ARTIKEL 

BENANG MERAH NILAI ISLAMI DALAM SASTRA INDONESIA

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pengajar dan pelayan sastra

——————————————————————————————

 

Jika kita cermati dengan seksama akan kita temukan bahwa sastra Indonesia berakar pada sastra daerah. Kita akan menemukan ada benang merah nilai-nilai Islami yang jelas di dalamnya. Nilai-nilai Islami itu ada dalam sastra daerah Melayu (Riau), Jawa, Sunda, Bugis, dan daerah-daerah yang mendapat pengaruh nilai-nilai Islam dalam perkembangan kebudayaannya. Benang merah itu terlihat sejak sastra Melayu klasik masa kesultanan Aceh, dan sastra Jawa zaman kesultanan Demak, sampai pada masa sastra Indonesia kontemporer seperti terlihat pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Achmad Syubbanudin Alwy, dan Rukmi Wisnu Wardani.

Dengan benang merah itu kita perlu meyakini bahwa akar sastra Indonesia ada pada sastra daerah yang pada perkembangannya terpengaruh nilai-nilai Islam. Ini agar kita tidak lagi terjebak pada statemen rendah diri, seperti statemen pengidap inferiority complex, yang selalu mengatakan bahwa sastra Indonesia berada dalam hegemoni sastra Barat. Dengan mengatakan bahwa akar sastra ada pada sastra daerah, berarti sastra daerah menjadi pokok sastra Indonesia, dan sastra Barat hanya memberi pengaruh pada sebagian gaya (style) sastra Indonesia.

Jika kita cermati, akar sastra Indonesia adalah bentuk-bentuk atau gaya-gaya (styles) karya sastra dan muatan nilai-nilainya yang menjadi asal atau pokok (akar) perkembangan kesastraan Indonesia, dan ini ada pada sastra daerah. Tentu, kita harus menyadari bahwa akar itu tidaklah satu, tidaklah homogen, tetapi heterogen (beragam). Akar itu tidak hanya terdapat pada sastra Melayu klasik, tapi juga pada tradisi sastra etnis-etnis lain di Nusantara yang ikut menyumbang pertumbuhan sastra Indonesia. Kita adalah bangsa yang multikultur (bhinneka) dengan tradisi budaya yang relatif berbeda-beda. Ada etnis Melayu, etnis Jawa, etnis Sunda, etnis Bali, etnis Batak, etnis Bugis, etnis Dayak, etnis Ambon, etnis Papua, etnis China, etnis Arab, dan berbagai etnis kecil lain yang mendiami pulau-pulau yang ada.

Dengan melihat realitas seperti itu, maka ketika kita mencari akar sastra Indonesia tidaklah dapat menghindari realitas yang multikultural tersebut. Jika disepakati bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang menggunakan bahasa Indonesia, untuk gampangnya mungkin kita akan mengatakan bahwa akar sastra Indonesia adalah sastra Melayu karena akar (asal) utama bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Sehingga, akar sastra Indonesia sama dengan asal bahasa Indonesia.

————————————————

Foto diambil dari republika.co.id

————————————————

Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Secara politis, bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu dan bahasa komunikasi nasional. Tetapi, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu semua etnis yang ada di Indonesia, sehingga, meskipun akar utama bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa akar sastra Indonesia hanyalah sastra Melayu.

Kesepakatan politis untuk memilih bahasa Indonesia, yang berakar pada bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional, tidaklah secara otomatis mengeliminasi ekspresi-ekspresi sastra dalam berbagai bahasa ibu – bahasa etnis, bahasa daerah – etnis-etnis yang ada di Indonesia. Begitu juga ketika kita berbicara tentang akar sastra Indonesia. Meskipun bahasa Melayu (rumpun bahasa Melayu) menjadi bahasa komunikasi utama bangsa-bangsa di Nusantara, tidaklah tepat jika kita menafikan tradisi-tradisi sastra yang diekspresikan dalam berbagai bahasa ibu etnis di kawasan Indonesia.

Persoalannya memang menjadi cukup rumit, karena pada kenyataannya hampir semua etnis di Indonesia memiliki tradisi sastra dalam bahasa ibu masing-masing yang unik, meskipun sebagian besar sudah mulai punah. Tradisi sastra yang khas bahkan (pernah) hidup pada sub-sub etnis. Dalam keluarga sastra Jawa, misalnya, selain hidup sastra Jawa yang berakar pada sastra keraton (kesultanan) yang adiluhung (agung), juga (pernah) hidup sastra Jawa Tegalan, sastra Jawa Banyumasan, dan sastra Jawa Timuran, yang masing-masing memiliki karakter yang relatif berbeda. Di kalangan masyarakat Betawi, juga pernah hidup tradisi sastra khas Betawi. Begitu juga di kalangan etnis Sunda, sampai sekarang masih memiliki tradisi sastra Sunda.

Di luar Jawa, dan di luar pengguna bahasa Melayu, kita juga masih dapat menemukan tradisi-tradisi sastra yang masih hidup dalam bahasa ibu masing-masing, seperti sastra Bali, sastra Bugis, sastra Lampung, sastra Dayak, dan sastra Minang. Di kalangan etnis Cina juga pernah memiliki tradisi sastra sendiri. Pada masa awal sastra Indonesia, etnis Cina juga menyumbang cukup banyak karya sastra dalam bahasa Melayu pasar. Sementara, para penyebar agama Islam (ulama), yang sebagian berasal dari Persia, ikut mewarnai era sastra Melayu pra-modern dengan karya-karya sastra religius yang bernuansa tasawuf.

Bagi pengamat sastra Indonesia, pada akhirnya, yang paling mudah, adalah mencari ke tradisi sastra etnis-etnis besar, seperti Melayu, Minang, Jawa, dan Sunda, yang relatif mudah ditemukan pengaruhnya dalam perkembangan sastra Indonesia. Pengaruh tradisi sastra etnis-etnis besar tersebut sangat terlihat dan menguat, ketika semangat untuk “kembali ke timur” atau dalam istilah Danarto “kembali ke akar” menjadi kecenderungan utama sastra Indonesia dalam dasawarsa 1970-an. Hampir semua sastrawan ternama Indonesia ketika itu kembali ke akar sastra etnis dan keyakinan masing-masing. Meskipun begitu, terlihat bahwa benang merah sastra Islami tidaklah surut.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, kembali ke puitika mantra yang berakar pada budaya masyarakat Melayu-Riau Kepulauan, cerpenis Danarto mengangkat semangat esoterik Islam-kejawen (Islam Jawa) yang sufistik, penyair Abdul Hadi W.M. mengembangkan konsep puitika sufistik yang merujuk pada karya-karya Hamzah Fansuri dan tradisi sastra Islam Persia, serta Kuntowijoyo dan Emha Ainun Najib mengembangkan konsep sastra profetik yang Islami. Meskipun ketika itu muncul pula Darmanto Jt. dan Linus Suryadi A.G. yang menggali puitika Jawa yang merujuk pada filosofi dan estetika tembang, serta Umar Kayam dengan sejumlah fiksi yang mengangkat dunia priyayi Jawa, namun tidak sekuat pengaruh Islam pada sastrawan di atas. Ada pula Ahmad Tohari dengan novel-novel yang mengangkat tradisi masyarakat Jawa pinggiran. Prosais lain, Wisran Hadi, banyak mengangkat masyarakat dan dunia Melayu. Sementara, Mursal Esten dan sejumlah sastrawan lain mencoba menggali puitika dan teori sastra khas Timur guna mengimbangi dominasi teori sastra Barat.

 

Muatan nilai sastra

Berbincang tentang akar suatu tradisi sastra tentunya tidak dapat hanya membahas masalah estetika (puitika) dan bahasa yang digunakan. Perbincangan tidak dapat terlepas dari pembahasan terhadap aspek tematik atau aspek ekstrinksik sastra, yakni muatan nilai (pesan) yang terkandung di dalam karya-karya sastra yang dirujuk. Bagaimanapun, masalah pesan sangatlah penting dalam karya sastra, agar suatu karya sastra memiliki nilai kebermanfaatan, atau memiliki sesuatu (something) yang penting bagi pembaca. Sebab, karya sastra yang unggul adalah karya sastra yang bagus aspek estetiknya sekaligus memiliki aspek tematik (pesan) yang mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Pada masa awal pertumbuhannya, sastra Indonesia, sangat dipengaruhi oleh tradisi sastra Melayu yang sarat  dengan muatan nilai-nilai dan ajaran Islam. Sebagai tradisi sastra yang melekat pada bahasa (Indonesia) yang bercikal-bakal pada bahasa Melayu, tradisi sastra Indonesia memang bermula dan berakar utama pada tradisi sastra Melayu. Dari sini akar utama sastra Indonesia dapat dirunut pada sastra Melayu lama yang anonim, seperti pantun, syair, dan hikayat; serta tradisi sastra Melayu pra-modern yang melahirkan pujangga-pujangga besar, seperti Hamzah Fansuri yang hidup pada masa kesultanan Aceh (abad ke-16 Masehi), dan Raja Ali Haji (1808-1873) – sang peletak dasar-dasar tata bahasa Melayu yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.

Baik sastra Melayu klasik maupun sastra Melayu pra-modern, sama-sama sarat muatan nilai-nilai dan ajaran Islam. Pada jenis pantun adat, pantun nasihat, dan pantun agama, misalnya, umumnya sangat kentara warna ajaran Islam. Begitu juga pada syair dan hikayat, yang memang merupakan hasil pengaruh tradisi sastra Islam. Pada era sastra Melayu pra-modern, masuknya nilai-nilai dan ajaran Islam makin dominan. “Syair Perahu” karya Hamzah Fansuri, misalnya, sarat muatan aspek batin (esoteric) Islam atau tasawuf. Sedangkan “Gurindam Duabelas” karya Raja Ali Haji, selain ada bagian yang bernuansa tasawuf, juga banyak menyampaikan prinsip-prinsip moral yang Islami. Karya-karya kedua pujangga besar itu menjadi puncak pencapaian sastra Melayu pra-modern. Coba kita simak kutipan “Gurindam Duabelas” (pasal pertama) berikut ini.

 

Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang makrifat

Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.

Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.

Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat.[1]

 

Puncak-puncak pencapaian sastra Jawa pada masa kesultanan Islam juga sangat sarat nilai dan ajaran Islam, termasuk aspek batin (esoteric) Islam, yakni tasawuf. Salah satu puncak karya sastra Jawa baru adalah Serat Centhini,  yang ditulis oleh tiga orang pujangga Kasunanan Surakarta, yaitu Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar), atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III, yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V (1820–1823).

Karena kelengkapan kandungan ajaran Islam dan aspek sufistiknya, Serat Centhini  sering  disebut sebagai Ihya Ulumuddin-nya orang Jawa. Serat Centhini  menceritakan perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri yang melarikan diri setelah Keraton Giri diserang dan diduduki oleh tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal dari satu pesantren ke pesantren lain sebagai santri kelana. Syaikh Among Raga banyak mendapatkan pengajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik (kitab kuning). Serat Centhini menyebut tidak kurang dari 20 nama kitab klasik, yang hingga kini masih dikenal dan dipakai sebagai pegangan di banyak pesantren di Indonesia.

Sebut juga karya-karya pujangga Jawa legendaries Ranggawarsita (1802-1873), seperti Serat Wirid Hidayat Jati dan Serat Kalatida. Serat Wirid Hidayat Jati  sangat sarat aspek esoterik Islam, yakni tasawuf. Sedangkan Serat Kalatida penuh nuansa kritik sosial. Dalam karyanya ini Ranggawarsita meramalkan bakal datangnya zaman edan, zaman ketika nilai-nilai kebenaran dijungkirbalikkan. Karya Ranggawarsita ini banyak mempengaruhi sajak-sajak sosial dan pemikiran penyair W.S. Rendra. Dalam beberapa orasi budaya Rendra juga sering mengutip Serat Kalatida, dengan menyebut situasi sosial-politik di Indonesia pada masa akhir Orde Baru, dan masa pasca-reformasi sebagai zaman edan – istilah yang pernah dikemukakan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida. Sedangkan periode pertama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ia sebut sebagai zaman kalabendu (zaman peralihan). Coba bandingkan kutipan serat “Zaman Edan” karya Ranggawarsita dan sajak “Zaman Gelap” karya Rendra berikut ini:

 

Martabat masyarakat dan pejabat negara

Tampak tanpa rupa, berantakan dan rusak

Hukum dan aturan diinjak-injak

Agama hanya jadi barang dagangan

Dipraktekkan penuh kemunafikan

 

Tiada lagi teladan bijak

Sang pujangga pun hanya bisa terdiam

Dalam duka, hatinya remuk redam

Perasaan ternista dan terhina

Matahari kehidupan seakan padam

Dunia penuh dengan bencana

 

Hidup pada zaman edan

Gelap jiwa bingung pikiran

Turut edan hati tak tahan

Jika tidak turut edan

Batin merana dan penasaran

Tertindas dan penasaran

 

Tapi, janji Tuhan sudah pasti

Seuntung apapun orang yang lupa daratan

Lebih selamat orang

Yang tetap menjaga kesadaran

 

(Dari “Zaman Edan” karya Ronggowarsito)

 

 

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan

Amarah merajalela tanpa alamat

Kelakuan muncul dari sampah kehidupan

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

 

O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan

Kitab undang-undang tergeletak di selokan

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

 

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

 

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

 

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan

maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

 

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan!

 

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi

Airmata mengalir dari sajakku ini.

 

(Sajak “Zaman Gelap” karya W.S. Rendra)

 

Benang merah pengaruh tematik nilai-nilai Islam, khususnya tasawuf, dalam pertumbuhan sastra Indonesia, dapat dirunut sejak masa Hamzah Fansuri (abad ke-16 M), Raja Ali Haji (awal abad ke-19 M), Ranggawarsito (awal abad ke-19 M), Sunan Paku Buwono V (1820-an), Amir Hamzah (awal abad ke-20), hingga generasi Danarto dan Abdul Hadi W.M. (paruh akhir abad ke-20 M). Pengaruh serupa bahkan juga tampak cukup jelas pada karya-karya para penyair generasi pasca-Abdul Hadi, seperti Emha Ainun Najib dan Ahmadun Yosi Herfanda, serta generasi terkini kepenyairan Indonesia seperti Rukmi Wisnu Wardani dan Lukman Asya.

Coba kita simak dan bandingkan karya-karya beberapa penyair Indonesia dari tiga masa yang berbeda, sbb.

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

(“Syair Perahu” karya Hamzah Fansuri, bait 1-2)

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

(Sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M.)

setua umur bumi inilah aku datang dan pergi
berganti rupa untuk yang kesekian kali
tanpa tahu batas waktu menunggu

sekalipun sukmaku dan sukmaMu satu
sekalipun Kau berada di dalamku
dan aku berada di dalamMu
tetap saja, aku tak dapat mendahuluiMu
sebab tirai itu harus Kau yang buka

kalaupun asmara ini melahirkan agama
hingga setumpuk kitab suci
semua hanya sebatas rambu
tapi bukan pintu

: al maut! al maut!
inilah kebangkitan asmara yang sesungguhnya
inilah purba harta dalam tembang sakral kebirahian jawa
inilah perjalanan menuju arasy tanpa wadaqnya
inilah hakikat moksa seiring tarian mahabahnya

sesempurna rekah wijaya kusuma di hening malam
yang menyisakan wanginya di tepian subuh

(Sajak “Makrifat Centhini” karya Rukmi Wisnu Wardani)

 

Sementara itu, dalam khasanah penulisan fiksi (cerpen maupun novel), nilai-nilai Islami dapat dirunut sejak pada karya-karya Hamka, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Helvy Tiana Rosa, hingga karya-karya para penulis generasi terkini dari Forum Lingkar Pena (FLP) yang puncak kesuksesan pasarnya diraih oleh novel Ayat-ayat Cinta  karya Habiburrahman el Shirazy.

 

Paradigma baru

Dari pembahasan yang cukup panjang, tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa “akar utama” perkembangan sastra Indonesia adalah sastra Melayu dan sastra Jawa. Dan, akar utama inilah yang membangun perkembangan sastra Indonesia hingga kini. Suatu bukti bahwa sastra daerah ada dalam sastra Indonesia. Dan, terlihat kuatnya benang merah nilai-nilai Islami di  dalamnya. Tradisi sastra etnis-etnis lain, seperti Sunda, Bugis, Cina, Bali, dan Dayak, bersifat memperkaya khasanah sastra di Indonesia.

Salah satu hal yang sangat menarik, sastra Melayu dan sastra Jawa memiliki ikatan benang merah (kesamaan) tematik yang sangat kuat, yakni nilai-nilai Islam. Nilai-nilai dan ajaran Islam pula yang sangat terlihat pada karya-karya para penyair Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, dan Singapura, yang menggunakan bahasa Melayu. Banyak di antara para penyair Brunei Darussalam dan Malaysia bahkan menyampaikan pesan-pesan keislaman secara sangat eksplisit.

Dari uraian di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter terpenting “akar utama” sastra Indonesia, dan juga sastra Nusantara, adalah tradisi sastra yang secara estetik sangat memperhatikan keindahan bahasa dan secara tematik sangat memperhatikan kebermanfaatan bagi pembaca. Akar utama sastra Indonesia adalah sastra yang sarat aspek religiusitas, sekaligus peduli pada persoalan moral masyarakatnya, dan itu semua diungkapkan dalam bahasa yang santun dan indah sekaligus kuat (sugestif) dalam menyampaikan pesan-pesan pencerahan.

Karena itu, jika tradisi sastra Indonesia hendak kita rujukkan ke akarnya, maka hendaknya sastra yang kita kembangkan saat ini dan ke depan adalah sastra yang religius sekaligus peduli pada persoalan masyarakat dan bangsanya, serta secara estetik tetap memperhatikan keindahan bahasa dan struktur cerita. Bukan sastra yang memberhalakan kebebasan, bukan sastra yang merusak tatanan sosial dan martabat kemanusiaan, bukan pula sastra yang hanya memberhalakan keindahan bahasa tanpa peduli pada aspek kebermanfaatannya bagi pembaca.

Dalam konteks kembali ke akar tersebut, kiranya sangat tepat untuk mereaktualisasikan ide sastra profetik yang pernah dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yakni sastra yang membawa misi kenabian, sastra yang indah sekaligus membawa misi pencerahan dan penyempurnaan akhlak masyarakat. Dengan kata lain, sastra yang berpotensi untuk menyempurnakan harkat dan martabat kemanusiaan pembacanya, dan bukan yang sebaliknya. Ide tentang sastra profetik ini sangat sesuai dengan semangat “akar utama” sastra Indonesia, dan sangat pas pula untuk ikut menjawab serta menghadapi tantangan perubahan zaman yang makin menampakkan kecenderungan dehumanisasi umat manusia.***

 

          Jakarta, 17 April 2020

Related posts

Leave a Comment

2 × 1 =