Memancing Duka di Tubuh Ayah

Puisi-puisi Joko Rabsodi ______________________________________________________________________

DOA YANG MENGAPUNG

Ibu, kaos koneng yang kau paketkan dengan redaksi luntur
masih menyekat, rindumu padat menyamak
setiap pulang ke wismamu, pintalan huruf di baju menuntun kukuh
memeluk, kenangan terurai menikungi secarik rasa
perpisahan ini mencanangkan beribu pertemuan dengan kondisi
terbelak tawa, suatu hasrat yang kuserat pada kalender yang tiba-tiba
mengingatkan tentang kehilangan yang lupa ditandai warna

bagi mataku yang terlalu lelap, nyanyian tidur kerap melingkar
pada cincin malam yang dahulu dikalungkan kisah dramatis
baik gadis berkerudung merah yang endingnya ditikam srigala
atau putri salju yang memakan apel beracun
semuanya tak mengundang galau pada poros tidurku
ceritamu kerap melengkung serupa doa mengapung
di atas alun-alun mimpi

Kurasa airmatamu juga terperangkap dalam timbunan kaos yang kurapikan
udara yang mengeras menampilkan gelombang betapa berat mata
mengatur cemas, sesampai di kotaku sendiri di Madura
matahari masih mengisahkan keindahan senyum di depan hidungku
ibu, apa yang kau hibahkan semoga ada balasan
kau mengenalkan dunia pada tubuh yang kara
beberapa alasan kenapa aku terpaksa ditinggalkan dalam sepi
engkau dan nenek yang memayungi rahasia
jawaban belum kuterima bahkan sama sekali tak ada dalih dalam mimpi
barangkali ada pendekatan lain hendak dicurahkan buat putramu
yang semakin tugu
yang jelas sepotong manuskrip yang kupapah ke hadapanmu
menjadi pengantar ruang tunggu yang selalu menganga
dan seputar jamuan akan dikisahkan di tahun selanjutnya

Ibu, kesempatanku berlindung di pangkuan semata menetak
segenap problem yang tak kunjung tuntas
terbengkalai musim yang mengikat
berusaha kudekati tempat rebah yang kau simpan dalam-dalam
tertera di sana sandaran napas yang kau lengketkan, sering kali aku tertolak
ludahnya; Dayang Sumbi melarang pemuda durhaka mendekati surga
–aku terperosok dimaki para leluhur

Madura, Januari 2021

 

MEMANCING DUKA DI TUBUH AYAH

Meregam tangan ayah
ada getar membegal daun sidrat al-muntaha, entah meluruh ke tanah ini
atau menyumbat meditasi Izrail
kamar tengah gagu, raung ayat-ayat Tuhan membanjiri pori ruang
sewaktu-waktu memaes hentakan dada runtuh laksana memancing duka
di tubuh sendiri
wajar. bagaimanapun tubuh ini titipan ayah, kubesarkan dari jejak yang ia pesan
maklumat yang tinggi, meninggalkan benci dan menaruh sabar di tiap segi
hari ini tak bisa kuapakan kecuali menunggu maaf
dari cemeti malaikat Arham

Kini ayah hendak mengheningkan cipta tanpa waktu tak terukur
bicaranya susut terbelah, kampung halaman ia pandangi seksama
motif muka di lirik baris demi baris, apa yang ia pahami seperti
dihimpun dalam sorot kelunya yang redup
jari-jarinya menghela setitik huruf, terbata-bata rintisan senyum
hablurkan siang yang mendatangi zuhur

Di samping tercenung sehelai tanya melilit
mengapa parang doa yang kuhujamkan tak lahirkan wasiat
apakah hengkangnya ke alam duka adalah rahmat paling istimewa
kejelasan usia yang menyala tersungkur di siang pahit
bidak teka-teki sampai kapan menahan airmata belum terbuka
gincu mataharai teriris menambah kengerian terjerembab
ayah, makin kuat kupipiskan kemesraan
kusalipkan rindu rindang dalam ringan pelukan
sebenarnya di luar halaman bau kamboja menawar secorak nisan
tapi kutaklukkan, ia setan yang tersesat jalan

Ayah, tak ada lukisan tercipta
persoalan ini menyakitkan meski kutahu penawar segala sakit adalah diam
keinginan bersamamu menggantung
semoga pembakaran terhalang, terlalu kering kepalaku mengeleminasi airduka

Madura, Januari 2021

 

PASCA KERUSUHAN
-Iin Ferliani

Tinggal kesunyian terbentang dari lutut fajar
pengasingan yang disaji lelah mengimbas ketir
di media kota pasca kerusuhan

Tak berarti ia telah mati
pengembaraan darah tercecer mencari keseksamaan Tuhan
pada tembok sejarah warna ketidakstabilan meloncat dari pintu

Di meja lain
setumpuk naskah ribut membincangkan egoisme di satu babak
rekonstruksi dalam rekaman, sebuah nilai dari tatakrama kasih
juga kedewasaan

Aku belum bersua, tapi monumen media mencacak tubuhmu
menarikku ke musim yang sama
hakikatnya kita mencairkan lafal untuk sebuah bangunan
nantinya bakal diduduki anak cucu

Permainan rupiah yang suka pilih ganti
acuhkan dan tak usah dinodai
ingat, engkau hanya mahkluk lemah
berbakti pada kata-kata!

Madura, Januari 2022

KEPASTIAN DALAM TUBUHMU

Di bangku selatan paling belakang
apa yang kau ketik pada ketiak pagi, led lampu parau
suasana pucat, sengajakah membiarkan aku mematung
tertindas radiasi yang perlahan memprovokasi
tentu mengerti kepastian hidupku dalam tubuhmu
gak usah ragu, goresan itu seperti mengubur melati di batang hari

Surat itu membawaku ingin pulang ke dusun ibu
meneriakkan kegagalan sepanjang bus melaju
sekaligus mungkin sesampai di kawasan kupusarakan amuk
bergoncang dan berlendir, sakit yang teramat lampau
di sisi berbeda bingung. haruskah kukabarkan pada ibu
dimukanya terlancap harapan. besar. tinggi melangit
–tak mungkin!

Surat itu pula mengajakku mengunci paraf pintu
menutup rapat segala penyebab arus, mengecilkan hidup
menyempitkan ceruk suara. Tafakkur yang tak terurus
mustahil kubanggakan anyir keraktermu yang berubah bentuk
sedemikian amis ego tangan melampiaskan tutur rindu yang kuemban

Aduh, pulang atau mengunci saraf pintu
bukan tahapan menutup keruwetan
justru memarkir letupan api di lahan gersang
tak mungkin, kulanjutkan hidup sekedar untuk bunuh diri

Madura, Januari 2022

 

 

JOKO RABSODI, lahir di Pamekasan, 11 Juni 1981. Santri yang mengabdi di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Menulis fiksi dan non fiksi.
Puisi dan cerpennya tersiar di sejumlah media nusantara baik cetak maupun daring.

Related posts

Leave a Comment

fifteen − three =