Agenda 

Rahasia yang Tersimpan dalam Benda-Benda, Dibawa oleh Angin

Lamia Putri Damayanti. Lahir pada 06 Oktober 1994 di Magelang dan berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta. Sejak SD memang telah senang menulis. Beberapa karyanya disiarkan sejumlah media. Penerima Anugrah Sastra A.A Navis 2016 dengan cerpennya yang berjudul Hunian Ternyaman. Menerbitkan novel berjudul Dering Kematian.

 

“Apa asyiknya berbicara pada tiang listrik?” orang-orang pasti mengira aku gila. “Apa asyiknya berkeluh-kesah pada pohon?” beberapa perempuan yang awalnya berdiri tak jauh dariku kemudian mencipta jarak, kira-kira ada lima hasta tangan orang dewasa. “Aku tadi mendengar kau bercerita soal anak-anakmu pada tiang listrik dan perempuan pecandu narkoba pada pohon-pohon yang tumbuh di tengah trotoar,”

“Apa yang membuatmu larut bersama mereka? Padahal…” aku menunjukki setiap orang yang sekadar numpang lewat di hadapanku. “…ada banyak orang di sekitar kita. Kau bisa pilih salah satu. Comot saja secara asal. Dan bicaralah pada mereka tentang anak-anakmu itu dan perempuan pecandu narkoba,”

Orang-orang pasti mengira aku gila – karena mengajak orang gila berbicara. Usia orang gila itu mungkin pertengahan antara empatpuluh atau limapuluh tahun. Sulit sekali ditebak. Sebab, wajahnya tidak bisa mewakili usia yang sesungguhnya. Rambutnya gondrong dan gimbal serta sudah banyak yang beruban.

Penampilannya benar-benar mengenaskan. Banyak sekali sobekan di bajunya. Bahkan celananya hanya mampu menutupi setengah pahanya. Kaosnya yang mirip warna air comberan di selokan itu memiliki robekan besar di bagian bahu sampai perut. Seolah-olah seekor harimau besar baru saja mencakar tubuhnya. Harimau di tengah-tengah kota yang mungkin berwujud seperti manusia atau hal lainnya.

Dan di tengah ingar-bingar manusia yang sibuk berlalu-lalang di perkotaan, orang-orang gila macam pria ini berkeliaran. Mereka hidup dan tinggal di tempat-tempat tertentu secara nomadik, impromptu, dan tidak diinginkan. Orang-orang gila selalu hidup di tengah-tengah kekacauan. Ada yang bilang mereka sebetulnya tidak gila, hanya antitesis dari “kewarasan modern”.

Mereka bertebaran di sudut-sudut kota sembari menyelami kebisingan dalam kesunyian yang banal. Mungkin mereka mencinta bunyi hiruk-pikuk yang bergesekan di udara. Menangkap keramaian yang paling mereka sukai. Menepi dan menyepi di ruang gema mereka yang tiap hari berkelontang.

Orang-orang gila ini bisa hinggap di mana saja. Mereka muncul dengan tiba-tiba. Kadang-kadang menyerupai pohon-pohon, binatang kesayanganmu, anak-anakmu, atau bahkan dirimu sendiri. Yang jelas, keberadaan mereka lebih banyak tak diketahui oleh petugas rumah sakit jiwa atau dinas sosial. Mereka bersembunyi di balik kewarasan. Mereka merupa dalam beragam wujud. Kadang-kadang terselebung. Meski ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya gila. Seperti ketika orang gila itu muncul dari balik kerumunan warung-warung dan memilih duduk di kursi kosong yang tersisa di halte bus.

Kehadiran orang gila itu melenyapkan orang-orang yang tadinya memenuhi halte. Mereka yang awalnya berjejalan dan berdesak-desakan langsung berhamburan. Beberapa orang menjerit ketakutan tatkala melihat orang gila. Seperti gula yang tadinya dikerubungi oleh semut lantas disentil jari manusia, semut-semut itu kemudian berhamburan, menjauhi apa yang mereka suka karena terpaksa. Hanya aku satu-satunya yang tersisa di sana. Bersebelahan tepat dengan orang gila ini – yang kemudian ia berbicara pada tiang listrik yang jaraknya hanya beberapa tangan. Setelahnya lelah berbicara, lelaki gila itu kemudian terdiam lama. Ia diam menyimak. Entah menyimak kepada apa.

Sampai kemudian ia tertawa dengan keras.

Dua perempuan yang tadi masih berdiri di dalam halte kemudian lari terbirit-birit, meninggalkan seonggok ketakutan mereka di trotoar begitu saja. Memangnya, apa yang harus ditakuti dari orang gila ini? Mereka hanya kotor. Kalau pun berpenyakit, kecil sekali kemungkinan tertular hanya melalui udara. Udara kosong yang baunya makin hari makin tidak enak ini. Udara yang penuh bising dengan pikiran-pikiran orang. Udara yang pengap oleh umpatan-umpatan. Dan… udara-udara yang membawa rahasia-rahasia dari pohon-pohon, tiang listrik, genteng rumah, daun-daun kering, sampah-sampah plastik, dan apa saja.

“Kau ingin tahu kenapa aku berbicara pada pohon dan tiang listrik? Karena orang berlari ketika aku mendekati mereka. Bahkan mereka langsung berlari, ketika seujung rambutku baru muncul dari pojok gang,” lelaki itu tertawa lagi. Jauh lebih keras.

“Sebab aku gila, orang-orang yang merasa dirinya masih waras, tidak mau berbicara denganku. Mungkin, pikirnya, kita ini nggak akan nyambung!” pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya seperti orang yang terheran-heran melihat babi hutan menikahi tikus got di pipa-pipa penuh limbah.

“Lalu kenapa kau pilih tiang listrik dan pohon-pohon?”

“Tidak selalu mereka,” lelaki ini berdeham. “Kadang-kadang angin, batu, botol plastik, kaleng bekas, atau tas plastik. Pokoknya semua benda mati yang tidak akan membantah ucapanku hanya untuk menyenangkan ego mereka sendiri. Tapi kau tahu? Mereka mendengarkan. Mereka mendengarkannya dengan saksama dan menyimpannya. Kemudian angin akan datang, mengantarkan satu rahasia ke rahasia lain,” kali ini ia terkekeh.

“Padahal, kalau mereka mau, aku juga akan nyambung-nyambung saja. Mau bicara soal apa? Politik, ekonomi, atau cuman lelaki cebol yang pingin mengawini janda tinggi semampai yang jualan mendoan di perempatan sana? Aku bisa kasih humor yang memang lucu. Tapi juga bisa kasih humor jorok. Ayo, bilang saja. Aku sudah banyak ngobrol dengan tiang listrik, trotoar, bahkan tegel jalan. Mereka semua menyimpan rahasia-rahasia. Rahasia-rahasia semua orang. Dan juga rahasia-rahasiaku!” lelaki itu terbahak-bahak. Suaranya menggema.

“Nah, laki-laki yang di sana. Yang pakai jas hitam. Kau tahu, dia punya simpanan banyak sekali. Istrinya tahu soal itu. Dia saja yang tidak tahu. Gara-gara punya banyak simpanan yang matre, laki-laki itu suka menggelapkan uang kantor. Habislah riwayatnya kalau orang-orang di kantornya tahu,” lelaki itu membentuk gestur seperti menggorok lehernya sendiri. “Bakal langsung mati sebelum jadi gila! Sayang sekali, harusnya dia jadi gila. Merasakan nikmatnya jadi gila. Baru kemudian mati. Oh tidak… tidak… tidak! Dia sebetulnya sudah gila menduluiku. Gila perempuan. Gila harta!”

“Lalu, perempuan yang duduk sendirian di sana. Dia baru saja sedih karena dicerai oleh suaminya. Lalu, anak perempuan berseragam SMP yang tengah membeli minuman dingin di warung seberang. Hari ini dia membolos lagi. Sudah berminggu-minggu mengaku sekolah pada orangtuanya. Tetapi, dia bermain bersama laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya. Kau pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kan? Lalu… lalu… ah! Ya, kau lihat anak muda di sana? Lelaki yang berpenampilan rapi dan bersih itu? Sebentar lagi, seorang pria tua – yang jauh lebih tua dariku akan menjemputnya. Pria tua itu bukan ayahnya, pamannya, kakeknya, atau keluarganya. Mereka punya hubungan aneh antara lelaki dan lelaki. Setiap pertemuan, anak muda itu akan diberi uang dan dibelikan banyak barang,” orang gila ini mengakhiri ujarannya sambil terkekeh pelan. “Kalau orang-orang bilang aku ini gila. Kadang-kadang aku bingung, memangnya, di dunia ini, masih ada orang yang waras? Semua gila! Semua gilaaaa!”

“Di tempat yang bising ini semua orang berteriak. Semua orang menjadi mulut. Ramainya begitu riuh. Jika kau pelan-pelan memilih menjadi telinga alih-alih ikutan jadi mulut seperti orang kebanyakan…” lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti berhati-hati sekali. Kalau-kalau ada yang mendengarnya mengucapkan hal ini. “Perlahan kau akan dengar banyak rahasia-rahasia…” lelaki itu tersenyum lebar, seolah-olah ujung-ujung bibirnya ditarik gerombolan semut-semut. “Rahasia-rahasia yang tersimpan pada benda mati dan dibawa oleh angin,”

Orang-orang pasti mengira bahwa kami ini dua orang gila yang sudah lama tak bertemu. Kemudian berbincang-bincang seperti dua teman akrab yang melepas rindu. Mungkin kamu memang tengah merindu. Merindukan sesuatu yang tidak benar-benar kami tahu. Tapi bukan kewarasan. Sebab bagi kami berdua kewarasan itu tidak ada.

Kami kemudian berbincang-bincang, sesekali mengajak pohon yang tetap berdiri kokoh, dan tiang listrik yang dicoret-coret. Melalui mereka berdua, kami dengar ada dua lelaki muda yang mati petang kemarin setelah dihajar massa karena ketahuan mencuri. Orang-orang tak perlu mengira-ira aku gila atau tidak. Aku memang gila.

“Sebetulnya, aku baru saja kabur dari rumah sakit jiwa. Karena kau tahu? Tidak ada satu pun orang yang percaya padaku bahwa benda-benda mati bisa menceritakan kisah banyak orang, orang-orang seperti kita, dari orang-orang gila seperti kita,”

Lelaki itu tertawa keras medengar kejujuranku, kemudian berucap, “Tidak ada orang seperti kita. Semua orang adalah kita. Semua orang gila. Kita semua gila!”

***

Related posts

Leave a Comment

15 − eight =