ESAI 

MENDAYUNG SASTRA KE ERA INDUSTRI 4.0

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda

____________________________________________________________________

 

Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Adagium yang popular dan sempat menginspirasi lagu pop “Tak Ada yang Abdi”  Peterpan itu cukup pas untuk menggambarkan fenomena kehidupan manusia, masyarakat, termasuk kehidupan sastra, dewasa ini. Dan, perbuhan itu terasa begitu cepat, seakan kehidupan manusia, kehidupan masyarakat, kehidupan sastra, dihadapkan pada “abad yang berlari” – pinjam judul kumpulan puisi Afrizal Malna.

————————————-

Ilustrasi diambil dari Darus.id

————————————

Tidak gampang mendayung sastra pada percepatan perubahan, yang dibawa oleh kemajuan teknologi informasi (TI), seperti itu. Sebelum sastra puas bermesraan dengan media cetak, dewasa ini media cetak rontok satu demi satu karena terimbas digitalisasi, dan digitalisasi kini sedang membawa masyarakat ke era industri 4.0, dengan perubahan budaya kerja (budaya berkarya), realitas peradaban, dan tantangan hidup yang serba baru. Penyair Afrizal Malna mengabarkan abad yang berlari, waktu yang berlari, waktu yang tak mau berhenti, itu secara cukup mengesankan dalam kutipan puisi sbb.

 

ABAD YANG TERUS BERLARI

 

Palu.

Waktu tak mau berhenti, palu.

Waktu tak mau berhenti.

Seibu jam menunjuk waktu yang beda berbeda.

Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.

 

Orang-orang nonton televisi, palu.

Nonton kematian yang dibuka dijalan-jalan,

telah bernyanyi bangku-bangku sekolah,

telah bernyanyi di pasar-pasar,

anak-anak kematian yang mau merubah sorga.

Manusia sunyi yang disimpan waktu.

 

Palu.

Peta lari berlarian dari kota datang dari kota pergi,

Mengejar waktu, palu.

Dari tanah kerja dari laut kerja dari mesin kerja.

Kematian yang bekerja dijalan-jalan, palu.

Kematian yang bekerja dijalan-jalan.

 

Dada yang bekerja di dalam waktu.

 

Dunia berlari, dunia berlari

Seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

 

(“Abad yang Berlari” karya Afrizal Malna)

 

Abad terus berlari, dan era terus berganti, menerobos ke depan. Setelah meninggalkan era 3.0, masyarakat kini memasuki era industri 4.0,[1]  era industri yang mengisyaratkan masyarakat akan sangat bergantung pada TI yang serba canggih. Dalam era tersebut perlindungan atau pengayoman sastra perlu mendapat perhatian ekstra, setidaknya ditingkatkan, mengingat era digital melahirkan ruang bebas tanpa batas yang memiliki dampak kebebasan berekspresi yang kadang-kadang cenderung anarkis.[2] Anarkisme estetik sangat mungkin terjadi dan mendorong karya sastra ditulis secara sembarangan dan kehilangan nilai-nilainya luhurnya.

Kenapa nilai-nilai luhur sastra perlu mempertahankan? Karena, karya sastra tidak akan bermakna tanpa nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Nilai-nilai luhur itu adalah ide, perasaan dan pikiran sang sastrawan, ide atau perenungan tentang ketuhanan, tanggapan terhadap lingkungan sosial dan alam, serta ide-ide tentang manusia serta kemanusiaan, yang perlu disampaikan kepada pembaca. Ide, pikiran dan perasaan, itu adalah sesuatu (something) yang membuat karya sastra menjadi bermakna. Karya sastra tidak akan ada artinya tanpa susuatu yang menjadi bobot, menjadi isi, karya sastra. Karena itulah, sesuatu itu perlu dipertahankan sebagai nilai-nilai luhur sastra. Karya sastra tidak ada gunanya tanpa nilai-nilai luhur, dalam istilah WS Rendra, hanya akan menjadi renda-renda, hiasan baju, yang jika dihilangkan tidak mengurangi makna baju itu.

Ide, pokok pikiran, atau sesuatu yang ada di dalam karya sastra itu ada yang prinsip-prinsipnya bersifat abadi. Misalnya, prinsip tentang ketuhanan, bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Baik, Maha Adil, dan seterusnya. Maka, prinsip tentang kebaikan, keadilan, kedermawanan, dan kasih sayang, bersifat abadi. Jadi, tidak sepenuhnya benar, jika dikatakan “tidak ada yang abadi”. Meskipun bentuk ekspresinya bisa saja berubah, karena tuntutan zaman. Sebuah cerpen atau novel tentang pentingnya keadilan dan kedermawahan, misalnya, bisa dutulis dengan konflik, plot, latar, dan penokohan yang luar biasa, agar tetap memikat pembaca di era digital atau era milenial.

Begitu juga denga puisi, ide tentang Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang bisa dikemas atau diekspresikan dalam tipografi, persajakan (rima), pencitraan (penggambaran), dan diksi (pilihan kata yang tepat) yang jauh lebih kreatif dan luar biasa menarik. Majas atau gaya bahasa yang menggambarkan pikiran dan perasaan penyair itu perlu dipilih diksi yang merupakan metafor-metafor baru, yang kreatif, menarik, dan indah, sesuai dengan cita rasa masyarakat milenial.

Aspek ekspresi, keelokan bungkus, keindahan luar, puitika, estetika, struktur cerita, itulah yang perlu berubah, mengikuti cita rasa masyarakat agar tetap  menarik. Tetapi, tentu tidak asal berubah. Tetap dengan pertimbangan yang matang dan kreatif, agar tetap hadir sebagai karya yang unggul. Sedangkan nilai-nilai luhurnya, tentang prinsip-prinsip ketuhanan, kebaikan, keadilan, kasih-sayang, bersifat abadi dan tidak berubah.

 

Ruang hidup baru

Era digital, yang mengawali era 4.0, memaksa semua karya sastra untuk didigitalisasi agar tetap bisa menjumpai pembacanya, masyarakat digital yang identik dengan generasi milenial. Inilah generasi yang digadang-gadang sebagai generasi masa depan dan bakal mengisi era industri 4.0, suatu generasi yang kesehariannya sangat bergantung pada TI, dengan teknologi komunikasi yang serba TI, seperti internet, dan sosial media (facebook dan twitter), serta platform-platform yang ada di telepon pintar (smart phone).

Kedekatan generasi milenial dengan TI, membuat platform sastra berubah, dan semuanya disajikan dalam format digital (didigitalisasi). Dengan begitu, penyebaran (pemasyarakaan) karya sastra dewasa ini tidak hanya bergantung pada majalah sastra, rubrik sastra di surat kabar, dan buku cetak. Tetapi sudah merambah ke internet dan smart phone, berupa blog sastra, laman sastra, sastra saiber, dan whatpad, yang memanfaatkan internet, serta aplikasi Novelme, Novel Toon, dan Go Novel  yang menafaatkan telepon pintar.

Ruang hidup konvensional karya sastra, seperti majalah sastra, halaman sastra surat kabar, dan buku sastra, juga terdampak digitalisasi. Majalah satra sudah habis tergilas digitalisasi media. Horison, yang terbit di Jakarta, sudah lama alih media ke edisi digital, dan sekarang sudah hilang. Annida yang menjadi persemaian para cerpenis muda, dan terbit di Jakarta, juga telah lama lenyap dari peredaran, setelah beberapa edisi terbit secara digital.

Surat kabar nasional, yang terbit di Jakarta, terutama rubrik sastranya, juga hilang satu demi satu. Suara Pembaruan, yang menyediakan rubrik sastra cukup luas, sudah tutup. Kompas tinggal menyediakan halaman cerpen. Begitu juga Republika dan Media Indonesia. Seakan mereka mengucapkan “selamat tinggal” pada puisi dan esei sastra. Untuk kedua kalinya karya sastra kehilangan “lahan” dari surat kabar. Majalah dan surat kabar, yang semula andalan karya sastra, melalui publikasi, pemasyakatan, dan pendokumentasian, kini tak bisa lagi diharapkan.

Dalam gelombang perubahan tersebut, sastra, karya sastra, harus didayung menerobos dinamika zaman. Paradigma pelestarian sastra, apresiasi, pengajaran, dan pemasyarakatan sastra harus diubah sesuai keadaan terkini. Buku, surat kabar, dan majalah, edisi cetak, tidak bisa lagi jadi andalan. Semua harus dipersiapkan dalam edisi digital, untuk menyapa masyarakat digital, agar tetap menjadi sumber inspirasi tentang kebenaran dan kebaikan bagi pembacanya.

Dengan nilai-nilai luhurnya, sastra tentu tetap diharapkan hadir sebagai sumber inspirasi pembangunan karakter, dan penghalus budi pekerti pembacanya, terutama generasi muda. Gererasi milenial, yang serba bergantung pada TI, diharapkan masih tersentuh oleh nilai-nilai sastra yang adiluhung dan dapat memperhalus budi pekerti mereka.  Meskipun tradisi penerbitan sisa era 3.0 (cetak) masih banyak kita temukan, masyarakat pembaca sudah diambang era 4.0. Suka tidak suka, generasi milenial juga harus masuk TI untuk menemukan karya sastra terkini, selain perlu tetap membaca buku sastra (cetak).

Dalam era 4.0, pengajaran sastra di sekolah tetap menjadi lini terdepan dalam pengembangan apresiasi sastra. Sebab, melalui pengajaran sastra, apresiasi sastra masyarakat mulai ditanamkan. Tinggi rendahnya apresiasi sastra masyarakat bergantung pada bagaimana pengajaran sastra dilaksanakan. Kalau apresiasi sastra di sekolah gagal diajarkan, kalau sikap apresiatif siswa gagal ditanamkan, akan gagal pula pembentukan masyarakat yang memiliki apresiasi tinggi pada karya sastra.

Guru sastra diharapkan berperan secara aktif dan kreatif, terutama dalam menyiasati media menjelang era industri 4.0. Di ruang kelas, dan di lingkup sekolah, mungkin kebutuhan siswa akan sastra bisa dipenuhi melalui buku pelajaran dan perpustakaan sekolah. Dengan catatan, jika tersedia perpustakaan sekolah yang memadai untuk itu.

Akan tetapi, dan inilah persoalannya, di luar sekolah, mereka adalah generasi milenial yang cenderung bebas dalam memanfaat berbagai media berbasis TI. Mereka akan menemukan karya-karya sastra di luar mainstream yang bertebaran di ruang maya, “ruang kehadiran baru” bagi karya sastra: media sosial (facebook, twitter), blog, web, dan berbagai aplikasi TI berbasis computer/laptop dan telepon pintar (smart phone). Mereka mungkin akan menemukan novel-novel yang seronok di WattPad, aplikasi Novelme, Go Novel, dan Novel Toon,[3] serta puisi-puisi yang tidak puitik di berbagai blog dan facebook. Tantangan guru sastra makin berat karena sistem panutan dan keteladanan sastra menjadi ambyar. Kiblat sastra, baik kiblat estetik maupun tematik, cenderung terpecah. Kanonisasi sastra dalam pendidikan juga makin sulit karena ambyarnya kriteria-kriteria sastra yang unggul.

Proses perubahan yang cepat menuju era industri 4.0 itu menuntut kita semua, khususnya pengajar sastra, untuk pandai bersiasat, terutama menyiasati media. Pengajar sastra juga harus tahu kira-kira media apa saja yang mungkin dikunjungi oleh siswa untuk membaca karya sastra. Jangan sampai di sekolah siswa diperkenalkan dengan karya sastra yang mendidik, yang edukatif, di luar sekolah mereka mengonsumsi karya  sastra yang cenderung merusak  dan tanpa sadar mereka terpengaruh olehnya. Di luar sekolah memang bukan tanggung jawab guru untuk mengontrol siswa sepenuhnya. Tapi, setidaknya, pengarahan dan penyadaran sangat penting bagi siswa untuk dapat memilih karya sastra yang edukatif, sesuai dengan jenjang usia mereka, agar siswa memiliki daya tahan terhadap perubahan zaman.

 

Perlindungan sastra

Bagaiman dengan pengayoman sastra? Pengayoman, menurut KBBI daring, adalah proses, cara, atau perbuatan mengayomi.[4] Kata lain pengayoman adalah perlindungan. Menurut Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, pengayoman berarti pembelaan, penjagaan, penjaminan, pengayoman, pengawalan, penyelamatan.[5] Kata “mengayomi sastra” bisa dimaknai sebagai melindungi karya sastra dari kepunahan (pelestarian), melindungi karya sastra dari penurunan kualitas baik kualitas estetik maupun kualitas tematik, melindungi karya sastra dari kemandegan produksi, melindungi karya sastra dari kesembarangan (anarki), serta melindungi karya sastra dari pembajakan dan plagiarisme.[6]

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, pasal 41 ayat (1), disebutkan bahwa Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan.[7]

Di dalam UU tersebut jelas bahwa pengayoman (perlindungan) sastra merupakan kewajiban Pemerintah, dan pemerintah mendelegasikan kewajibannya kepada lembaga kebahasaan, dalam hal ini Badan Bahasa Kemendikbudristek RI. Pasal tersebut ditutup dengan ayat (3) yang menjelaskan behwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kemudian, pada tahun 2018, terbitlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebahasaan dan Kesastraan.[8]  Pada pasal 3 dan 5 Permendikbud dijelaskan, bahwa “pengembangan sastra adalah upaya mengembangkan mutu sastra melalui penelitian sastra, pengembangan ilmu sastra, dan kodifikasi sastra” (pasal 3). ”Pembinaan Sastra adalah upaya membina mutu apresiasi sastra masyarakat melalui pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan” (pasal 5). Khusus tentang pengayoman sastra ada pada pasal 7 yang berbunyi, “Pelindungan sastra adalah upaya melindungi kedudukan dan fungsi sastra sebagai sarana aktualisasi nilai-nilai kehidupan melalui pemetaan sastra, penelitian vitalitas sastra, konservasi sastra, dan revitalisasi sastra.”[9]

Meskipun baru disahkan tahun 2009, dan Permendikbud tentang kebahasaan dan kesastraan baru terbit tahun 2018, pengayoman sastra sesungguhnya bukan tugas baru bagi lembaga pemerintah yang wilayah kerjanya bersentuhan dengan sastra. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Badan Bahasa secara berkala juga mengadan berbagai kegiatan sastra, seperti Musyawarah Sastrawan Indonesia (Munsi), Festival Musikalisasi Puisi, Bengkel Sastra, penerbitan buku antologi karya, jurnal, dan pengiriman sastrawan ke daerah untuk menulis karya sastra.

Berbagai kegiatan yang bernuansa pengayoman sastra juga juga telah dilaksanakan oleh komunitas-komunitas sastra dan lembaga-lembaga penerbitan. Di Banten, misalnya, ada Rumah Dunia[10] dan Litera.[11] Sementara itu, di Jakarta ada Yayasan Hari Puisi (YHP),[12] Teras Budaya, surat-surat kabar nasional yang menyediakan rubrik sastra; dan usaha-usaha penerbitan buku, seperti Gramedia, Balai Pustaka, Republika, dan Pustaka Obor, yang banyak menerbitkan buku sastra.

Era digital, dan masuknya masyarakat ke era indutri 4.0 mengisyaratkan perlunya aktivitas dan sistem pengayoman sastra yang berbada, sesuai dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Kehadiran lembaga pemerintah, terutama Pusat Bahasa (Badan Bahasa), sebagai pengemban amanat UU Nomor 24 tahun 2009 sangat diperlukan untuk melakukan pengayoman yang efektif agar keberadaan karya sastra tidak semakin ambyar dan kehilangan potensi pancerahannya.

Memasuki era industri 4.0 dewasa ini, jika sastra tetap diharapkan sumbangannya dalam membangun budi pekerti masyarakat, haruslah tetap diayomi, dilindungi, kelestariannya. Pemerintah, melalui lembaga-lembaga pengayoman, sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2009, memiliki kewajiban paling besar dalam melakukan pengayoman sastra. Peran Pusat Bahasa perlu ditingkatkan dalam melakukan pengayoman sastra. Perlu siasat yang kreatif dalam mengahadapi generasi milenial, generasi digital, dalam era industri 4.0.

Dalam bidang pendidikan, seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, setidaknya ada sepuluh fungsi sastra yang sangat penting dan populer, yang harus diayomi dalam era digital, demi tercapainya tujuan pengajaran sastra. Fungsi sastra tersebut, antara lain meliputi fungsi didaktik, fungsi estetik, fungsi kultural, fungsi moralitas, fungsi religius, dan fungsi rekreatif.[13] Fungsi sastra itu penting untuk ditekankan kembali dalam memasuki era milenial, era digital, maupun era industri 4.0. Semuanya mengarah pada framing sastra sebagai sumber inspirasi untuk pembangunan karakter, memperhalus budi pekerti, masyarakat terpelajar, dalam era apapun, termasuk era industri 4.0, yang sedang kita masuki.

Jika sastra berfungsi secara optimal dalam pembentukan karakter, budi pekerti yang luhur, akan tercapai, apapun eranya, era milenial, era digital, atau era industri 4.0. Untuk mencapainya karya sastra harus dibaca, harus diapresiasi. Pengajaran sastra harus mampu menumbuhkan sikap apresiatif pada diri siswa, apapun era zamannya, apapun generasi yang dididiknya. Lagi-lagi pengajaran sastra diharapkan berperan sebagai aktor pembangun sikap apresiatif, dan lagi-lagi kita berharap para guru sastra berperan secara aktif melalui pengajaran sastra yang kreatif.

Para guru sastra adalah pejuang garis depan apresiasi sastra, pahlawan sastra tanpa penghargaan sastra. Guru sastra yang baik adalah pengayom sastra yang baik bagi generasi milenial. Para guru sastra, bersama para sastrawan dan penerbit karya sastra, menjadi pendayung sastra ke era industri 4.0. Dengan sinergi yang baik, kerja sama yang baik, mereka akan mengantarkan karya sastra kepada masyarakat milenial untuk mendapatkan inspirasi tentang kebaikan dan mewarisi nilai-nilai luhur bangsa. Dengan demikian, diharapkan karya sastra unggulan mampu bertahan dari perubahan zaman. ***

 

[1]  Rudianto. Menteri Komunikasi dan Informatika. 2019. Dalam “Apa itu  Era 4.0, dan Bagaimana Indoensia Menyongsongnya”. www.kominfo.go.id. Jakarta: Kominfo.

[2] Herfanda, Ahmadun. 2021. Dalam “Karya Sastra di Ruang Digital Makin Anarkis”. www.repubilka.co.id. Jakarata: Republika.

[3] Platform Novelme, Go Novel, dan Novel Toon ada dalam aplikasi telepon pintar.

[4] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia. http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/pengayoman |

[5] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. TEnsiklopedia Sastra Indonesia. http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/pengayoman |

[6] Sistem ataupun model pengayoman sastra belum pernah dirumuskan atau dikonsep secara detil oleh lembaga pengayom sastra. Konsep pengayoman ini merupakan rintisan yang diperkirakan merupakan cakupam kerja lembaga pengayom sastra.

[7] JDIH BPK RI. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

[8] Dikutip dari https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/

[9] Ibidem

[10] Gong, Gola. 2006. Dunia Kata Gola Gong. golagong.wordpress.com. Serang: Rumah Dunia.

[11] Portal Satra Litera. 2017. www.litera.co.id. Tengarang Selatan: Litera.

[12] Yayasan Hari Puisi. 2015. www.haripuisi.id. Jakarta: Yayasan Hari Puisi.

[13] Herfanda, Ahmadun Yosi. 2021. “Satra dan Generai Milenial”. Dalam Memajankan Sastra Indonesia. Kumpulan Esai Munsi III. E. Rokayat Asura. Ed. Bandung: Siliwangi Berkah Abadi. Halaman 86-93.

Related posts

Leave a Comment

7 − 2 =