PERISTIWA 

KONFLIK SATUPENA, SUATU KLARIFIKASI

Oleh  Kanti W. Janis, advokat dan Sekjen Satupena 2017-2021

————————————————————————————–

Sebagai salah satu Sekretaris Jenderal Persatuan Penulis Indonesia disingkat SATUPENA bersama Dr. Mikke Susanto periode 2017-2021, saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa tidak pernah ada usaha kudeta atau perebutan kekuasaan atas kepemimpinan Dr. Nasir Tamara.

Sebaliknya, saya justru melihat ada pihak-pihak luar yang berusaha memecah persatuan para penulis di Satupena. Pihak (atau pihak-pihak) ini menggandeng banyak nama besar, lalu mengecilkan keberadaan para pengurus dan anggota yang telah di dalam Satupena sejak kongres Solo 2017. Kemudian pihak ini menyebarkan isu bahwa Mikke Susanto mau kudeta Nasir Tamara.

Fitnah ini ditiupkan ketika para pengurus, termasuk saya, mengingatkan Nasir Tamara sebagai ketua umum agar segera mengadakan kongres, karena kepengurusan sudah berakhir di bulan April 2021. Pembicaraan ini sebenarnya telah saya sampaikan sejak akhir 2020.

 


Foto diambil dari anjangsana.id


 

Saya masuk Satupena ketika organisasi penulis ini sudah terbentuk, dilahirkan melalui sebuah kongres.
Elshinta Marsden adalah orang pertama yang mengajak saya, kemudian mempertemukan kepada Nasir Tamara. Semua serba kebetulan. Saya mau bergabung karena katanya Satupena adalah serikat para penulis, dengan agenda jelas, yaitu memperjuangkan hak-hak penulis. Seperti perlakuan pajak yang adil, perlindungan dari pembajakan, perlindungan kebebasan berekspresi dan sebagainya. Sebagai catatan, sebelum menjadi advokat, saya sudah lebih dulu menjadi novelis. Novel pertama saya terbit saat masih kuliah SH pada tahun 2006.

Namun, semakin mendalami dunia kepenulisan, saya melihat banyak lubang dalam ekosistem kepenulisan yang berdampak pada rendahnya kesejahteraan penulis.
Karena itu saya bertekad untuk memperbaiki dulu ekosistem kepenulisan, baru kembali tenang berkarya. Jika tidak begitu apresiasi terhadap penulis akan terus rendah. Tentu ajakan berserikat dengan para penulis lain bagaikan gayung bersambut. Di dalam kenaifan saya, inilah saatnya membela nasib penulis bersama-sama.

Kemudian atas permintaan Mikke Susanto disetujui Nasir Tamara, saya diminta membantu menjadi salah satu sekretaris karena Mikke berdomisili di Yogyakarta, saya di Jakarta, dan saat itu ia sedang menyelesaikan program doktoralnya di Institut Seni Indonesia. Pada hari itu di tengah perhelatan Indonesia International Book Fair 2017, saya beserta pengurus lain, diantaranya Kristin Samah, Mikke Susanto, Candra Darusman dilantik oleh Kepala Bekraf Triawan Munaf. Semua proses begitu cepat. Sehingga tanpa pernah melihat dokumen hukum seperti Berita Acara kongres maupun Anggaran Dasar Satupena, yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum saya menjadi Sekjen.Tidak ada SK pengangkatan, baik untuk saya maupun pengurus lain, sampai hari ini. Daftar pengurus itu begitu panjang, bertamburan nama terkenal, mesti praktiknya hanya 3-4 nama yang aktif.

Nama-nama para pengurus dan jabatannya hanya disirkulasi melalui grup WhatsApp oleh Nasir Tamara dan belakangan di website satupena.id. Pada sirkulasi itu jelas disebut tahun kepengurusan adalah 2017-2021.

Berikutnya, secara lisan Nasir Tamara menyampaikan bahwa kepengurusan ini adalah 4 tahun, sejak April 2017-April 2021, ini pun tidak pernah disanggah anggota maupun pengurus lain. Sehingga telah menjadi pemahaman kolektif di antara kami.

Logika ini terbangun karena kongres Satupena Solo diadakan pada tanggal 26-28 April 2017. Jika kepengurusan dinyatakan untuk 4 tahun, silakan berhitung sendiri kapan seharusnya pergantian kepengurusan dilakukan?

Sehingga tuduhan mau mengkudeta, merebut kekuasaan sangat berlebihan. Saya tekankan, periode kepengurusan ini sudah jatuh tempo. Apalagi setelah mempelajari Berita Acara dan Anggaran Dasar semakin jelas, bahwa perkumpulan memiliki kewajiban mengadakan rapat anggota setiap tahun paling lambat pada bulan Maret.

Jika membedah AD versi notaris lebih dalam, akan terlihat banyak bolong, sangat problematik dan berbeda jauh dengan hasil kongres Solo 2017.

Terlepas dari perbedaan AD Solo dengan AD notaris, jelas bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Anggota, bukan pada ketua umum. Serta jelas selama ini pengurus telah mengabaikan kewajiban mengadakan Rapat Anggota tahunan, selama 4 tahun tidak pernah diadakan Rapat Anggota.
Apalagi memenuhi kewajiban yang lain, yaitu membuat Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan dan Keuangan.

Baik pengurus maupun anggota tidak ada yang kritis mengenai ini. Jangankan rapat anggota, rapat pengurus atau komunikasi antar pengurus saja jarang dilakukan.

Sebagai informasi, memperoleh AD notaris yang lengkap bukan hal mudah, bahkan Imelda Akmal salah satu pendiri dan juga pihak yang ikut menandatangani pendirian akta kesulitan memperoleh salinan.

Beberapa kali ia meminta kepada saya, dan saya tidak memegang dokumen itu. Saya hanya bisa menyarankan agar ia meminta langsung kepada ketua. Bahkan hingga detik ini saya belum pernah melihat SK pengesahan yang utuh.

Permulaan, rapat pengurus masih dilakukan, tapi hasil-hasil rapat tidak dieksekusi, atau bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendak ketua. Saya sebagai Sekjen sudah tidak bisa mengikuti lagi apa saja kegiatan dan pengeluaran yang dilakukan ketua atas nama organisasi.
Termasuk mekanisme rekrutmen anggota yang sebenarnya sudah ada aturan dan sistem baku, namun akhirnya hanya atas preferensi ketua. Nama kontroversial seperti Denny JA, yang telah membuat gaduh dunia sastra pada 2014 tiba-tiba dimasukkan.

Soal keputusan strategis tidak pernah dibicarakan. Nyaris saja organisasi mengadakan sertifikasi untuk penulis ala BNSP. Rencana yang saya tolak keras, karena prematur, belum dibahas tuntas. Akibat penolakan ini saya dinonaktifkan sebagai admin WhatsApp Satupena baik di grup komunitas maupun pengurus. Dua pengurus lain malah dikeluarkan dari grup.

Praktiknya kegiatan yang ada jauh dari serikat, 80% kegiatan adalah audiensi ke pejabat dan acara bincang-bincang.

Lalu soal keuangan, mengapa penting untuk dilaporkan. Satupena adalah perkumpulan yang memungut iuran anggota tahunan, juga menerima donasi anggota. Satupena juga beberapa kali menerima dana dari Bekraf. Sehingga sudah menjadi kewajiban untuk memberikan laporan keuangan yang akuntabel. Kewajiban ini yang ingin saya dan teman-teman tuntaskan di akhir masa kepengurusan. Bukan soal besar atau kecil jumlahnya, uang Satupena adalah amanah anggota. Kita tidak pantas protes kelakuan korup para pejabat sementara kita sendiri masih sembarangan mengelola uang organisasi.

Lalu demi menuju pergantian kepengurusan yang mulus dan gembira, diadakanlah rapat Badan Pengurus untuk membentuk panitia Kongres II Satupena.

Seyogyanya Kongres akan diadakan pada tanggal 15-17 Agustus 2021. Tetapi, ada pihak yang berteriak-teriak kongres tidak sah, ia berargumen di AD notaris tidak ada istilah kongres. Pihak ini juga teriak-teriak bahwa Satupena adalah paguyuban, tidak perlu ada pergantian kepengurusan apalagi LPJ. Ia mengarahkan agar organisasi jadi tempat kumpul informal. Tentu saja ini sudah jauh dari serikat. Dan jika itu tujuan awalnya untuk apa membuat Perkumpulan Berbadan Hukum? Untuk apa kongres? Untuk apa bicara tentang kebijakan? Buat saja grup arisan penulis antar RT.

Lalu panitia akhirnya menyepakati kata kongres ini hanya masalah istilah, sebenarnya memiliki fungsi sama dengan Rapat Umum Anggota. Namun, tiba-tiba panitia yang sudah dibentuk SC dan OC, nama-namanya diubah oleh Nasir Tamara, tentu tanpa rapat Badan Pengurus atau pemberitahuan.
SC versi Nasir mengeluarkan rekomendasi bahwa kongres ditunda menjadi 2022. Ini sangat mengejutkan.

Nasir Tamara juga menolak mengeluarkan dana untuk kongres dari kas organisasi. Permintaan kecil untuk berlangganan aplikasi rapat virtual organisasi saja ditolak. Padahal sebelumnya ia telah mengedarkan permintaan patungan dana untuk organisasi yang antara lain untuk biayai kongres.

Nama-nama besar terus diseret dalam pusaran ini. Mereka hanya tahu 1/4 cerita. Sebut saja nama Jaya Suprana, Chappy Hakim, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Ilham Bintang, dll. Seolah keberadaan para nama super itu menjadi legitimasi bagi mantan ketua umum Satupena melakukan apa saja, karena orang super sudah pasti super benar. Saya sendiri cukup kecewa ketika beberapa sosok super itu tidak berusaha mencari kebenaran dari dua sisi. Bukankah di dalam setiap konflik selalu ada dua cerita? Padahal saya berharap banyak bahwa mereka bisa berlaku bijaksana. Setidaknya tidak ikut gelanggang, toh, mereka juga baru masuk grup WhatsApp Satupena belakangan.

Saya perlu tambahkan juga, kami para anggota badan pengurus sudah berusaha mengadakan rapat internal terkait penyusunan laporan keuangan. Tapi secara mendadak, Nasir Tamara malah menghadirkan nama-nama super. Sekali lagi Azyumardi Azra, Chappy Hakim, Komarudin Hidayat, Ilham Bintang, Wina Armada diboyong. Format acara nyaris diubah menjadi FGD, Lukas Luwarso yang awalnya dihadirkan sebagai mediator seketika itu dinyatakan sebagai narasumber oleh Nasir Tamara. Ia malah dipaksa bercerita tentang konflik AJI, sebagai mantan ketua. Heran kami dibuatnya. Akhirnya rapat itu tidak berjalan mulus, hingga hari ini tidak jelas soal pemasukan dan pengeluaran organisasi. Malah pada rapat itu Mikke Susanto kembali dituduh mau mengkudeta.

Mikke yang selama ini bersabar tidak pernah bicara ke publik pada hari itu, 16 Juni 2021, buka suara dan menjelaskan semuanya. Tapi ia malah dipecat secara sepihak oleh Nasir Tamara. Padahal mekanisme pemecatan juga belum pernah diatur.

Akhirnya karena niat dan usaha melaksanakan penyegaran organisasi secara mulus terus menerus dijegal, para anggota Satupena mengirim permintaan Rapat Luar Biasa Anggota (RLBA).

Permintaan dikirimkan sesuai kuota minimal yang diatur dalam AD. Rapat Luar Biasa Anggota ini diminta dan dihadiri para penulis ternama seperti Dewi Dee Lestari, Trinity, A. Fuadi, Alberthiene Endah, Bambang Harymurti, Dhia Prekasa Yoeda, Farid Gaban, Sekar Ayu Asmara, Sihar Ramses Simatupang, Benny Arnas, Debra Yatim, Prof Djoko Saryono, Ayu Utami, Candra Malik, Djoko Lelono, Feby Indirani, FX Mudji Sutrisno, Kurnia Effendi, Maman Suherman, Okki Madasari, Pinto Anugrah, Muhidin M. Dahlan dan ratusan lain.

Tapi permintaan ini ditolak oleh Nasir Tamara. Menanggapi penolakan permintaan Rapat Luar Biasa Anggota, maka masih sesuai AD, para pemohon dapat menyelenggarakan rapat sendiri.

Rapat itu pun diadakan pada tanggal 1 dan 8 Agustus 2021. Dan terbentuklah Presidium Satupena 2021-2026 dengan para ketuanya yaitu, S. Margana, Mardiyah Chamim, Imelda Akmal, Geger Riyanto, dan Putu Fajar Arcana.

Penyelenggaraan rapat luar biasa bukan tanpa gangguan. Nasir Tamara mensomasi para penyelenggara rapat dengan menunjuk sebuah kantor pengacara. Tapi somasi tersebut dilayangkan kepada para penyelenggara bukan atas nama pribadi, melainkan atas nama Satupena. Bagaimana mungkin mengatasnamakan Satupena tanpa ada satu pun pengurus yang diajak rapat, atau memberi kuasa kepadanya?

Selain itu bermunculan di media online judul-judul berita berbunyi Rapat Luar Biasa Anggota Ilegal, Usaha Mengkudeta Nasir Tamara, dan penggiringan opini lain seolah kami ini yang meminta RLBA, yang meminta LPJ, meminta kepastian organisasi adalah anggota anonim haus kekuasaan.
Lebih mengenaskan sederet nama besar seperti gubernur Lemhanas Agus Widjojo, Asvi Warman Adam, Gemala Hatta, Fachry Ali, Komarudin Hidayat, dll, namanya disertakan di dalam rilis-rilis itu sebagai pendukung Nasir Tamara. Ketika saya mintakan klarifikasi mereka menyatakan tidak tahu menahu serta tidak mau terlibat.

Sungguh mengejutkan mereka yang selama ini tidak pernah aktif di organisasi, tiba-tiba muncul berteriak-teriak seolah paling berjasa, paling sibuk, paling tahu.

Maaf ya, selama empat tahun ini kalian ke mana saja? Selama menyiapkan berbagai acara saya tidak pernah melihat peran kalian. Saya yang rapat di hadapan Parekraf dan Badan Pusat Statistik Indonesia meminta agar KBLI penulis dibuat sendiri, terpisah dari penerbit. Saya yang menulis deskripsi untuk KBLI 90024. Mungkin kalian juga tidak tahu fungsi KBLI dan implementasinya. Tidak usah diaku-aku itu kerja kalian. Seolah berkat jerih payah kalian sekarang profesi penulis diakui secara independen.

Sekali lagi tuduhan kudeta dan perebutan kekuasaan di Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) oleh Mikke Susanto dkk, adalah lelucon paling konyol tahun ini. Jika setiap aspirasi anggota meminta Rapat Anggota dituduh sebagai kudeta hilang sudah demokrasi di tiap organisasi masyarakat.

Klaim-klaim pembenaran atas tuduhan ada usaha perebutan kekuasaan dari Nasir Tamara dibesar-besarkan melalui media. Di era digital ini kita sama-sama bisa mengukur akurasi isi sebuah berita dan etika para pembuatnya. Berita dibuat berdasarkan klaim, bukan berdasarkan objektivitas.

Ingat, judul berita bukan fakta, opini bukan fakta. Tidak bisa dijadikan pembenaran. Hentikan pembodohan publik, hentikan memecah-belah dunia kepenulisan yang masih terpuruk ini.

17 Agustus 2021

Related posts

Leave a Comment

19 + nine =