KAKIMU TERLAMPAU TINGGI MENINGGALKAN PETANG

Puisi-puisi Joko Rabsodi ___________________________________________________________________________

 

BAKAL

 

Kepentinganku datang menjemput sebilah cinta yang terendam bencana
kakimu sulit melangkah untuk satu keputusan yang senyatanya tertunda
aku tak mau ia menjadi purba di negeri sendiri
alangkah baiknya aku terjerumus mencari masa depan
yang tuhan simpan di salah satu pinggir telinga
engkau belum tahu ancaman yang diterima di setiap lamunan

Di meja belakang di samping buku bacaan yang tersandar
kau sisipkan arsip whatshaap yang kukirim
di dalamnya berita duka tak pelak kau pecahkan
memojokkan rasa bukan dengan menutup layar kamera
ia terlahir dari nurani bukan dari kacamata lensa
duh, bagaimana menundukkan tubuhmu yang segar
penjelasan yang tiba satu persatu dicampakkan tanpa purbakala

Semusim bersamamu seratus pra-peradilan telah kuupayakan
dipertiga malam disela tuhan tak mengabaikan grasi bagi yang merasa sepi
kulayangkan tinggi telapak ke ruas langit yang pitam
tak tampak tuhan akan merapat, yang menyempit justru batang tubuhmu
membawa panjang celurit seperti perempuan amazon yang sangar membenci pejantan dan memotong separuh hatinya
kelakianku makin ampas didera kelakuanmu yang menekan

Aduh, dulu kita bisa memeras, bermain tenda dalam lugunya langit
berkejaran di tikungan kolam lalu meloncat untuk menenun tawa
yang terselip di tembok-tembok hijau air
di derit kolam kita melatih ketangguhan hidup yang pekat
keinginan saling meraba dan memikul beban sama-sama ditingkap
saling menunggu cemburu dalam guman; tung, duwe tello`-deddih
di daratan sore, memetik rambut gitar yang berurai
lirih lagu yang nyeyak kita antuk sedalam kalbu yang remas
sesisir rintih megar diantara kerudung dan tangan menyeka
akulah madawa pembawa nyanyian sorga dan kau meremang
dalam kilatan dewi laksmi

Lek maafkan, ketangkasan aksara yang kita kemul dalam adonan cinta
harus tersuap, tujuanku semula membangkitkan gairah melahirkan kecemasan
di file-file akte
pernikahan yang direncana didukung ornamen melati, bowers & wilkins,
dan segala warna pelangi buyar menjadi tatanan mendung
janji yang belum tunai pun meremangi awan
lalu tersedu dalam keranjang yang dibawa setiap tamu undangan
dan kepada bungkus souvenir ia bertaluh; kenapa aku masih dihinakan!

Madura, 27 Nov 2021

 

KAKIMU TERLAMPAU TINGGI MENINGGALKAN PETANG
–kepada kyai sayyadi

Sabtu malam tepat 23 pahing tempo jawa
kembali dupa kau bakar ditengah ketakutan yang terluap dari anak
dan sanak famili, ibu-bapakmu yang menunggu 1/5 abad terus mengipai
kedua dadanya yang mengenjal berat rindu
tak rikuh merayu demi memencilkan kaku badan yang mengurus
rupanya ia memihak tubuhmu menyatu dalam alam sembari mengembalikan
beberapa sifat tuhan yang selama ini kau pinjam

Di luar daun pintu bermotif, sedih geger diantara selaput mata kedelapan anakmu
sekurang-kurangnya mereka bisa mengecup kening yang berkerut lebih lama
keinginannya terus menghimpun hajatan sebatas denganmu
melahap cahaya dan keringnya bebatuan di dekat bukit buju` gus koneng
krah baju terlepas biar kau pasang dinginnya obrolan sholawat
bersama menggema dalam syahdu berzanji dan kerling luka yang kita
produksi dari rautan kata-kata

Eppa`, di meja tamu secangkir kopi mendidih meraup riwayat
terciptalah sengketa kedua orang tua dengan kedelapan anak-anakmu
berlain harap padahal mereka mengerti apa arti kekal sesungguhnya
hengkangmu ke tanah loka dipilih tuhan sebagai qadar
mereka telah mengalah dan membagi tangis mengemis
sebentar mantra yang dipugar memanjat ke plafon langit
tapi kakimu terlampau tinggi meninggalkan petang
ia meraung-raung tanpa cakrawala mampu menampung
basahlah tanah ini dari gerigi panjang tidurmu

Eppa`, kami mengerti hidup adalah tumbal dan pengorbanan
kenyataan yang sulit kami dapati ketika pengorbananmu adalah tumbal
di hati yang terjaga, segala jurus kami hantarkan
tubuh yang tersendat tetap saja angkuh menerima keberadaan
bahwa mati harus terjadi pada detik ini
Eppa’, entah demi apapun
anak-anakmu terdampar mengelabuhi tubuhnya sendiri
bingung setelah tanganmu tak mampu mengantarkan infus yang dipegang
selamat, pa`, atas pilihanmu menerima takdir sekencang ini
meski jantung kami terurai dentum demi dentum

Madura, 29 Nov 2021

 

JANGAN LARANG RINDUKU SEDALAM SUMUR ZAMZAM
–ra syukuri nikmah

Jangan larang aku mencumbumu sapanjang jaman
sumpah yang kuarahkan erat ke tangan penghulu menggubris terlalu dalam
sedalam isi sumur zamzam yang baru saja kau telan
manis mekar dan setia mengukir bersama gendrang hadrah
di masjid itu tetaplah kenang dalam jauh pun ia meriang

Pada kening purnama kita berproses seperti ikatan burung merpati
bersiul, terbang rendah sambil memunguti empuk harapan
di embun shubuh kuperas namamu dingin dan mendung itu rindu yang gembul
bahkan di ufuk matahari yang garang semakin mengerjapkan kemauan untuk saling memeluk selama terang
tak ada tambatan untuk menukar selain berlindung pada keadaan yang benam
padamu aku berharap, padaku kau hendak tiarap

Nyai, keanekaragaman rawuhmu dan mawar yang megah di simpang mata
menyapaku dengan penuh mesra
bimbingan yang padat demi menguntai kalimat benar kini bermimik melati
lembut di tangan dan sedap di ubun-ubun
jangan biarkan rindumu berkembang tanpa layar, samudera kian kencang
ombak menghantam kasar, perlu kuda-kuda kuat membangun

Pembahasan apapun tentu rembuk bersatu, dalam riuh pagi atau gersang siang dan larutnya malam sama-sama kita pikirkan, jangan sampai menyepelekan setiap yang keluar
andai semua bunga jatuh dalam pangkuan itu bukan gugur bunga
maka jangan larang yang lepas dan anjlok ke dalam mimpi pun
aku yakin ini doa jibril untuk menjaga kelembutan peristiwa
yang dalamnya menyekat masa yang kita bina
sejak niatku menundukkan tubuhmu dibawah kepalan penghulu
syairku selalu biru dan tak pernah luntur sekian waktu
Jangan larang bila rinduku sedalam sumur zamzam
yang tak bakal habis kau telan hingga akhir zaman!

Madura, 30 Nov 2021

 

UNTUK APA MEMAAFKAN
LUKA ENGGAN DISEMBUHKAN

Untuk apa memaafkan bila luka enggan untuk disembuhkan
harunya maaf yang kusodor hanya membanggakan sebelah tangan
kau serupa api membakar apa saja di sekitar
termasuk aku hangus dalam diam

Martabat kubawa, mengagungkan simbol yang tertera
trah yang membingkis kelahiranmu mesti kuperhitungkan
meski bukan seleraku mengacungkan masa silam

Dan pada kalimat yang tak pernah rampung ditulis
kusampaikan keinginan yang terlukis
aku bukan siapa juga tidak perkasa mempersunting suratmu
hal-hal kecil diperhatikan sedemikian rupa
martabat dibentuk dari selaksa tatakrama yang berskema
sungguh molek redaksimu, tapi aku tetap tak mengerti
mengapa simbol lebih mulia dari sebingkai manusia!

Aku tak bisa bersembunyi dalam umpatan
sebagaimana tubuhmu menunduk pada sebuah slogan
kebebasan yang kupilin adalah keleluasan untuk menyuguhkan matahari
tanpa tirai, terang atau hitam mencerna tanpa alasan

Bagiku yang patuh dikenang hanya ibu
mengepakkan sayap untuk menyenyakkan anak putu
selebihnya adalah ayah yang menggaris tanah untuk
sebuah keturunan
bila ada pilihan lain pasti guru yang meletakkan pena di sudut waktu

Madura, 02 Desember 2021

 

Joko Rabsodi, lahir di Pamekasan pada 11 Juni 1981. Santri ini sekarang mengabdi sebagai seorang guru di SMAN 4 Pamekasan, Madura. Menulis puisi dan cerpen yang telah dipublikasikan di berbagai media baik daring maupun cetak.

Related posts

Leave a Comment

two − one =