CERPEN 

Batu Keramat Sang Wartawan

Cerpen Supadilah Iskandar ________________________________________________________________

 

Sekitar dua puluh tahun umur saya waktu menyimak ucapan Ayah perihal jodoh. Walaupun saya selalu menjaga jarak dengannya, tapi harus saya akui bahwa saya toh tidak memiliki hubungan darah dengan siapapun kecuali dengan orang tua sendiri. Karena itu, ketika dia menyatakan bahwa “jodoh itu sudah ada yang ngatur”, kata-kata itu seakan melekat kuat dalam ingatan saya.

Kata-kata Ayah disampaikan dengan penuh keyakinan, meski terkadang saya agak sangsi apakah Ibu memang benar-benar jodoh Ayah yang sudah diatur dari sononya. “Sebanyak apapun laki-laki mengenal perempuan, pada waktunya dia akan berjumpa dengan jodohnya,” begitu tambah Ayah.

Ketika beranjak dua puluh tiga tahun, saya pun meninggalkan rumah untuk bekerja di Jakarta. Tak berapa lama, saya sempat mengenal akrab dengan beberapa perempuan, dan satu-dua dari mereka pernah saya anggap sebagai jodoh yang sejati. Namun, sebelum saya mengungkap perasaan secara konkret, karena memang butuh waktu untuk menyatakan keseriusan, tahu-tahu si perempuan keburu menikah dengan orang lain. Dan dalam tempo satu tahun, dia sudah punya momongan.

Saat itu juga, saya menghapus nama perempuan itu dalam daftar yang kemungkinan akan menjadi jodoh yang katanya sudah diatur itu. Maka, saya pun berusaha mengendalikan diri, mengenyahkan pikiran-pikiran tentang perempuan yang sudah jadi ibu, sambil menghibur diri bahwa dia barangkali bukan jodoh saya yang sejati.

Setelah itu, tiapkali saya mengenal dan akrab dengan perempuan baru, lagi-lagi terbersit dalam pikiran saya: Inikah perempuan yang menjadi jodoh itu? Meskipun, pertanyaan semacam ini selalu saja menjadi dilema, tetapi terus saja diselimuti berbagai teka-teki, untuk apakah saya harus membuang-buang waktu dan kesempatan, kalau toh pada akhirnya saya dipertemukan juga dengan jodoh yang sejati. Tetapi, sebagai pemuda yang selalu berseberangan paham dengan orang tua, saya tidak serta-merta pasrah pendapat mereka, lalu berpangku tangan untuk mengharap jodoh tiba-tiba jatuh gratis dari langit.

Di sisi lain, bilamana saya mengenal akrab dengan seorang perempuan baru, kemudian saya menyadari sesuatu tentang sikap dan kepribadiannya yang kurang sreg, maka dalam hati segera ada penolakan secara otomatis. Lama kelamaan, hal seperti ini telah membentuk pola tersendiri. Sehingga, ketika saya harus mengakhiri hubungan dekat dengan perempuan, tak pernah ada keributan atau percekcokan yang tak masuk akal. Karena, saya memang tak pernah mau melibatkan diri terlalu jauh untuk mengakrabi perempuan yang memang dalam hati sudah ada penolakan terhadapnya.

Hanya beberapa bulan setelah lulus kuliah, saya sempat bertengkar sengit dengan Ayah, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi dan bekerja di Jakarta. Tetapi, kata-kata Ayah perihal jodoh itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran saya. Tanpa pernah menerima penjelasan lebih jauh, teori itu telah terpateri membentuk bayangan tersendiri yang menghantui perjalanan hidup saya.

Perempuan berikutnya yang saya kenal akrab, justru lebih tua dari saya. Namanya Mira Mafaza. Dia tiga puluh satu tahun, sedangkan saya baru menginjak tigapuluh. Saat pertama kali jumpa di Taman Ismail Marzuki, Mira mengenakan sweater hitam dan celana jeans, dengan rambutnya yang terurai panjang hingga bahu. Yang terlintas di benak saya ketika pertama kali berkenalan dengan Mira: Ini dia jodohku yang katanya sudah diatur dari sononya, sosok wanita dengan postur tinggi dan mengagumkan.

“Teman saya di sebelah sana bilang bahwa kamu adalah penulis, benar kan?” tanya Mira pada saya yang sedang menyesap teh manis di suatu gerai makanan di lapangan Taman Ismail Marzuki.

Saya tidak menjawab, hanya melirik sepintas ke arah temannya, yang saya tidak mengenal entah siapa. Kemudian, lanjut Mira lagi, “Sudah berapa buku yang kamu tulis?”

“Hanya satu novel dan dua kumpulan cerpen,” jawab saya singkat.

Sejak saat itu kami mulai berkenalan. Katanya, dia diajak temannya nonton pertunjukkan film di twenty one TIM. Sepintas ia merasa tertegun melihat saya dari kepala hingga ujung kaki. Sambil menyunggingkan senyumnya, ia pun berkata bahwa dirinya sangat senang berkenalan dengan seorang penulis.

“Tapi maaf,” kata saya lagi, “sebab penulis itu bukanlah bakat yang bisa dipertontonkan…”

“Maksudnya?” tanya Mira antrusias.

“Maksud saya bukan seperti penyanyi, pelukis, komedian atau pemain sulap yang bisa menampilkan keahliannya di muka umum. Sedangkan penulis, apa yang bisa ditunjukkan?”

“Tapi saya bisa menangkap adanya aura tersendiri, bahwa kamu adalah seorang seniman,” katanya sambil mengamati postur saya erat-erat. “Maksud saya semacam cahaya artistik yang tak bisa ditemukan pada orang biasa.”

“Sebenarnya saya sering ngaca di rumah, tetapi saya kok enggak pernah menemukan aura itu, ya?”

Mira tertawa sambil menjentikkan jari-jemarinya pada gelas juice mangga, lalu katanya lagi, “Maaf, apakah saya pernah mendengar nama kamu akhir-akhir ini?”

“Apakah kamu pernah membaca karya-karya sastra, seperti cerpen atau novel?” kata saya balik bertanya.

“Sesekali pernah melalui daring, seperti di Kabar Madura, Litera, Solopos, juga Kompas.”

“Kalau begitu, kemungkinan besar kamu pernah membaca salah satu dari karya saya. Tapi secara umum, sebenarnya saya kurang begitu dikenal.”

Ketika berdiri, Mira lebih tinggi dari saya, mungkin hanya beberapa senti. Lengan sweater-nya digulung hingga siku. Di balik sweater itu, ia mengenakan blus katun dengan kancing biru di bagian kerahnya. Ia tampil bergaya, dan dari penampilannya menunjukkan seakan ia seorang individualis yang berprinsip. Hal itu membuat segala sesuatu darinya terasa hidup dan unik. Tiga garis paralel nampak pada keningnya saat ia berhenti bicara untuk memikirkan sesuatu. Bagi saya, Mira adalah sosok yang amat memompa adrenalin, mengirimkan sinyal-sinyal rahasia dalam bentuk kilatan fajar pagi. Lagi-lagi muncul pertanyaan itu dalam kalbu saya: Apakah dia benar-benar wanita yang menjadi jodohku?Ataukah ia akan menjadi kegagalanku yang kesekian kali?

“Untuk menjadi seorang profesional, seseorang harus berani memulai dari titik nol. Sepertinya, kamu sudah memiliki masa depan yang jelas.” Mira menghela napas, menghirup juice di tangannya, dan tanyanya dengan mata berkaca-kaca, “Sekarang berapa umurmu?”

Nah, pertanyaan yang mantap (pikir saya). Itulah ketika kami saling bertukar informasi mengenai umur, fakta menunjukkan bahwa Mira tidak merasa kikuk dan canggung. Dan terus terang, saya memang lebih suka perempuan yang lebih tua, karena dalam banyak kasus, laki-laki akan merasa aman ketika harus berpisah dari perempuan yang lebih tua darinya.

“Lalu, apa pekerjaanmu?” saya balik bertanya.

Bibir perempuan itu membentuk sebuah garis lurus, dan raut mukanya tampak serius untuk pertama kalinya. “Ayo tebak, kira-kira apa pekerjaan saya?”

Saya menatap wajah Mira dengan konsentrasi penuh, berharap menemukan semacam petunjuk rahasia di sana. Tak lama kemudian, saya pun berkata, “Baiklah, saya kira, kamu seorang profesional dalam hal tertentu…”

“Oya, dalam hal apa?”

“Dalam hal tertentu yang tak banyak orang lakukan…”

“Lebih spesifik lagi?”

“Berhubungan dengan fashion?”

“Bukan.”

“Artis?”

“Juga bukan.”

Saya menggeleng dan menarik nafas, lalu tebak saya lagi, “Oke… kulitmu cokelat, postur tubuhmu tinggi dan atletis. Mungkin kamu melakukan olahraga-olahraga di luar ruangan. Rasanya tak mungkin kamu seorang karyawati atau pegawai PNS?”

Kami terdiam sejenak. Dengan pandangan menerawang, Mira berkata, “Sebenarnya, apa yang saya kerjakan, pada dasarnya tak begitu jauh dengan apa yang kamu kerjakan juga.”

“Tak begitu jauh, bagaimana?”

“Maksud saya, apa yang saya lakukan saat ini adalah apa yang memang ingin saya lakukan sejak dulu, bahkan sejak masih kanak-kanak. Seperti halnya kamu, untuk bisa mendapatkan profesi sebagai sastrawan, tentu bukanlah sesuatu yang jatuh gratis dari langit.”

“Ya, apa-apa yang kita lakukan memang bukan perkara kenyamanan saja, tetapi apakah kita mencintai pekerjaan itu ataukah tidak?”

“Ya, itulah yang saya maksudkan…”

“Tapi, apakah saya pernah mendengar nama kamu?”

“Mungkin tidak,” jawab Mira menggeleng. “saya tidak seterkenal kamu tentunya.”

“Yah.. . barangkali benar, setiap orang harus memulai dari titik nol.”

“Ngomong-ngomong,” cetus perempuan itu, “kamu sudah menikah?”

“Belum.”

“Atau pernah?”

“Belum juga,” sambil menggeleng.

***

Hari Sabtu saya menghubungi Mira, dan kami menyantap baso bersama setelah menonton film di bioskop. Kami mengobrol selama beberapa jam di rumah kontrakan saya, setelah itu ia pamit karena harus bertemu dengan beberapa kawannya. Seminggu kemudian, saya mengajaknya menonton pertunjukan teater di Gedung Kesenian Jakarta, kemudian mengobrol di sebuah restoran Padang. Tak berapa lama, dia segera pamit, dengan alasan harus berangkat kerja. Saat itu, saya masih juga belum bisa menebak, pekerjaan apa yang dilakukan Mira selama ini.

Biarpun mengobrol selama beberapa jam, kami tak pernah kehabisan topik untuk diperbincangkan. Mira orang yang cerdas dan berpengetahuan luas. Dia juga suka membaca, meski lebih menyukai buku-buku non-fiksi seperti sejarah, biografi, antropologi, juga mengenai musik dan olahraga. Suatu hari, Mira membaca buku kumpulan cerpen saya yang pernah terbit oleh suatu penerbit independen di Rumah Dunia, Banten. Menurut dia, cerita-ceritanya menarik. Padahal, semula saya merasa cemas kalau-kalau dia tak menyukai tulisan-tulisan itu. Tapi rupanya, kecemasan saya tak beralasan.

“Benar dugaan saya, bahwa kamu memang memiliki bakat yang spesial. Cerpen-cerpenmu memang asyik, gaya bahasanya lancar dan benar-benar merakyat, sangat Indonesia. Bagi saya, ending-ending yang kamu tulis juga cukup seimbang dan proporsional. Kadang saya merasa jengkel kalau membaca cerita yang endingnya gak jelas. Itulah yang menyebabkan saya lebih cenderung pada buku-buku biografi atau sejarah, ketimbang karya fiksi.”

“Menurut saya, banyak juga karya-karya fiksi yang endingnya menarik dan proporsional?”

“Tapi saya sering menemukan karya-karya terjemahan dari penulis Eropa yang endingnya tak selaras dengan pesan-pesan ketimuran, itulah yang saya enggak suka.”

Mira terdiam, dari rautmukanya seperti mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan, tapi kemudian dia tersenyum sambil berkata, “Sepertinya saya menangkap rencana besar di kepalamu, bahwa nanti akan menulis novel panjang, yang membuat kamu menjadi semakin hebat dan terkenal. Tentu ini bukan pekerjaan mudah, tapi kayaknya kamu bakal bisa deh.”

“Ah, enggak juga. Saya sudah keranjingan menulis cerpen akhir-akhir ini. Tapi kalaupun menulis novel, itu pun enggak sampai panjang banget.”

Mira tidak membalas ucapan saya. Sebenarnya, apa yang dikatakannya itu benar adanya. Tapi sudah beberapa kali saya mencoba menulis novel, namun akhirnya mogok juga di tengah jalan. Di era pandemi Covid-19 ini, saya kurang bisa fokus saat menulis. Ada saja gangguannya. Sedangkan novel harus ditekuni pada saat kita mampu menjaga konsentrasi dalam waktu yang cukup lama. Kadang-kadang saya merasa yakin akan sanggup melakukannya. Cerita mengalir di kepala, semangat juga menyala-nyala, tapi ketika melangkah di tengah jalan, intensitas semangat tiba-tiba mengendur. Bagaikan mesin yang kehilangan kecepatan, merosot drastis, mogok di tengah jalan, hingga kesulitan untuk mencapai perhentian.

“Sepertinya ada perempuan lain di hatimu, yang tidak saya ketahui, apakah benar?” kata Mira tiba-tiba.

“Kok tahu?” tanya saya kaget.

“Ayo, terus terang, kamu suka perempuan lain, kan? Saya cukup sensitif lho membaca hal-hal semacam ini?”

Mira meminum teh, dan melirik ke wajah saya. Ia menggerakkan jemarinya dan menggerai rambutnya, kemudian saya pun memancingnya apakah dia serius menyukai saya atau tidak.

“Kenapa saya mau diajak jalan-jalan kalau saya tidak suka?”

“Siapa tahu cuma pura-pura?”

“Oke, dengarkan, saya senang sama kamu, dan merasa asyik jalan-jalan dengan kamu… tapi itu bukan berarti kita harus hidup bersama, iya kan?”

“Kok begitu?” pancing saya.

“Kenapa? Apakah mengganggu perkataan seperti itu?”

“Agak mengganggu.”

“Saya tak bisa punya hubungan serius dengan satu laki-laki. Saya ingin fokus pada apa yang saya kerjakan saat ini. Karena itu, saya tak bisa mempertahankan ikatan emosional dengan seseorang. Saya ingin kita menjadi kekasih saja seperti ini, paham kan?”

“Karena khawatir mengganggu keseimbangan untuk mengejar profesimu?”

“Ya,” jawabnya jujur.

“Meskipun kamu tak pernah memberitahu apa profesimu?”

“Ya,” ia pun tersenyum.

“Jangan-jangan kamu itu teroris atau perampok bank?” canda saya.

“Kalau saya teroris, kenapa juga bisa nyambung dengan orang sepertimu?”

“Lalu, apa dong?”

Mira terdiam sesaat, menggeser duduknya, dan katanya mengalihkan pembicaraan, “Lebih baik kita bicara soal karya terbarumu saja. Apa yang sedang kamu tulis sekarang ini?”

“Cerpen,” jawab saya singkat.

“Coba ceritakan, cerpen tentang apa lagi? Saya pengen denger.”

“Saya sedang cari ancang-ancang untuk mencapai ending.”

“Jadi, belum ada endingnya? Kenapa?”

“Belum ada petunjuk, sekarang saya sedang mengambil jeda.”

“Kalau begitu, tolong ceritakan pada saya kalau jedanya sudah selesai.”

“Oke, siap.”

Ketika menulis cerpen atau novel, saya memang punya aturan sendiri untuk tidak menyampaikan cerita itu pada siapapun. Sebab, kalau saya bicarakan, bisa membuat cerita jadi kabur dan kacau. Makna yang semula dalam bisa berubah menjadi dangkal dan hambar. Bagi saya, rahasia harus tetap menjadi rahasia. Tetapi, di hadapan Mira sepertinya terbersit maksud dan keinginan untuk bicara apa adanya. Bahkan, tak jadi soal mengutarakan cerita yang sedang saya tuliskan. Bagi saya, hanya Mira Mafaza yang bisa mengubah paradigma dalam soal ini. “Apakah benar wanita ini adalah jodohku?” lagi-lagi pertanyaan itu mengebor terus di kepala saya.

“Begini ceritanya,” saya pun membetulkan posisi duduk. “Cerpen ini mengambil sudut pandang dari orang ketiga. Tokoh protagonisnya adalah perempuan. Sekitar 33 umurnya. Namanya Poppy Ratnasari. Dia masih sendirian, tapi punya hubungan gelap dengan seorang wartawan senior. Lelaki itu sudah menginjak 50-an, dan dia punya seorang istri dan tiga anak.”

“Wanita simpanannya itu cantik enggak?”

“Tentu saja Poppy lebih cantik dari istrinya, tapi saya kira, kamu lebih cantik dari keduanya.”

“Jawabanmu agak klise, tapi saya suka mendengarnya.” Mira tersenyum manis, seakan membayangkan tokoh protagonis itu.

“Saya memang ahli dalam soal menjawab hal-hal semacam itu,” kata saya mantap.

“Terutama pada saat butuh, iya kan?”

“Kira-kira seperti itulah,” sahut saya. “Jadi, pada suatu hari libur, si wartawan jalan-jalan sendirian di daerah Ujung Kulon, daerah Banten Selatan. Dia menginap di sebuah hotel, lalu pagi harinya menuju hutan untuk menyaksikan badak bercula satu. Ketika lebih dalam melangkah ke area hutan belantara, tiba-tiba dia menemukan sebuah batu kecil berbentuk kotak, namun amat licin di permukaannya. Warnanya hitam dengan sedikit warna merah delima. Bentuknya sangat familiar dengan imajinasinya. Dalam sekejap saja, ia menyadari bahwa bentuk batu itu seperti sebuah kamera kecil, sebesar kotak korek api, lengkap dengan bulatan lensa di tengahnya. Segala hal tentang batu itu tampak seperti kamera betulan.”

“Lalu, dia kantongi dan membawanya ke rumah?” seloroh Mira.

“Ya,” jawab saya, “Dia membawanya ke kantor redaksi, dan seringkali dia terpesona pada batu itu melebihi kekasih yang paling dicintainya…”

“Dasar wartawan sableng pemuja takhayul.”

Saya terdiam dan melihat reaksi Rima, lalu tanya saya, “Dari mana kamu bisa menebak seorang penulis atau wartawan itu percaya takhayul atau tidak?”

“Tentu saja dari tulisan-tulisannya, cerdas atau dangkal?”

“Oke, saya mengerti,” tanggap saya, “lalu, dia taruh batu itu di atas meja redaksi untuk menindih naskah-naskah yang masuk, baik melalui pos maupun printing email. Tapi, beberapa minggu kemudian dia merasakan adanya sesuatu yang janggal pada batu itu…”

Mira terdiam menunggu. Saya mengambil jeda untuk menguji kepekaan Mira pada sesuatu yang bersifat takhayul. Tapi hebatnya, dia seperti tak terpengaruh. Padahal, saya baru sampai pertengahan, dan pada titik itu saya merasa kesulitan untuk meneruskan. Tak lama kemudian, saya angkat bicara lagi, “Tapi anehnya, setiap pagi setelah wartawan senior itu membuka pintu kantor redaksi, selalu saja dia menemukan batu itu berpindah tempat. Kadang-kadang di atas kursi, keesokannya di samping teve, lalu esok lusa tiba-tiba ada di atas box arsip. Padahal, wartawan itu seorang metodis, yang selalu menaruh segala sesuatu pada tempatnya. Kalaupun ada buku yang letaknya miring sedikit, ia akan segera membetulkannya. Tadinya dia mengira-ngira, barangkali saja lupa menaruh batu itu. Tapi kemudian ia berpikir, seolah memorinya sedang mengecoh dirinya. Padahal, pintu selalu terkunci ketika dia meninggalkan kantor redaksi. Meskipun satpam memiliki kunci cadangan, tetapi selama bertahun-tahun tak pernah ada satpam berani memasuki ruang kerjanya. Lagipula, ngapain juga satpam masuk hanya untuk memindahkan sebuah batu yang ia gunakan sebagai penindih kertas? Segala sesuatu yang ada di kantor itu serba utuh, rapi di tempatnya, juga tidak ada yang hilang. Hanya batu itu saja yang posisinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jadi menurut kamu, kira-kira apa yang menyebabkan batu itu selalu berpindah?”

“Mana saya tahu? Kamu sendiri yang mengarang cerita?” protes Mira.

“Kira-kira apa pendapatmu, dari sudut pandang wanita?”

“Saya kira sama saja… takhayul ya takhayul… biarpun dari sudut pandang lelaki atau perampuan. Tapi barangkali, batu itu sedang mengecoh perhatian si wartawan.”

“Lalu, kepentingannya apa?”

“Mana saya tahu? Mungkin dia pengen viral dan menggemparkan dunia?” katanya sambil ketawa.

“Saya serius, Mira, kira-kira bagaimana kamu memandang fenomena seperti ini?”

“Fenomena apaan, Bung? Kamu sendiri kok yang mengarang cerita itu?”

“Maksud saya, dari sudut pandang kamu sendiri?”

“Begini,” Mira menggeser duduknya, “kamu boleh-boleh saja menghidupkan batu kamera itu semaumu, karena saya juga pernah membaca cerpen tentang penyair yang sudah wafat di Kabar Madura, tapi faktanya penyair itu masih hidup…”

“Penulisnya sendiri yang menghidupkan?”

“Bukan, tapi ada penulis lain yang menghidupkan tokoh itu, hebat kan?”

***

Plot cerita yang saya tulis mandek di tengah jalan. Selama berhari-hari. Kecuali jika saya duduk di kursi dan menghadap laptop, kalimat demi kalimat akan berjalan dengan sendirinya. Mira berjanji akan menunggu hasil akhir dari cerita yang saya tuliskan itu. Menurutnya, cerita itu menarik. Di tengah malam saya selalu terbangun, merangkai susunan kata dan kalimat yang kemudian samar dan kehilangan wujud, lalu meresap ke dunia bawah sadar. Apakah batu itu serupa dengan angin yang mempunyai alasan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain? Lalu, siapa pula yang menggerakkan angin itu, baik yang sepoi-sepoi menyejukkan, maupun badai angin topan dan puting beliung yang meluluhlantakkan?

Sepintas batu itu seperti benda-benda di sekeliling kita, yang seakan mengenal akrab dengan diri kita. Dan yang bisa kita lakukan hanyalah mengikuti arus sebagaimana tokoh dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Selama kita mengikuti arus kencang itu, maka kita selalu bertahan dan terus bertahan.

Selama beberapa hari saya duduk-duduk di kursi, dan berusaha merampungkan cerita itu. Batu itu membuat sang wartawan terus terpancang memerhatikannya. Kadang bahkan mengusiknya dari waktu ke waktu. Ketika wartawan itu sedang kencan dengan Poppy wanita simpanannya, perempuan itu meraba-raba batu kamera yang selalu berada di kantong celananya. Batu itu seperti mata-mata atau informan yang ia sendiri ingin membenamkannya di tubuh sang kekasih. Ketika ia menggenggam batu itu, ia terasa menggeliat seperti serangga, mengirim semacam pesan kepadanya. Ia coba menafsirkan pesan itu dengan caranya sendiri.

Lambat laun, wartawan itu semakin akrab dengan batu kamera itu. Ia semakin menerimanya sebagai sesuatu yang alami dan biasa-biasa saja. Ia tak lagi terkejut ketika menemukan batu itu terus bergerak sepanjang malam. Ketika ia tiba di kantor ia akan menemukan batu itu berada di tempat lain, lalu ia mengambilnya dan meletakkannya kembali di atas meja. Hal itu menjadi semacam rutinitas, dan batu itu sepertinya hanya bergerak di malam hari saja, ketika ia meninggalkan kantor redaksi. Tetapi, ketika ia sedang sibuk-sibuknya di kantor, batu itu terdiam layaknya seekor kucing belang yang tergolek di depan pintu. Dan ketika kantor itu ditinggalkan penghuninya, ia mulai terbangun, bergerak dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kapan pun si wartawan punya waktu luang, ia mengambil batu itu dan meremas-remas permukaannya yang licin dan gelap. Lama kelamaan, dia merasa kesulitan untuk mengalihkan pandangannya dari batu yang teramat dicintainya itu. Seakan ia kehilangan minat pada hal-hal lain. Ia mulai enggan membaca buku, malas berolahraga, bahkan kehilangan nafsu makan. Energi dan konsentrasinya tercurahkan pada benda yang disayanginya itu, hingga ia kehilangan minat untuk bercakap-cakap dengan rekan-rekan wartawan lainnya.

Ia pun menjadi acuh tak acuh dengan Poppy, wanita simpanannya, hingga kekasihnya itu menjadi kesal dan jengkel dibuatnya. Ketika tak ada seorang pun di sekitarnya, ia bicara bersama sang batu dengan suara keras, bahkan ia menyimak kata-kata yang diucapkan sang batu kepadanya. Ya, batu berbentuk kamera itu, telah mengusik kedalaman pikirannya, membuatnya selalu bergantung, serta mengontrol jalan hidupnya secara lebih ketat lagi.

Ketika saya melanjutkan cerita itu, seketika saya teringat Mira Mafaza. Perempuan itu seakan ikut mendorong cerita yang saya tulis, apakah akan berakhir dengan tragedi yang absurd ataukah tidak. Kemudian, saya membayangkan sang wartawan yang akan mengakhiri hubungan gelapnya dengan Poppy, yang boleh jadi wanita itu akan membenci lelaki itu dan membuat perkara di kemudian hari.

Pada hari libur berikutnya, sang wartawan menaiki kapal ferry di pelabuhan Pulomerak, kemudian dari dek kapal ia lemparkan batu berbentuk kamera itu ke tengah laut. Batu itu tenggelam ke dasar laut yang gelap. Ia pun mengatur ulang langkah hidupnya, mulai dari titik nol. Usai membuang batu itu, ia merasa seberkas cahaya mulai bersinar dalam kalbunya.

Segera setelah menyelesaikan cerita itu, saya menelepon Mira, dan memastikann bahwa ia mau membaca cerita saya. Tapi sayang, panggilan telepon tak tersambung. “Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar,” ujar si operator. “Silakan periksa kembali nomor yang Anda hubungi.”

Saya tetap menunggu di rumah kontrakan, sehari, seminggu, bahkan berbulan-bulan. Tak ada kabar berita mengenai Mira sama sekali. “Ah, sudahlah, barangkali dia bukan jodohku,” pikir saya setengah frustasi.

***

Rasa sakit dan getir yang dirasakan akibat lenyapnya Mira, ternyata lebih kuat daripada yang pernah saya bayangkan. Perempuan itu meninggalkan ruang kosong yang benar-benar mengusik jalan hidup saya. Di beberapa waktu dan tempat, kadang pikiran ini bergumam sendiri, “Ah, seandainya dia ada di sini.” Saya begitu merindukan senyumnya, serta kata-kata yang keluar dari bibirnya yang merekah. Kini, segala sesuatunya terasa berjarak, nampak begitu jauh dan mustahil untuk digapai.

Beberapa minggu setelah memasuki tahun baru Masehi, bertepatan pula dengan Muharam, tahun baru Islam. Saya menerima honor dari cerpen yang tayang di majalah sastra beberapa hari menjelang tahun baru Masehi. Tapi kemudian, terketuk dalam hati untuk menyumbangkan honor itu bagi puluhan anak yatim piatu di kantor kelurahan. Cerpen itu sengaja saya beri judul “Batu Kamera” yang kemudian ditayangkan pula melalui media daring.

Sepulang dari kelurahan untuk menghadiri acara santunan bagi yatim-piatu, tiba-tiba ponsel saya berdering. Setelah saya lihat nomornya, saya pun terperanjat kaget. “Mira! Ke mana saja? Berkali-kali saya hubungi kok tidak nyambung?”

“Maaf, saya lagi sibuk, ada acara di Bali. Tapi saya sudah baca cerpen kamu kok di internet, dan saya senang ketika kamu memutuskan untuk melempar batu kamera itu ke tengah laut. Boleh saya tahu alasannya?”

“Ya, batu itu hanya akan jadi parasit yang merusak mental sang tokoh. Ternyata, wartawan itu tidak gagal paham setelah menyaksikan film Korea berjudul Parasite. Ia semakin terperangkap dalam dunia bawah sadar, dan membuatnya kurang peka menggunakan akal sehat dan hati nuraninya.”

“Oke, saya sepakat. Dan saya percaya kalau kamu termasuk salah satu penulis yang tidak percaya takhayul. Untuk itu, saya ingin sekali menghubungi kamu tetapi, maaf, selama beberapa minggu ini ponsel saya hilang, jadi saya kesulitan untuk menelepon…”

“Acara apaan di Bali?” tanya saya kemudian.

“Pertandingan bulutangkis, dan sekarang saya perlu menyampaikan bahwa saya telah bergabung dengan tim bulutangkis nasional setelah saya menang di tingkat provinsi tiga minggu lalu.”

“Oke, selamat dan sukses… akhirnya saya tahu juga profesi kamu yang sebenarnya…”

“Bisakah kamu menjemput saya di Bandara Soekarno-Hatta esok lusa?”

“Tapi sebaiknya kita minum kopi dan makan baso dulu di bandara, sambil ngobrol-ngobrol yang lebih serius mengenai masa depan kita. Bagaimana, apakah kamu sudah mengubah paradigma tentang kehidupan rumah-tangga?”

“Ya, saya sudah mengerti.”

“Apakah siap membangun masa depan bersama, sambil terus memacu profesi kita?”

“Oke, saya siap.”

Sejak itulah, kami memulai hidup baru setelah sowan ke rumah orang tua kami. Dan ketika menatap wajah Ayah dan mencium tangannya, saya pun berkata, “Saya mohon doa restunya, Yah, semoga Mira benar-benar menjadi jodoh yang terbaik.”

Akhirnya, berkat kegigihan, dukungan dan doa-restu dari orang tua, Mira Mafaza dapat melaju untuk bersaing di tingkat internasional, setelah tahun ini berhasil memenangkan pertandingan bulutangkis dalam Pekan Olahraga Nasional. (*)

***

 

Supadilah Iskandar, penulis prosa dan esai. Tulisannya telah disiarkan pelbagai media baik lokal atau nasional serta cetak atau daring.

Related posts

Leave a Comment

20 − seven =