sungguh-sungguh menggarap karakter tokoh. Banyak uraian cerita masih menggunakan gaya bahasa harian, belum terjadi nyastra yang membiaskan sistem tanda.

Ketiga, nyaris tidak ada kubu konflik yang menggetarkan. Hal ini disebabkan underan masalah tidak tersampaikan. Keempat, setting tiga lokasi antara Maninjau-Bandung, Amman-Yordania, dan Kanada-Amerika lebih menggiring perpindahan fisik tokoh secara fragmentar. Setting dibiarkan menggelinding. Setting belum dioptimalkan membentuk karakter unik si tokoh. Akibatnya, jika judul novel (Ranah 3 Warna) coba dibenturkan pada bangunan novel, tentu saja sebatas menyajikan panorama di setiap warna. Artinya, millieu budaya setiap daerah tersebut tidak begitu berarti bagi si tokoh. Tokoh menikmati bermain wisata, tour melancong sehingga muncul sindiran cultural commuter. Tak lebih dari pejalan budaya yang kagum melampiaskan mimpi.

Kelima, ending cerita begitu ciut jika seolah-olah sekuel ini dipaksakan rampung dengan tali asmara yang gagal disimpulkan. Keenam, sketsa ke-51 tentang pulang kampung menjadi ironi cerita yang menempel. Ketujuh, kosa kata daerah baru tampil sebagai aksesori penceritaan dan khazanah bahasa; belum diolah sebagai passion yang mengguncang pribadi/karakter tokoh. Di sisi lain, di catatan kaki sedikit terpeleset ketika merumuskan rima pantun menjadi /abab/ dan /aaaa/. Bukankah pantun berbeda dengan syair?

Kegaduhan cerita dan ketebalan halaman belum mengilatkan ikon-ikon sentral sastrawi. Dengan memakan halaman tebal, seyogianya terjadi amuk semiotik, histeria tikungan-tikungan maut untuk ikon-ikon sastrawi, ataupun tarung pergumulan batin yang terekspos melalui tokoh dan penokohan serta kemasan ide gila. Akan tetapi, yang muncul justru hamparan cerita panorama kisah yang datar, stereotipe.

Ide cerita tidak sepenuhnya didukung teknik yahut penceritaan. Teknik telling (kisahan atau curaian pengarang) dan showing (ragaan atau dialog) nyaris tidak membangun konflik utama. Akibatnya, cerita terbawa pada kelana peristiwa. Hinggap di satu intrik, meloncat ke intrik lain. Gaya cerita masih seperti tukang lapor. Rakitan kata belum menjiwa sastra. Tabik literasi.

 

*Esai ini pernah disiarkan di SKH Riau Pos bersinergi dengan Kantor Balai Bahasa Riau dalam kolom Alinea pada Ahad, 30 April 2017.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

ten − one =