Agenda 

Setan

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi. Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Timor Express dan Victory News. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi : Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018) dan Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018). Saat ini aktif sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT dan bergiat di Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang.

 

“Pa, minta uang dua ribu dulu,” istri langsung menodong setelah saya memarkirkan sepeda motor di samping gereja. Inilah yang membuat saya malas ke gereja tiap hari Minggu, ada saja kebutuhan yang harus dibeli. Banyak pengeluaran yang tidak terduga gara-gara semua berharap memakai baju baru, sepatu baru, mode rambut terbaru, dan tetek bengek lainnya agar terlihat lebih pantas ke gereja. Saya tidak habis pikir, kami ini datang berdoa untuk memohon pada Tuhan agar diampuni dari segala dosa dan memohon perlindungan serta berkat pada kehidupan selanjutnya, atau berlomba mengeluarkan uang sebanyak mungkin?

“Uang buat apa lagi? Saya sudah bayar parkir.”

“Buat jajannya Jibran.”

Jibran itu anak pertama kami. Usianya baru satu tahun. Anaknya suka makan jajanan ringan.

“Bukannya tadi dia sudah makan?”

“Tapi dia pasti minta jajan kalau lihat anak lain makan.”

“Lho, anak-anak ke gereja untuk makan jajanan?”

“Ah, Bapak ini, uang dua ribu saja diributkan panjang lebar begini.”

“Bukan apa-apa, masa’ rumah Tuhan dijadikan tempat anak-anak makan jajanan?”

“Kamu tidak malu kalau anak kita minta jajan atau merengek gara-gara lihat anak orang lain sedang makan?”

Saya mulai melihat tanda-tanda kesal menghiasi wajah istri, mengalahkan make-up yang dipakainya lama sekali sebelum berangkat. Bila ini dibiarkan lebih lama, amarahnya bisa meledak. Lebih menakutkan lagi bila dia sudah ngambek. Kalau sudah demikian, saya semakin sulit membedakan apa sebaiknya dilakukan. Mau lakukan ini salah, mau melakukan itu salah juga, tidak melakukan apa-apa lebih salah lagi. Saya juga tidak mau pertengkaran kecil kami ini didengar oleh petugas parkir yang sementara sibuk mengatur kendaraan.

Saya terpaksa merogoh semua kocek, tidak berasa apa-apa. Oh, ada yang mengganjal di ujung saku celana. Saya segera cabut. Selembar uang dua ribu rupiah yang sudah kusut. Saya duga uang itu lupa saya ambil saat dicuci minggu lalu. Saya menyerahkan uang itu dengan berat hati kepada istri.

“Uang dua ribu saja pelit,” istri saya menyambar sambil menggulirkan bola mata sinis.

Saya sudah malas berdebat. Ketika istri saya bergegas ke sebuah kios yang tidak jauh dari gereja, saya mengambil dompet dari saku. Saya periksa baik-baik tiap lipatannya. Hanya berisi kartu-kartu. Ada berapa ATM yang sudah lama tidak aktif, KTP, KIS, Kartu mahasiswa yang masih saya simpan, dan STNK sepeda motor. Tidak ada uangnya sama sekali.

Saya ini memang seorang pengajar di salah satu sekolah swasta. Selain gaji saya kecil, pembayarannya sering tersendat. Sejak dua bulan lalu, saya belum terima gaji. Sementara kebutuhan harian tidak pernah berhenti mendesak. Mau berhenti mengajar dan mencari pekerjaan lain, takut dianggap tidak loyal. Lagian, pekerjaan apa yang bisa saya lakukan selain mengajar dan menulis?

***

“Ma, coba kamu cari kerja juga?” saya kembali teringat diskusi bersama istri kira-kira sebulan lalu, saat dia berulang-ulang menanyakan soal gaji yang belum diterima.

“Bukan saya tidak mau kerja, tapi anak kita yang masih kecil ini, siapa yang jaga”

“Kan sekarang banyak tempat penitipan anak.”

“Tidak semua tempat penitipan anak itu aman. Kamu tega bila anak kita mengalami hal yang bukan-bukan?”

“Bagaimana kalau mama buka usaha kecil-kecilan di rumah?”

“Usaha apa?”

“Ya apa saja! Jual gorengan misalnya. Bikin es, pasti laku.”

“Aduh, siapa yang mau beli? Orang sini lebih suka gorengan buatan orang Jawa.”

“Belum dicoba, kok sudah takut duluan.”

“Penjual gorengan di kota Kupang ini didominasi orang Jawa, mana ada yang mau beli gorengan orang Timor seperti kita?.”

“Apa salahnya kita coba dulu, kan belum mencoba? Saya yakin masakanmu enak.”

“Hmm…, gombal.”

Kemudian kami tertawa, hanya gara-gara kata gombal itu. Kami tidak bisa serius lagi membahas rencana berwirusaha itu.

***

“Ayo, kita masuk!” istri mengagetkan saya dari lamunan. Dia menggendong anak kami yang sibuk menggengam jajanan yang baru dibeli. Kami bergegas memasuki pintu gereja. Sebagai mana biasanya, kami memilih tempat duduk dekat pintu samping. Duduk pada tempat ini memudahkan kami untuk keluar-masuk bila Jibran sedang rewel atau membuat keributan dalam gereja. Setelah yakin mendapat tempat yang nyaman, kami pun menyiapkan diri untuk berdoa.

“Mam…mam…mam..,” doa baru saja mulai, anak kami mulai merengek minta jajanannya segera dibuka. Sebelumnya dia memperhatikan anak lain yang kurang lebih sebaya dengannya, duduk di bagian paling kanan dari tempat kami, sedang asyik makan jajanan juga. Kami turuti dari pada rengekannya mengganggu orang yang sedang khusuk berdoa. Saat anak kami menikmati jajanannya, ada seorang anak yang duduk di sebelah kiri, merengek pada ayah-ibunya minta jajan juga. Tidak lama, anak itu pergi bersama ayahnya, keluar lewat pintu samping. Dugaan saya benar, saat mereka kembali, anaknya memegang jajanan yang belum dibuka.

Saya makin gelisah, kenapa gereja dijadikan parade jajanan anak? Saya menoleh sebentar ke belakang, beberapa anak juga sedang asyik makan jajanannya. Kursi deretan depan juga sama pemandangannya. Saya terus bertanya-tanya, apakah hal ini terjadi karena memang anak itu kelaparan, atau sekadar gengsi-gengsian orang tua? Saya paham, anak-anak itu peniru yang baik. Kalau teman sebayanya makan, pasti dia juga ikutan mau makan, meskipun dia barusan selesai makan.

“Minggu depan sebaiknya kita bawa periuk ke gereja?” bisik saya pada istri yang sedang tunduk berdoa.

“Supaya..?” tanyanya dengan nada mengejek.

“Biar anak-anak tidak perlu membeli jajan. Kalau lapar, langsung buka periuk saja!”

“Sssttt.., jangan terlalu berisik di gereja. Bilang saja kamu pelit.”

Kali ini saya malas membalas serangan balik dari istri. Saya coba memejamkan mata dan berusaha mengikuti doa dengan baik. Semakin saya berusaha, pikiran saya malah berkeliaran ke mana-mana. Bayangan hal-hal yang menggelisahkan selalu muncul. Saya kesulitan berkosentrasi dan tidak bisa membedakan, apakah saya sedang berdoa atau melamun?

“Pa, sepatu anak itu bagus sekali,” istri saya mencolek lengan kanan saya.

Saya agak jengkel, tapi tetap berusaha menyenangkan istri dengan melihat apa yang sedang ditunjuknya.

“Sepatu anak yang bisa menyala itu?”

“Ya, minggu lalu saya melihatnya di mall. Tidak terlalu mahal. Kayaknya cocok buat Jibran.”

“Ah, sepatunya masih baik. Tidak perlu beli baru dulu, kecuali yang lama sudah rusak.”

“Tapi sekarang sedang ada diskon besar-besaran, Pa.”

“Ah, tidak ada. Sssttt…., berdoa!”

Sekarang pastor berdiri di mimbar untuk membaca Injil dan dilanjutkan dengan memberi khotbah. Kami sama-sama berusaha konsentrasi pada sesi ini. Saya tidak mau menoleh pada istri, begitupun sebaliknya. Anak kami dibiarkan berlarian di lorong deretan kursi gereja. Dia sedang asyik bersama rekan-rekan sebayanya.

Pastor mengawali khotbahnya dengan mengatakan dengan lantang, “Setan itu ada di mana-mana.”

Saya terperanjat dan langsung menoleh pada istri. Ternyata dia lebih duluan melihat saya. Hampir bersamaan kami berbisik, “Itu kamu!”

“Setan bisa saja ada di depan kita; di belakang kita..,” lanjut Pastor tadi.

“Samping kanan…,” Saya menimpali pelan.

“Samping kiri!” istri saya membalas dengan nada yang lebih keras.

Pastor mungkin tidak menyadari kalau sekali nama Setan disebut, maka akan menjadi viral. Menyebar ke mana-mana. Penjelasan-penjelasan Pastor memang masuk akal, banyaknya setan penggoda dalam hidup manusia, tidak bisa kita mungkiri. Saking banyaknya, manusia begitu mudah mengikuti sifat-sifat setan. Tapi itu tidak berlaku sebaliknya, setan tidak bisa menjadi manusia. Sebab menjadi manusia itu berat. Harus rajin, jujur, tulus, dan bertanggungjawab. Setan tidak akan kuat.

***

Sepulang dari gereja, kami makan, lalu tidur. Saya terbangun kira-kira pukul 15.00, oleh sebuah ketukan panjang di pintu depan. Saya melawan rasa malas dengan pemikiran, ‘setiap tamu harus dilayani dengan baik’.

Pintu terbuka, seorang anak muda betubuh ramping langsung memamerkan barisan giginya yang tidak teratur. Di tangannya mendekap sebuah map berwarna merah muda.

“Silakan masuk..,” saya menyilakan dengan perasaan tidak yakin. Orang ini datang buat apa? Saya sangat yakin belum pernah melihat dia sebelumnya.

Dia masuk sambil cengengesan. Mungkin itu cara dia menunjukkan sikap sopan santun saat bertamu di rumah orang.

“Bagaimana?” saya langsung bertanya keperluannya setelah dia duduk. Saya ingin segera menyelesai urusan dengan tamu asing ini. Entah apa isi map-nya.

“Hmmm.., saya dari pemuda gereja mau antar proposal”

“Proposal apa?”

“Permohonan dana untuk kegiatan kepemudaan,” katanya sambil menyodorkan map.

Saya membuka dan membaca. Ketikan proposal itu sangat amburadul. Tidak menggunakan huruf dan ukuran sesuai standar; tataan kalimatnya tidak rata kiri-kanan; dan pembagian antar paragraf juga tidak jelas. Saya hanya mampu membaca bagian judul yang tercetak agak besar dan tebal.

“Lho, mau buat acara Valentine Day? Sekarang sudah mau bulan Juli, kan?”

Anak muda itu mulai terlihat kelabakan. “Ehh…, kami baru mau rayakan, Pak. Kemarin belum sempat,” nada suaranya kurang meyakinkan.

Saya menutup map proposal itu, kemudian menyerahkan kembali padanya.

“Mohon maaf, istri saya sedang keluar tadi. Dia yang pegang uang. Coba ke rumah yang lain dulu saja,” saya tetap berusaha menjadi tuan rumah yang ramah.

Dia segera pamit. Begitu dia melewati pagar rumah, saya langsung mengunci pintu dari dalam. Saya kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. “Setan betul…,” saya bergumam sendiri.

 

Related posts

Leave a Comment

two × two =