ESAI 

Cerpen Indonesia, dari Cetak ke Digital

Esai Ahmadun Yosi Herfanda

_______________________________________________________________

 

Sejauh ini masih dipahami bahwa cerpen adalah fiksi atau cerita rekaan yang mengungkapkan satu masalah tunggal dengan satu ide tunggal yang disebut “ide pusat”. Lazimnya, cerpen memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi tertentu pada satu saat, sehingga memberikan kesan tunggal terhadap konflik yang mendasari cerita tersebut.

Menurut data sejarah sastra, genre cerita pendek (cerpen) baru hadir ke khasanah sastra Indonesia dalam paruh akhir dasawarsa 1930-an, dengan hadirnya cerpen-cerpen Muhammad Kasim dan Suman HS, lalu disusul cerpen-cerpen Hamka, Idrus, dan Armijn Pane. Singkatan cerpen pertama kali diusulkan oleh Ajip Rosyidi. Dalam sastra Ingris cerita pendek biasa disebut short story.

Karya-karya para pelopor cerpen di Indonesia itu dianggap mengawali tradisi penulisan cerpen modern Indonesia — dalam tipologi konvensional yang merujuk pada tradisi short story dalam sastra Barat. Cerpen-cerpen Muhammad Kasim terkumpul dalam Teman Duduk (1936), Suman HS dalam Kawan Bergelut (1938), Hamka dalam Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), Idrus dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), dan Armijn Pane dalam Kisah Antara Manusia (1953).

Meskipun tergolong baru dan dianggap mengadopsi dari sastra Barat, perkembangan cerpen di Indonesia termasuk sangat pesat, terutama pada masa pasca-kolonial. Laju perkembangan tersebut mulai tampak pesat setelah terbit majalah cerpen pertama di Indonesia Kisah (1953-1957), disusul majalah cerpen Sastra (1961-1964), dan majalah sastra Horison (1966-2000-an). Kemudian, muncul Anita Cemerlang (cerpen remaja) dan Annida (fiksi Islami) – kedua media terakhir ini juga telah telah rontok setelah sebelumnya berganti daring. Produktivitas penulisan cerpen mengalami booming ketika mendapatkan tempat terhormat di media massa cetak – surat kabar dan majalah – sejak tahun 1970-an, dan terus bertahan sampai rontoknya beberapa surat kabar dan majalah oleh media daring.

Jika diamati, pesatnya perkembangan cerpen dalam khasanah sastra Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat (manusia) pada dasarnya menyukai dongeng. Cerpen yang dapat dianggap sebagai metamorfosis dongeng (meminjam istilah Korrie Layun Rampan) dengan cepat dapat menemukan penggemarnya di kalangan masyarakat banyak, terutama masyarakat terpelajar perkotaan.

Kedua, gaya cerpen yang umumnya realistik menjadi media refleksi diri yang pas bagi masyarakat yang sedang bergerak menuju perubahan untuk menemukan jati dirinya sebagai individu sekaligus anggota masyarakat yang modern serta sebagai bangsa yang berdaulat.

Ketiga, dalam bentuknya yang relatif pendek, cerpen bisa memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat terpelajar perkotaan (komunitas urban) yang cenderung makin sibuk dan hanya memiliki waktu yang terbatas untuk memenuhi hasratnya pada dongeng (fiksi) kontemporer serta refleksi dirinya.

Keempat, cerpen merupakan karya sastra yang paling dimanjakan di media-media massa cetak – hampir semua media massa cetak Indonesia memiliki rubrik cerpen – sehingga produktivitas dan kreativitas para cerpenis Indonesia terpacu dengan cepat.

Kini, ketika majalah sastra, mejalah cerpen, dan beberapa surat kabar nasional rontok, cerpen (dan novel) bermutasi di media digital, di internet seperti Wattpad, dan aplikasi Noveltoon, Novel Me, dan Go Novel di telepon pintar, serta berbagai laman dan blog dengan sistem penghargaan yang berbeda-beda. Banyak laman yang sudah memberi royalti, ada pula yang memberikan penghargaan tahunan. Portal sastra Litera (www.litera.co.id), misalnya, memberikan penghargaan untuk puisi dan cerpen terbaik tiap tahun.

Pasar dan Penerbitan

Jika kita amati, cerpen Indonesia menampakkan beberapa kecenderungan yang sangat penting dan menarik, baik berkaitan dengan aspek estetik, tematik, pasar, pemasyarakatan, industri penerbitan, maupun tradisi penciptaan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa kehidupan cerpen Indonesia sangat subur dan memiliki pembaca yang cukup luas serta beragam.

Kecenderungan pertama, yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia ini adalah pertumbuhan pasar yang begitu pesat dan menggembirakan. Kecenderungan ini ditandai dengan larisnya buku-buku kumpulan cerpen. Tidak hanya buku-buku kumpulan cerpen dalam kelompok fiksi Islami seperti karya-karya Asma Nadia dan Pipiet Senja, atau jenis chicklit dan teenlit,  yang laris di pasar; tapi juga buku-buku kumpulan cerpen yang cukup serius, seperti karya-karya Seno Gumira Ajidarma, Jenar Maesa Ayu, Kurnia Effendi, dan Yanusa Nugroho.

Kecenderungan tersebut diikuti dengan makin banyaknya industri penerbitan yang menggarap buku-buku kumpulan cerpen. Setelah dalam beberapa dasawarsa mendapat tempat terhormat di media massa cetak, cerpen mendapat perhatian serius dalam industri penerbitan. Hampir semua penerbit di Indonesia – termasuk yang semula tidak memiliki divisi penerbitan fiksi (cerpen), seperti Mizan, Republika, Rajawali, dan Obor — ikut merambah pasar buku fiksi.

Maraknya penerbitan buku fiksi, terutama kumpulan cerpen dan novel, tidak terlepas dari peran jaringan dan komunitas penulis yang menamakan diri Forum Lingkar Pena (FLP). Komunitas yang lahir pada 1994 ini menyadarkan para penulis fiksi dan pengelola penerbitan bahwa potensi pasar fiksi di Indonesia ternyata begitu besar dan luas. Majalah khusus cerpen yang pernah ikut melahirkan para penulis FLP, yakni Annida, misalnya, pernah mencapai oplah yang begitu tinggi, yakni 70 ribu eksemplar. Sementara, buku-buku kumpulan cerpen terbitan FLP pernah selalu terjual habis tidak lama setelah diterbitkan. Anggota FLP yang diklaim pernah mencapai 5000 orang lebih menjadi pasar utama buku-buku kumpulan cerpen terbitan FLP, selain masyarakat umum penggemar fiksi Islami.

Realitas pasar buku fiksi (Islami) yang dibuka oleh FLP itu menarik minat para penerbit besar-komersial (kapitalis penerbitan), seperti Gramedia dan Mizan, untuk menggarap pasar yang sama. Kenyataannya, buku-buku fiksi karya Asma Nadia, yang mereka terbitkan,  mengalami cetak ulang berkali-kali dan mencapai best seller. Dalam tahun 2003, novel Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, mengalami cetak ulang tiga kali hanya dalam dua pekan, dan novelnya, Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2001), mengalami cetak ulang hingga delapan kali. Predikat best seller juga diraih novel Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim) karya Pipiet Senja. Terakhir, novel Ayat-ayat Cinta (Republika, 2005) karya Habiburrahman El Siraji, sudah cetak ulang sepuluh kali lebih hanya dalam waktu beberapa tahun, sehingga mencapai predikat mega best seller.

Di luar mainstream fiksi Islami, buku-buku kumpulan cerpen dan novel sekuler (seksual), seperti karya-karya Ayu Utami (Saman dan Larung) serta Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Aku Monyet dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu) juga pernah mengalami cetak ulang berkali-kali. Fiksi-fiksi seksual mereka itu, bersama karya Dinar Rahayu (Sebuah Ode Buat Leopol), bahkan sempat muncul sebagai fenomena baru fiksi Indonesia yang banyak didiskusikan dan mengundang kontroversi. Karya-karya mereka sempat mempengaruhi sejumlah penulis lain, seperti Hudan Hidayat (Keluarga Gila serta Tuan dan Nona Kosong), untuk bersikap terbuka dalam menggambarkan masalah-masalah seksual.

Kecenderungan Tematik-Estetik

Pada uraian di atas, sebenarnya sedikit banyak telah disinggung beberapa kecenderungan tematik cerpen-cerpen Indonesia. Pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, yang tampak menonjol adalah tema-tema seksual dengan semangat pemberontakan terhadap moralitas tradisional dan batasan-batasan ketabuan. Cerpen-cerpen Djenar berada dalam mainstream yang sama dengan novel-novel Ayu Utami. Mereka mengusung feminisme untuk ‘membongkar’ norma-norma sosial yang dianggap kaku, dan dengan enteng mereka berbicara tentang ‘wilayah-wilayah lokal’ sejak payudara hingga kelamin.

Mainstream lain yang juga kuat adalah fenomena cerpen-cerpen Islami, yang mengangkat tema-tema moralitas dan ajaran agama (Islam), sepert tampak pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan hampir semua cerpen karya anggota FLP yang jumlahnya pernah mencapai 5000 lebih. Kemunculan mainstream ini seperti sengaja mengimbangi kecenderungan fiksi seksual yang dirambah oleh Djenar Maesa Ayu dkk. Namun, tidak seperti fiksi-fiksi seksual yang banyak diperbincangkan para kritisi sastra, fiksi-fiksi Islami tidak begitu banyak diperbincangkan di ranah kritik sastra. Meskipun begitu, terutama karena daya tarik pasarnya, kecenderungan fiksi Islami memiliki lebih banyak pengikut, termasuk mereka yang semula bukan penulis fiksi Islami.

Di antara kedua mainstrean di atas, tidak kurang jumlahnya cerpen-cerpen yang tetap bermain di ranah humanisme universal, yang mengangkat masalah-masalah sosial, cinta, keluarga, dan memperjuangkan keadilan serta harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya, cerpen-cerpen Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Kurnia Effendi, Shoim Anwar, Isbedy Stiawan ZS, dan Maroeli Simbolon – untuk menyebut beberapa saja. Mereka tampak kukuh dengan pilihan tematik-estetiknya sendiri, tanpa terpengaruh untuk masuk ke fenomena cerpen seksual maupun Islami.

Kecendrungan lain yang juga menarik untuk diamati adalah cerpen-cerpen bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya, seperti karya-karya Oka Rusmini (Bali), Taufik Ikram Jamil (Melayu-Riau), Waode Wulan Ratna (Buton), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan (Dayak), Kuntowijoyo (Jawa). dan Danarto (Islam kejawen) – untuk menyebut beberapa saja. Kecenderungan cerpen bernuansa lokal mendorong munculnya semacam kesadaran untuk kembali ke kekayaan budaya sendiri dan makin banyak mendapatkan pengikut, seperti terlihat dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) 2005 di Pekanbaru. Sebagian besar cerpen pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2005, La Runduma, (kumpulan cerpen Kreativitas Pemuda, Creative Writing Institute dan Kementerian Pemuda dan Olahraga), juga bernuansa lokal.

Dalam semangat kembali ke budaya Timur itu, pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an, Danarto sempat memunculkan fenomena cerpen sufistik, atau tepatnya Islam kejawen yang cenderung panteistik. Cerpen-cerpen berkecenderungan demikian dapat ditemukan pada karya-karya Danarto yang terkumpul dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982). Karya-karya Danarto itu, bersama karya-karya dan pemikiran Abdul Hadi WM, sempat mendorong berkembangnya mainstream sastra sufistik dalam kesastraan Indonesia, yang berhasil menghimpun banyak pengikut dari kalangan penulis muda, terutama para penyair.

Dari aspek estetik, cerpen-cerpen Indonesia menunjukkan kecenderungan gaya (style)  penuturan yang cukup beragam. Antara lain, gaya realis, romantis, puitis, simbolik, surealistik, dan masokis. Namun, tidak gampang untuk memasukkan seseorang ke dalam satu gaya estetik tertentu secara tegas, karena para cerpenis kebanyakan menulis cerpen dalam berbagai gaya. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, banyak menulis cerpen realis, tapi juga menulis beberapa cerpen romantis dan simbolik. Putu Wijaya juga dikenal sebagai cerpenis bergaya absurd, tapi belakangan juga banyak menulis cerpen realis. Begitu juga Danarto. Cerpen-cerpen pada masa awal kepengarangannya sangat simbolik. Namun, kemudian juga banyak menulis cerpen realis.

Cerpen bergaya realis (realisme) adalah cerpen yang menyodorkan realitas yang ada dalam masyarakat sebagai kebenaran yang faktual. Misalnya, cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata (1994) dan Penembak Misterius (1993), serta cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Aku Monyet (2003) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004). Contoh lain adalah cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan cerpen Tidak  (1999), dan Kuntowijoyo dalam Hampir Sebuah Subversi (1999).

Cerpen bergaya romantis adalah cerpen yang sangat mengutamakan perasaan, dengan pencitraan-pencitraan tokoh yang serba cantik dan sempurna, serta obyek dan latar yang serba indah, dengan impian-impian hidup yang serba ideal. Misalnya cerpen-cerpen Irwan Kelana dalam Kelopak Mawar Terakhir (2004), cerpen-cerpen Asma Nadia dan cerpen-cerpen remaja (teenlit) pada umumnya.

Cerpen bergaya puitis adalah cerpen yang mengutamakan narasi-narasi yang puitis dalam melukiskan latar (setting) dan pengadegannya. Dari awal sampai akhir kadang-kadang mirip puisi panjang atau prosa liris. Gaya cerpen puitis sempat menjadi kecenderungan sesaat dalam sastra Indoensia pada awal 2000-an, misalnya cerpen-cerpen Maroeli Simbolon, Azhari, dan Kurnia Effendi dalam kumpulan cerpen Menari di Bawah Bulan (2004). Cerpen-cerpen para pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2004 sebagian besar juga bergaya puitis.

Cerpen bergaya simbolik adalah cerpen yang mengungkapkan gagasan, kebenaran atau menafsirkan realitas dengan simbol-simbol. Sebagai contoh adalah cerpen-cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (1997) dan Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004). Cerpen-cerpen sufistik Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982) umumnya juga dikemas dalam gaya simbolik. Tidak banyak cerpenis Indonesia yang menulis dalam gaya ini.

Cerpen bergaya surealistik adalah cerpen yang mencampuradukkan antara realitas dan irrasionalitas, antara kenyataan dan impian. Misalnya, cerpen-cerpen teror psikologisnya Putu Wijaya yang mengungkap alam bawah sadar manusia (stream of conciousness). Dalam tingkatan yang ekstrem, realitas yang diungkap menjadi jungkir balik sehingga terkesan absurd. Cerpen-cerpen Putu yang bergaya demikian terkumpul dalam Bom (1978).

Gaya lain yang sempat muncul adalah cerpen masokis, yakni cerpen yang memanfaatkan narasi-narasi kekerasan seksual, baik sebagai simbol absurditas kehidupan maupun sebagai potret realitas sosial yang bobrok akibat hancurnya tatanan moral. Misalnya, cerpen-cerpen Hudan Hidayat dalam Keluarga Gila (2003). Dalam novel, gaya masokis ada pada Sebuah Ode Buat Leopol (2002) karya Dinar Rahayu.

 

Epilog

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka bercermin untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi – cerita pendek (cerpen) maupun novel – seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah mimpi-mimpi indah tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam mimpi-mimpi indah itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir.

Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung mendongeng (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, chicklit,  dan teenlit, serta kumpulan cerpen remaja.

Chicklit dan teenlit, yang pernah marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan dunia mimpi. Sedangkan cerpen-cerpen yang serius dapat memenuhi kebutuhan untuk rekreasi emosional dan intelektual sekaligus refleksi diri pembacanya.

Karena itu, tradisi penulisan cerpen, apapun gaya dan temanya, yakinlah, akan terus hidup untuk memenuhi kebutuhan pembacanya akan dongeng, refleksi diri, sekaligus rekreasi emosional dan intelektual mereka. Ketika media cerpen koran dan majalah rontok, maka media digital akan cepat menggantikannya. Ketika masyarakat terpelajar tidak menemukan refleksi diri di surat kabar dan mejalah, mereka akan mencari di media digital yang kini telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

 

Pamulang, 2022

 

AHMADUN YOSI HERFANDA adalah alumnus FPBS Univ. Negeri Yogyakarta (UNY – d.h. IKIP Yogyakarta). Pernah kuliah di Univ. Paramadina Mulya dan menyelesaikan Magister Komunikasi di Univ. Muhammadiyah Jakarta. Ia lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Penyair  ini adalah salah seorang penggagas dan pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap 26 Maret. Selain puisi, ia juga banyak menulis cerpen dan esei sastra.  Sejak 2010, mantan redaktur sastra Harian Republika  ini mengajar penulisan kreatif (creative writing) pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional di dalam dan luar negeri.

Ahmadun juga pernah menjadi ketua tetap Jakarta International Literary Festival (JILFest), anggota pengarah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani University Thailand, ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ).  Ia juga pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2012), dan anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI bidang Sastra (2014-2015) bidang sastra.

Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Sang Matahari  (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan  (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 — meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa, 2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – buku ini terpilih sebagai buku unggulan (5 besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Sedangkan buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, 2004), dan Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004).

Ahmadun kini tinggal di Villa Pamulang Mas II Blok L-3 No.11, Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten. HP: 081315382096 dan 087771822278 (WA). Email: ahmadun.yh@gmail.com. Tentang aktivitas dan karya-karyanya dapat ditemukan melalui www.google.com, dan www.yahoo.com.

 

Related posts

Leave a Comment

nineteen − eighteen =