ARTIKEL 

Selebrasi, Eksistensi, dan Dedikasi untuk Kehidupan

Sepekan terakhir ini banyak event sastra digelar. Di Jogjakarta, Serang, dan yang paling akbar adalah hajatan Asean Literary Festival (ALF) yang dilaksanakan di TIM Jakarta dari tanggal 5-8 Mei. ALF menawarkan banyak agenda dan panggung seni dan sastra untuk khalayak ramai, tak hanya bagi mereka yang memiliki predikat seniman, sastrawan ataupun budayawan. ALF tetap berlangsung dengan meriah meski diwarnai banyak isu dan peristiwa pemboikotan oleh sekelompok orang tertentu.

Event-event sastra baik yang berskala lokal, nasional atau bahkan internasional memang mulai banyak digelar di negri kita. Hampir setiap hari, minggu, atau bulan kita bisa menyaksikan panggung seni, budaya, dan sastra baik yang rutin atau yang sporadis dan spontan untuk menyikapi suatu peristiwa tertentu.

Hajatan seni, budaya dan sastra tersebut bisa jadi dilakukan suatu komunitas atau pelbagai komunitas yang bersinergi satu sama lain. Tentu ini preseden baik yang membawa angin segar bagi kita semua, meski harus diakui bahwa acara-acara tersebut mungkin masih bersifat internal, artinya hanya anggota-anggota komunitas yang bersangkutan saja yang terlibat aktif di event tersebut.

Apapun bentuknya, para pelaku seni memang membutuhkan ruang untuk bisa berkspresi secara aktif dan langsung di suatu event. Ketika suatu komunitas mengadakan acara, di situlah seorang seniman seolah memiliki panggung bebas dan menampilkan pertunjukannya secara total. Seniman seolah bisa melepaskan segala hal yang mengendap di tubuhnya lewat tubuh dan kata-kata.

Acara seni dan sastra seolah menjadi suatu selebrasi bagi seniman. Sepertinya tak lengkap jika seorang seniman dan sastrawan jika hanya menulis berlembar-lembar karya yang kemudian menjadi buku puisi, cerpen atau novel tetapi mereka belum pernah menghadiri pagelaran seni dan sastra. Terlebih jika mereka belum pernah tampil di atas panggung untuk melakukan suatu selebrasi.

Tampil di panggung atau pentas adalah suatu selebrasi. Kita bisa melihat dan merasakan ekspresi dan aura seniman dengan segala totalitas yang dimiliki dan dikuasainya. Barangkali itu seperti selebrasi seorang pemain bola yang baru mencetak gol dalam suatu pertandingan. Kita bisa bayangkan bagaimana selebrasi seorang pemain bola saat mencetak gol di suatu kompetisi yang akbar seperti Liga Champion, Piala Eropa, atau Piala Dunia. Semakin besar skala panggungnya, semakin bergairahlah sang seniman.

Event dan pagelaran tersebut bisa juga sebagai parameter eksistensi seorang seniman. Seniman dengan jam terbang yang tinggi tentu lebih memiliki kesempatan untuk tampil di acara seni yang akbar. Parameter sesungguhnya untuk mengukur eksistensi seniman adalah kiprah dan karya-karyanya. Seorang seniman dengan kiprah dan karya yang luar biasa tentu bisa membuat suatu event lebih ramai. Nama besar seniman bisa menjadi daya tarik bagi orang banyak untuk hadir pada suatu acara.

Hal semacam itu bisa kita rasakan sendiri. Jika suatu komunitas dengan lingkup kecil mengadakan acara, tentu audiens yang hadir pun tidak terlalu banyak, mungkin bisa dihitung dengan jari tangan kita sendiri. Tetapi percayalah bahwa mereka para seniman besar pun berawal dari suatu komunitas, sanggar, atau kelompok-kelompok kecil. Sekecil apapun suatu komunitas mengadakan acara, itu juga tak mempengaruhi selebrasi sang seniman.

Satu pertanyaan yang menggelitik di benak sebagian orang adalah tentang sejauh mana peran panggung seni memberi nilai edukasi bagi orang banyak. Adakah panggung dan pentas tersebut hanya suatu ajang selebrasi dan kemudian mengukuhkan eksistensi sang seniman semata. Pertanyaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa panggung seni yang disajikan kebanyakan hanya berupa pertunjukan selebrasi semata semacam baca puisi, menyanyi, menari, teatrikal, dan sekadar musikalisasi puisi. Jarang sekali di acara komunitas ada ruang diskusi yang memberikan nilai edukasi dan penguatan wacana akan gagasan, konsep dan ruh sastra yang sesungguhnya memiliki peran untuk perubahan pada keadaan sosial dan masyarakat.

Pertanyaan tersebut mungkin naif dan bisa diabaikan karena selebrasi seniman itu sendiri adalah suatu penyampaian pesan dan pembelajaran. Tapi tak ada salahnya jika kita renungkan. Saat hadir pada suatu acara atau perhelatan suatu komunitas tentu kita ingin mendapat suatu nilai tambah dalam hal ini pembelajaran nalar dan intelektual selain juga ingin mengadakan selebrasi. Penguatan wacana dan eksistensi justru bisa dimulai dari ruang lingkup kecil. Ini juga bisa memberi nilai tambah bagi seniman dan komunitas itu sendiri untuk bisa menawarkan dan memberi banyak hal bagi orang banyak. Jika komunitas mampu memberi tidak hanya ruang ekspresi dan selebrasi tetapi juga pembelajaran pada anggota, simpatisan dan audiens maka kesadaran kolektif bisa terbangun. Mungkin ini bukan suatu hal yang sulit karena pada dasarnya setiap komunitas memiliki konsep, misi dan visi.

Seni dan sastra pada dasarnya adalah suatu instrumen bagi kita untuk bisa melakukan suatu hal yang bisa membangkitkan semangat-dan mungkin terkesan heroik-adalah untuk mengubah suatu keadaan. Lewat instrumen inilah kita ingin memberi dedikasi untuk kehidupan. Dari sinilah kita bergerak dan memulainya, bottom-up-atau istilah revolusionernya adalah kesadaran dari akar rumput.

 

Orang-orang harus dibangunkan

Kesaksian harus diberikan

Agar kehidupan bisa terjaga

 

(Aku mendengar suara, W.S. Rendra)

 

Mahrus Prihany

 

Related posts

Leave a Comment

2 × two =