ESAI 

Aruh Karya Sastra bagi Masyarakat

Humam S Chudori, lahir di Pekalongan pada 12 Desember 1958. Menulis puisi, cerpen, novel, dan karya non fiksi. Baru berani mengirim karya ke media cetak pada 1982. Mulai tahun 2000 lebih fokus menulis fiksi. Nama Humam tercantum dalam Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan 1990) oleh Pamusuk Eneste, dan masih beberapa lagi. Tinggal dan berkarya di Tangerang Selatan dan masih sangat giat menulis.

 

JIKA ada anak perawan yang hendak dijodohkan orangtuanya – dan yang bersangkutan tidak mau dengan penjodohan seperti ini – hampir dapat dipastikan akan mengatakan bahwa sekarang ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Istilah zaman Siti Nurbaya, tentu saja, bukan karena pernah ada masa yang bernama zaman Siti Nurbaya. Istilah ini muncul setelah terbitnya sebuah karya sastra (roman) yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih tak Sampai), yang ditulis oleh Marah Roesli.

Munculnya istilah ini, diakui atau tidak, karena cerita roman yang ditulis sastrawan angkatan pujangga baru tersebut mengisahkan tentang perjodohan seorang anak perempuan (Siti Nurbaya) dengan Datuk Maringgih. Padahal Siti Nurbaya saat itu sudah punya kekasih yang bernama Samsul Bahri. Namun, Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh sang ayah (baginda Sulaiman) dengan lelaki tua yang bukan pilihannya.

Karya sastra monumental ini akhirnya telah melahirkan “zaman” sendiri. Yaitu, zaman Siti Nurbaya, di luar zaman-zaman lain (zaman purba, zaman batu, zaman penjajahan, dan sebagainya). Dengan kata lain, tak dapat dipungkiri ternyata sebuah karya sastra punya pengaruh terhadap masyarakat. Dan, pengaruh ini berlangsung hingga kini.

***

Karena itu, tidak berlebihan kiranya, jika saya katakan buku sastra sesungguhnya mampu memberi pengaruh kepada masyarakat. Sebuah buku sastra (entah novel, kumpulan cerpen, dan puisi) dapat dibaca oleh siapa pun dan dapat memberikan pengaruh bagi pembacanya.

Memang. Buku lain (baca: buku di luar karya sastra) bisa dibaca oleh siapa saja. Namun, buku di luar karya sastra belum tentu memberi manfaat yang sifatnya lebih universal. Sebutlah buku tentang kedokteran, tentu saja, hanya kalangan medis yang lebih memperoleh manfaat. Buku tentang psikologi, hukum, agama, teknik, politik, ekonomi, dan lainnya juga sama. Hanya memberikan manfaat kepada (pembaca) yang menekuni bidang tersebut.

Sementara itu, buku karya sastra tidak hanya (pembaca) kalangan sastrawan yang akan memperoleh manfaatnya. Meskipun, tentu saja, tidak semua karya sastra akan demikian. Artinya, karya sastra yang bukan sekedar menyuguhkan cerita atau menyajikan keindahan kalimat dan menyodorkan diksi serta metafora-metafora baru. Dengan kata lain, karya sastra tersebut tak hanya menawarkan estetika kesenian dalam ujud lambang-lambang bunyi huruf. Tidak hanya bergenit-genit dalam kata. Tidak sekedar menyajikan akrobat kalimat. Melainkan ada moral message yang tersirat dalam karya sastra tersebut.

Moral message yang tersirat dalam karya sastra dapat berupa penyemangat, motivator, nasehat-nasehat kebaikan (dan tanpa menggurui sebab ditulis dalam bentuk cerita, misalnya), renungan-renungan tentang kehidupan, nilai-nilai luhur, hingga penyadaran tentang keberadaan Tuhan. Karena buku sastra merupakan karya seni, maka isi dan pesan akan enak dibaca lantaran tidak bersifat verbal seperti halnya dalam buku agama atau dalam buku psikologi, umpamanya.

Dan, Moral message seperti ini tak hanya ada dalam karya yang berbentuk prosa. Tetapi, juga dalam bentuk karya puisi. Sebutlah puisi-puisi karya Chairil Anwar, Amir Hamzah, Ahmadun Yosi Herfanda, Mustofa Bisri, Taufik Ismail – sekadar menyebut beberapa nama.

Menurut penyair ‘Sembahyang Rumputan’ – Ahmadun Yosi Herfanda, bahwa dalam sebuah karya sastra harus ada keseimbangan antara keindahan dan pesan. Jika karya sastra hanya mementingkan pesan, tanpa peduli estetika, maka akan tidak ada bedanya dengan teks khutbah di masjid atau orasi pengunjuk rasa di jalan. Sebaliknya, kalau karya sastra hanya mementingkan estetika, tanpa peduli apa isinya, hanya akan menjadi “hiasan budaya”.

Memang. penafsiran moral message yang tersirat dalam sebuah karya sastra sangat dipengaruhi oleh latar belakang pembaca. Kendati bisa saja ada kesamaan penafsiran isi pesan yang sifatnya universal. Dalam roman “Siti Nurbaya” misalnya. Penafsiran universal yang dipahami masyarakat adalah adanya “kawin paksa” oleh orangtua kepada sang anak. Sehingga jika anak perawan (sekarang) hendak dikawinkan orangtuanya akan bilang sudah bukan “zaman Siti Nurbaya”. Padahal, menurut saya, karya sastra ini juga menyodorkan moral message yang sangat patut direnungkan. Sebab bukan tidak ada alasan Baginda Sulaiman terpaksa menikahkan Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih. Melainkan karena Baginda Sulaiman terjerat utang dengan si lintah darat itu.

Pada karya sastra Marah Roesli ini saya mendapatkan nasehat penting. Pertama, jangan sampai dalam hidup ini kita berurusan dengan lintah darah. Kedua, bahwa dalam pergaulan hidup tak jarang ada yang berusaha menculasi kita tanpa pernah kita sadari.

Dengan kata lain, saya tak sekedar mendapat cerita tentang “kasih tak sampai” antara dua insan dalam roman Marah Roesli. Mungkin pula ada pembaca lain yang mampu ‘menemukan’ moral message (yang tersirat) lebih banyak daripada saya setelah menyelesaikan bacaan karya sastra angkatan pujangga baru ini.

***

Karya sastra yang menyandingkan keseimbangan antara moral message dan estetika, jika diapresiasi oleh masyarakat, hampir dapat dipastikan, akan memberikan dampak positif bagi bangsa. Membuat anggota masyarakat lebih berbudaya. Seorang politikus, tentu saja, tak akan pernah menjadi politikus busuk. Seorang praktisi hukum akan lebih bisa menghayati nilai-nilai kemanusiaan, hingga ketika memvonis seseorang tidak kaku – hanya mengacu pada pasal-pasal tuntutan. Pengusaha tidak akan terlalu rakus dalam mencari keuntungan. Pun pejabat jauh dari kemungkinan melakukan korupsi. Pemimpin juga tak akan bersikap arogan dan mementingkan egonya sendiri. Demikian seterusnya. Hal ini akan terjadi, tentu saja, jika mereka membaca dan mengapresiasi karya sastra.

Sayangnya, hingga saat ini masih ada yang menganggap membaca karya sastra adalah hal yang tak berguna. Atau barangkali karena belakangan ini karya sastra yang diterbitkan lebih banyak yang menjadi “hiasan budaya” (meminjam istilah Ahmadun Yosi Herfanda), hingga karya sastra menjadi tidak menarik. Lalu bagaimana mungkin masyarakat akan lebih berbudaya jika tak pernah melahap karya sastra? Namun, di sisi lain kalangan sastrawan sendiri justru bersibuk diri dengan estetika dalam kata-kata yang mungkin justru membingungkan masyarakat di luar sastra. Apalagi pernah seorang cerpenis (Danarto) mengatakan “Menulis cerita pendek bagi saya cukup membahagiakan. Meski, misalnya, cerpen itu tidak dibaca orang. Soalnya menulis cerpen bagi saya sudah merupakan kebutuhan” dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul Adam Ma’rifat. Nah, kalau demikian sama artinya karya sastranya itu memang tak perlu dibaca dong! Karena itu, tidak mengherankan jika ada yang menganggap membaca karya sastra hanyalah pekerjaan sia-sia. Perbuatan yang tak berguna.

Tragisnya lagi, masih ada sastrawan yang punya prinsip seni untuk seni. Sehingga yang bersangkutan lebih sibuk mencari inovasi dalam keindahan kreatif daripada menyelipkan moral message. Inovasi kreatif yang justru membuat pembaca enggan membaca bahkan sekedar melirik pun menjadi enggan. Karena dianggap terlalu ruwet untuk memahami sebuah karya sastra. Dan, membaca karya sastra dianggap hanya pekerjaan sia-sia.

Padahal, disadari atau tidak, energi sebuah karya sastra (yang tidak sekedar bergenit-genit dengan kata atau berakrobat kalimat) sangat dahsyat dalam memberi pengaruh kepada masyarakat luas. Sebutlah “sajak” soempah pemoeda, misalnya. Ia bukan saja mampu membangkitkan semangat perjuangan para pemuda kita. Melainkan pula berhasil menyadarkan tentang hakekat perjuangan melawan penjajah. Betapa tidak, sebelum dicetuskannya “soempah pemoeda” perjuangan melawan penjajah lebih bersifat kedaerahan. Tidak menyeluruh. Tetapi, setelah adanya “karya sastra” tersebut. Tak ada lagi perjuangan yang bersifat kedaerahan. Dan beberapa tahun kemudian ‘energi’ sajak itu berhasil memerdekan negeri ini secara total. Tidak bersifat lokal. Itu saja!***

Related posts

Leave a Comment

20 − twelve =