Agenda 

Monolog di Penjara

Armin Bell, adalah nama pena dari Robertus Bellarnimus Nagut. Cerpen-cerpennya pernah disiarkan di Jurnal Sastra Santarang, Pos Kupang, Lombok Post, Pos Bali, Antologi Cerpen Sastrawan NTT, dan menjadi salah satu cerpenis terpuji pada Anugerah Sastra Litera 2017. Aktif di Komunitas Saeh Go Lino Ruteng dan Petra Book Club. Inisiator kegiatan “Sore Cerita – Dongeng untuk Anak” di Taman Baca LG Corner Ruteng. Tinggal di Ruteng, Flores, NTT.

 

Dalam susah, dalam senang, dia tak sering memberiku kesempatan bicara. Selalu begitu. Seperti hari ini.

Gerbang tua telah dibuka penjaga. Kudengar derit engsel yang lama tak diberi minyak pelumas. Aku menemuinya dan terpaksa menelan ucapan selamat sore yang hendak kusampaikan. Dia telah bicara sejak pertama melihatku melangkah masuk, dan rasanya tidak akan berhenti.

“Akhirnya kau datang lagi, Dik. Semoga tidak membawa apa-apa. Oleh-oleh yang kemarin belum habis. Roti masih ada. Kopi belum jua sempat kuseduh. Tapi batu akik ini, Dik. Wah! Semalam saya bermimpi. Ada perempuan cantik datang. Dia berpeluh, Dik. Harum sekali keringatnya. Semerbak. Mungkin benar katamu kemarin itu. Batu akik ini adalah dewi tari yang dikutuk ketika merempah tubuhnya di air terjun larangan.”

Aku tertawa panjang karena kemarin bercanda saja. Tetapi kulihat senyum pergi dari wajahnya.

“Kau tidak datang untuk ambil akik ini lagi bukan?” Cepat kugelengkan kepala.

“Syukurlah,” katanya, “karena kalau iya, aku rela dipenjara lebih lama, Dik. Setelah membunuhmu di sini.”

Lalu dia tertawa dan aku mematung saja. Tak pernah dapat kutebak apakah dia hendak melucu saja atau sedang bersungguh-sungguh, seperti juga betapa sulit menebak kapan dia tersenyum, tertawa, atau tersinggung.

“Aku bercanda, Dik. Tak pernah kudengar kisah seorang membunuh karena batu akik. Kalau menjadi pencuri, banyak. Lebih banyak lagi yang jadi penjilat. Makanya harga batu akik menjadi mahal karena orang-orang senang menjilat. Mungkin karena bentuknya mirip permen,” terangnya lalu menjilat-jilat udara dengan ceria.

Kupandang sekeliling. Yang lain tersedot pandangannya ke titik kami berada dan menunda melepas rindu. Ada hening yang aneh sampai dia selesai menjulurmasukan lidahnya.

“Kubuatkan kopi, ya?” Katanya kemudian lalu menghilang ke selnya. Kupakai jeda itu untuk mengatur napas, melihat-lihat sekeliling, mengenali situasi yang mungkin akan kuakrabi empat tahun ke depan.

Seorang petugas terkantuk-kantuk di ruang jaganya yang kecil. Matanya sesekali terpejam, terbuka sayu setelahnya, lalu mengedarkan pandang ke arah kami, kemudian terpejam lagi ketika mendapati semuanya baik-baik saja. Kuperhatikan, setiap peristiwa seperti itu berulang secara periodik. Dua menitan, kuhitung. Ada yang asyik setiap melihat seseorang berjuang menahan kantuk, lalu kupikir petugas itu butuh segelas kopi. Tetapi kopi yang datang hanya segelas.

“Segelas kopi, Dik. Buat kita berdua. Biar seperti lagu dangdut Ida Laila Sepiring Berdua[1]. Tapi kita pakai gelas ya. Tak eloklah minum kopi di piring,” ujarnya sebelum menyeruput kopi, menyodorkan gelas itu kepadaku dan menyanyikan penggalan lagu, lagi-lagi lagu dangdut lama. Suara Hati[2], satu lagu paling yang paling disukainya, dipopulerkan Ida Laila dan Mus Mulyadi.

Tetapi dia mengganti lirik ‘debaran hatiku…’ dengan ‘sepiring berdua.’; lalu tertawa. Saya ikut tertawa. Orang-orang di sekitar juga ikut tertawa mendengar nada dan lirik yang tidak tepat itu.

Riuh kecil itu membuat petugas yang menahan kantuk mengangkat kepala dengan malas, berjuang membuka matanya penuh tetapi gagal. Kulihat ada iler yang mengalir tipis di sudut bibirnya, dan kepala itu lunglai lagi.

Di hadapanku dia terus saja bicara. Kali ini tentang kesenian; topik yang dengan malas kuikuti karena kutahu satu-satunya yang dia tahu tentang kesenian adalah tentang penari telanjang yang dia paksa menari setiap akhir pekan hanya untuknya. Penari telanjang yang selalu dibayarnya mahal itulah yang membuatnya ada di penjara ini. Penari yang selalu dibayarnya mahal.

“Sampai di mana kita kemarin? Oh, iya. Tentang seniman.”

Kemarin dia berapi-api bicara tentang betapa kecilnya penghargaan masyarakat pada kesenian. Dia menuduh semua orang selain dirinya memiliki pikiran yang pendek. Kalau yang pendek itu rok kan masih bagus. Kalau pikiran? Kuingat dia mengatakan itu dengan tangan yang bergerak-gerak membetulkan letak sesuatu di dalam celananya.

“Ayo, diminum kopinya, Dik,” katanya lalu melanjutkan percakapan tentang rok pendek yang kemarin terputus karena waktu berkunjung yang telah selesai.

“Harga rok pendek sekarang kabarnya mahal, ya? Karena itu karya seni, Dik. Seni memang mahal. Kalau selama ini seniman dibayar murah, itu salah kita yang jadi penonton, yang jadi panitia, yang jadi sponsor.”

Saya sedang berusaha menebak ke arah mana percakapan ini akan dia bawa ketika kata-kata meluap lagi dari mulutnya. Kali ini tentang kekesalannya pada hitung-hitungan bayaran seniman yang dia anggap tidak adil.

Dia bertanya apakah saya setuju dengan anggapan umum bahwa seorang seniman harus dibayar mahal karena biaya make up artis itu mahal. Belum sempat saya mengatakan sesuatu, dia mengusulkan agar suatu saat para panitia memajang kostum-kostum mahal itu di panggung tanpa menghadirkan seniman. “Kita lihat apakah akan ada yang nonton,” katanya entah pada siapa.

Saya ingat betul percakapan seperti ini pernah terjadi ketika kami masih tinggal serumah. Entah angin apa yang membuatnya begitu peduli pada kesenian, tetapi beberapa bagian dari percakapan kami kala itu terasa begitu hebat. Katanya, penghargaan atas sebuah pentas seni hanya atas dasar pertimbangan kostum, kosmetik, dan yang lain adalah sesuatu yang begitu rendah. Saat kau melihat para penari mengenakan pakaian bagus dengan wajah dipupur bedak-bedak mahal, di belakang mereka ada kisah-kisah panjang di ruang-ruang sepi. Kisah penciptaan. Kalimat itulah yang selalu dia sampaikan jika percakapan telah menyentuh wilayah kesenian.

Seperti juga hari ini. Dia mengatakannya sekali lagi, lengkap dengan penjelasan bahwa atas dasar itulah dia memutuskan hanya mau melihat pentas yang melibatkan penari telanjang. Baginya, penari telanjang adalah tuhan, sang pencipta gerakan yang memakai tubuhnya untuk menghibur. Beberapa orang di sekitar kami kulihat berbisik-bisik satu kepada yang lain dengan ekor mata mencur-curi pandang kea rah kami. Ada juga seorang yang meletakkan telunjuknya dengan posisi miring di dahinya.

“Dik, bayaran mahal untuk seniman itu bukan soal kostum atau soal bedak. Yang utama adalah penghargaan atas karya, atas proses penciptaan,” sambungnya. Di hadapannya saya—seperti biasa—berjuang keras untuk mengerti apa hubungan percakapan seperti ini dengan keputusan bodoh yang diambilnya yang membuatnya harus menghabiskan empat tahun ke depan tinggal di penjara.

“Wah, waktu berkunjungmu sudah hampir selesai.”

“Mengapa Kakak membunuh penari telanjang itu?”

“Dia mau menari dengan tetap memakai celana dalam hari itu. Dia mengatakan sesuatu tentang bulan atau bintang sebagai alasannya, saya lupa. Itu membuatku marah.”

 

Di hadapan hakim beberapa waktu yang lalu dia menyampaikan hal yang sama, tentang bagaimana percakapannya dengan penari telanjang itu telah membuatnya sangat tersinggung. Dalam keterangannya dia menjelaskan bahwa penari telanjang yang kemudian dibunuhnya itu terlampau berusaha meyakinkannya bahwa celana dalam yang dia pakai malam itu sungguh mahal dan bahwa dalam bungkusan celana dalam itu tariannya akan lebih menggairahkan.

“Yang mulia, saya hanya memintanya menari telanjang. Telanjang adalah persembahan terbaik seorang seniman. Kehadiran celana dalam hanya akan menjebakku dalam kebingungan; apakah saya membayar mahal untuk celana dalam yang mahal itu atau untuk tariannya? Karena itulah saya membunuhnya. Saya tak ingin kesenian dinodai,” teriaknya setelah hakim mengetuk palu menjatuhkan hukuman empat tahun penjara.

 

Saya pamit di saat yang tepat. Lonceng tanda waktu berkunjung selesai berbunyi.

“Terima kasih sudah berkunjung,” katanya. “Batu akik ini mungkin bukan jelmaan dewi penari, Dik. Tetapi perempuan penari telanjang yang kubunuh itu,” sambungnya lalu beranjak ke selnya. Pagi tadi dia mengirimkan pesan singkat kepadaku tentang mimpinya. “Seorang perempuan menggeliat keluar dari batu akik ini,” demikian bunyi pesan singkatnya.

Dalam perjalanan ke tempat parkir, kuperiksa alat rekam yang kubawa serta dalam kunjungan ini. Percakapan kami terekam dengan baik. Akan kuserahkan kepada seseorang yang akan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan pada sidang bandingnya nanti. Pada suatu masa, dia pernah dipukuli masa yang dengan beringas merusak patung-patung telanjang yang dia pamerkan di sebuah galeri. Sejak itulah dia berhenti berkarya dan menjadi penggemar pertunjukan penari telanjang.

 

 [1] Dipopulerkan lagi oleh Hamdan ATT.

[2] Lagu ini dinyanyikan Ida Laila dan Mus Mulyadi, tahun produksi 1978 di bawah label Golden Hand. Dinyanyikan lagi oleh Ikke Nurjanah.

Related posts

Leave a Comment

15 − 11 =