KRITIK 

MENANGKAP SUNYI DI RELUNG DIKSI

Oleh Atek Bintoro (Kek Atek)

____________________________________________________________________

 

Buku kumpulan puisi Kasidah Seribu Purnama karya Ahmadun Yosi Herfanda telah diterbitkan melalui penerbit Hyang Pustaka, Cirebon, Jawa Barat. Cetakan pertama, Desember 2022, dengan ISBN nomor 978-623-8066-03-2. Buku ini memuat puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa penciptaan sekitar tujuh tahun (2016-2022).

Berbagai prestasi kinerja telah diraih oleh Ahmadun Yosi Herfanda di bidang: sastra, budaya, dan jurnalis profesional. Bagi masyarakat pegiat di bidang kinerja tersebut, hampir bisa dipastikan berpotensi mengenal karyanya, bahkan mungkin telah mengenal sosok pribadinya di dunia nyata. Biografi singkat dari Sang Penyair ditayangkan pada halaman lampiran di buku kumpulan puisi Kasidah Seribu Purnama.

Halaman tersebut memberikan banyak informasi prestasi kinerja, diantaranya terkait sastra telah diraih oleh lelaki yang lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958, contohnya sebagai anggota penggagas dan pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara, satu diantara deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap tanggal 26 Maret, anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani University Thailand, Ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ), ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), dan ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996).

Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain Sang Matahari  (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan  (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 — meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa, 2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – terpilih sebagai buku terbaik (lima besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016.

Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa pada penghujung tahun 2022, penyair Ahmadun Yosi Herfanda telah menerbitkan buku kumpulan puisi Kasidah Seribu Purnama. Isi buku kumpulan puisi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Bagian Satu Kasidah Pencarian, dan Bagian Dua Grafiti Senja. Bagian satu terdiri dai 30 puisi, sedangkan bagian dua terdiri dari 25 puisi.

Puisi-puisi yang tayang di buku kumpulan puisi Kasidah Seribu Purnama, tentu masing masing mempunyai keindahan dan keunikan tersendiri, mulai dari pemilihan judul, seleksi diksi, sistematika penulisan, substansi isi puisi, rasa, logika, dan gaya bahasa.

Misalnya dari sisi judul puisi, ada yang bergaya deklaratif, konklusif, dan investigatif. Adapun sekilas pandang tentang pengertian gaya pemilihan judul tersebut adalah sebagai berikut:

  • Judul Deklaratif

Yaitu judul puisi yang berupa pernyataan terbuka tanpa kesimpulan, menjadi semacam deklarasi kegiatan atau pun pemikiran. Seolah penyair mempersilakan pembaca untuk mendulang, menjelajahi, dan mereguk cita rasa, logika, atau pun makna yang terkandung dari judul. Pada gilirannya pembaca pun diharapkan bisa berkenan membaca isi puisi sampai selesai tuntas.

  • Judul Konklusif

Sejak pertama melihat judul, pembaca sudah diajak menemukan kesimpulan isi tulisan yang diberi judul bergaya konklusif. Selanjutnya judul tersebut seolah mengundang pembaca untuk menemukan argumentasi mengapa kesimpulan disodorkan seperti tertulis di dalam judul.  Kalimat pernyataan judul bergaya konklusif cenderung dituliskan dalam bentuk kalimat tertutup.

  • Judul Investigatif

Yaitu gaya penulisan judul yang pada akhir judul biasanya diberi tanda tanya (?). Meskipun demikian ada juga yang tidak diberi tanda tanya, tetapi menggunakan kata atau pun kalimat tanya, misalnya: Apakah, Bagaimanakah, Siapakah, Dimanakah, atau Mengapa. Dari awal bertemu judul bergaya Investigatif ini, pembaca diajak untuk menyatakan keragu raguan akan diksi dan narasi yang dibangun oleh judul sampai pada titik terakhir isi puisi. Sehingga kadang kala berlaku logika : semuanya diangap salah sampai terbukti benar, atau pun semuanya dipandang benar hingga tersaji adanya fakta yang salah. Logika semacam ini mungkin akan berlaku sepanjang menikmati dan menelusuri puisi sampai usai.

Tiga macam gaya judul puisi, yakni Deklaratif, Konklusif, dan Investigatif di atas, berpotensi ditemukan di dalam judul puisi di buku kumpulan puisi Kasidah Seribu Purnama, misal:

Bagian Satu Kasidah Pencarian, judul yang bergaya Deklaratif, terdapat pada judul puisi: /Wajah di Bawah Bulan/. Judul ini berpotensi bermakna deklarasi terbuka untuk /Wajah/ siapa pun, dan di /Bulan/ apa pun. Bulan dalam artian benda langit yang mengitari bumi, atau Bulan sebagai rentang waktu, misalnya dalam satu tahun ada dua belas Bulan. Semua pengertian tersebut masih terbuka untuk dimaknai oleh pembaca melalui penelusuran batang tubuh puisi. Sedangkan judul judul puisi yang lain masih bisa ditelusuri termasuk bergaya Deklaratif atau bagaimana?

Untuk Bagian Dua Grafiti Senja, judul puisi yang bergaya Konklusif, ditemukan pada puisi yang berjudul /Ibukota Telah Meninggalkanku/. Judul puisi ini telah mengunci mati ruang terbuka pikiran pembaca menjadi tertutup rapat, dan langsung mendapatkan jawaban berupa kesimpulan, ketika misalnya timbul dialog seperti di bawah ini.:

“Siapakah yang /meninggalkanku/?”

Jawabnya:”/Ibukota/”.

Atau:

/Ibukota meninggalkan/ siapa?”

Jawabnya: “/meninggalkan/  tokoh /ku/ lirik.

Adapun judul puisi yang bergaya Investigatif sepertinya hanya ditemukan satu judul puisi di Bagian Satu Kasidah Pencarian, sedangkan di Bagian Dua Grafiti Senja tidak didapatkan. Judul puisi yang dimaksud adalah /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/. Judul Puisi  ini terdapat pada Judul puisi pertama di halaman 1. Oleh karena itu, latar belakang satu satunya judul bergaya Investigatif inilah yang menjadi satu diantara alasan penarik rasa untuk menikmatinya. Benarkah puisi tersebut memang dipenuhi oleh aroma investigasi alias kaya akan tanda tanya bagi pembaca, khususnya untuk penikmat puisi, atau seperti apa?

Mari segenap penikmat puisi ikut menelusuri puisi lengkapnya.

 

Investigasi Diksi yang Sunyi   

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa Judul puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/ berpotensi menjadi judul puisi yang bergaya Investigatif.

Oleh karena itu untuk bisa menikmati peta jalan investigasinya dirasa perlu menelusuri batang tubuh puisi tersebut. Adapun puisi lengkapnya seperti di bawah ini [1] & [3].

Untuk memudahkan telusur, masing masing bait diberi nomor urut dari 1 sampai dengan 4, dan nomor urut baris di dalam kurung di masing masing baris.

 

ENGKAUKAH OMBAK

YANG TAK MERINDUKAN PANTAI   

 

 1.

Tiap berlayar selalu kuingat saat berlabuh (1)

Sebab Cintaku padamu tak pernah angkat sauh (2)

Dengan layar perahu kurentang Rindu (3)

Namun angin membawaku semakin jauh (4)

Walau gemuruh ombak mengaduh (5)

Minta dermaga kembali mendekapmu (6)

 

 2.

Adakah ombak yang tak rindu pantai (1)

Adakah pantai yang tak rindu ombak (2)

Adakah dermaga yang tak rindu perahu (3)

Adakah perahu yang tak rindu dermaga (4)

Engkaukah sosok yang diam membatu (5)

Yang tak kenal rasa rindu (6)

 

 3.

(Ombak telah membuktikan kesetiaan pada pantai (1)

Padanya ia selalu melabuhkan kecupan-kecupan (2)

Tiap detik tak lepas dari kasih sayangnya) (3)

 

 4.

Setiap berlayar selalu kucatat (1)

Waktu kembali berlabuh padamu (2)

Tunggulah. Rinduku takkan lupa (3)

Hangat pelukanmu/(4)

 

Tanjungpasir, 2021

 

Puisi yang berjudul /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/ besutan Penyair Ahmadun Yosi Herfanda di atas memiliki 4 bait, dan 6 baris masing masing di bait 1 dan 2,  3 baris dibait 3, serta 4 baris di bait 4.

Penulis sebagai penikmat puisi, telah berusaha memindai sekilas batang tubuh puisi, ternyata mengendus adanya aroma sajak berisi kalimat sama persis dengan judul puisi, yakni di baris (1) di bait 1, tertulis: /Adakah ombak yang tak rindu pantai (1)/. Kemudian timbul pertanyaan:

“Apakah pertanyaan ini sebagai konsekwensi adanya pengembaraan sang penyair ketika diasumsikan sedang berlayar menjelajah lautan kehidupan, seperti dalam sajaknya di baris (1) di bait 1 yang tertulis: /Tiap berlayar selalu kuingat saat berlabuh.(1)/, dan sebagai penyebabnya adalah: /Sebab Cintaku padamu tak pernah angkat sauh.(2)/?”.

Jawaban Ya, atau Tidak atas pertanyaan di atas, sepertinya sama sama tidak akan menjawab, jika pertanyaannya dipandang tidak tepat, tersebab timbul adanya langkah tafsir atas tanda tanda [4] yang mungkin terjadi selisih panjang antara kehendak Sang Penyair dan Si Penikmat Puisi.

Perbedaan seperti ini mungkin masih bisa dimaklumi, karena diksi puisi biasanya berbeda dengan makna kalimat maupun kata, selain yang tertera di dalam puisi. Di dalam puisi, menurut para ahli bahwa diksi akan mempunyai makna lahir dan atau batin [5].

Sedangkan di dalam selain puisi, diksi kemungkinan akan hanya mempunyai sisi lahir saja, dan tidak boleh cenderung multi tafsir, khususnya kata kata untuk karya tulis ilmiah [6].

Namun demikian apabila pertanyaannya diasumsikan tepat, maka jawaban Ya, atau Tidak, akan berpotensi membawa penikmat puisi kepada pemindaian misteri adanya tokoh /ku/ lirik pada kata /kuingat/ di baris (1) di bait 1, dan di baris (2) di bait 1 pada diksi /Cintaku/,  serta

tokoh /mu/ lirik di baris (2) di bait 1 pada kata / padamu/. Dengan adanya tokoh /ku/ lirik, dan /mu/ lirik di bait 1, seolah tokoh tokoh ini menjadi pemain kunci di dalam giat investigasi atas berbagai pertanyaan yang disampaikan di bait 2, di baris (1) sampai dengan (5), seperti halnya kalimat tanya pada Judul Puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/.

 Rupa rupanya sebagai pintu gerbang investigasinya, Sang Penyair lebih memilih memberi bocoran melalui ungkapan beberapa simbol di bait 1, misalnya: /berlayar, /berlabuh/,  /angkat sauh/, /layar perahu/,  / angin/, /gemuruh ombak/, dan /dermaga/.

Pertanyaan berikutnya adalah:

“Bagaimana hubungan antara tokoh /ku/ lirik, /mu/ lirik, dan simbol simbol yang disampaikan di bait 1, apakah hubungannya baik baik saja, atau justru mereka bisa saling menafikan satu sama lainnya, atau bagaimana?”

Untuk bisa menguak jawaban yang masih cenderung diliputi misteri, tentu pemahaman bagi penikmat puisi perlu menambahkan pengetahuan tentang simbol, citraan, maupun figur yang bisa dikaitkan dengan dugaan suasana kejiwaan bagi sang penyair. Jika simbol, citraan, maupun figur atau ungkapan personifikasi benda benda mati sering disuarakan, mungkin itu akan bisa menjadi simbol umum, seperti ungkapan bulan purnama sebagai simbol kecantikan, atau kemulyaan sikap seseorang. Sedangkan simbol yang belum berlaku umum, mungkin sekadar berasal dari pengalaman pribadi, maka simbol tersebut boleh jadi sebagai ungkapan khusus hasil citra, ataupun figuratif yang berlaku hanya bagi penyair pribadi [7] dan [8].

Disamping itu, penelusuran makna, rasa, dan logika Puisi bisa juga ditambahkan dengan melakukan telusur secara intertekstual [9] terhadap simbol simbol yang sudah beredar di masyarakat luas atau pun telah disampaikan diantara sesama sastrawan, terutama para Penyair sang Penggurit Puisi, atau pun terhadap Puisi puisi lain yang bareng tayang di buku kumpulan puisi, dalam hal ini buku kumpulan puisi yang memuat puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/.

Jadi penelusuran makna, logika, dan rasa menjadi semacam membaca tanda maupun penafsiran sesama Puisi, yaitu Puisi ditafsirkan oleh Puisi yang lain yang berada di dalam satu buku Kumpulan Puisi.

Secara sekilas perlambangan yang menggunakan diksi: /berlayar, /berlabuh/, /angkat sauh/, /layar perahu/, / angin/, /gemuruh ombak/, dan /dermaga/, ternyata juga ditemukan di Puisi lain yang ada di buku kumpulan puisi yang menayangkan puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/.

Diksi tersebut dijumpai pada empat Puisi yang berjudul 1. /Jiwa Tiga Gunung/ di halaman 60, 2./Senja Di Marunda/ di halaman 61, 3./Kembara  Kata/ di halaman 62, dan 4./Rahasia Laut/ di halaman 63. Dari empat judul Puisi di atas, hampir semuanya tidak terlepas dari satu diantara ungkapan berdiksi /berlayar, /berlabuh/,  /angkat sauh/, /layar perahu/,  / angin/, /gemuruh ombak/, dan /dermaga/.

Fakta ini dapat berpotensi untuk mengatakan bahwa diksi simbolisasi tersebut sepertinya memang bisa dipandang sebagai manifestasi dari suasana kejiwaan penyair yang memang memberi tanda bahwa Sang Penyair cenderung pada sifat kembali ke alam, dalam arti berusaha mengikuti peraturan alam. Ada pun keempat judul puisi tersebut seperti pada gambar teks di bawah ini [1].

Telah diketahui bahwa alam semesta selalu mengajarkan pada manusia untuk berlaku adil kepada siapa saja, dan keadilan pun bisa terwujud termasuk pada dirinya sendiri, jika manusia bersedia belajar, dan mempraktekkan perilaku alam semesta [10]. Aroma untuk berusaha adil pada diri sendiri ini, terkonfirmasi pada sajak di baris (1) bait 1, yang juga sebagai pintu gerbang investigasi untuk menikmati rasa, logika, dan makna puisi.

Baris dan bait tersebut seperti di bawah ini.

/Tiap berlayar selalu kuingat saat berlabuh (1)

Sebab Cintaku padamu tak pernah angkat sauh (2)/

Sejatinya semua benda, termasuk siapapun yang berlayar pastilah akan berlabuh, hanya masalahnya di pantai mana /perahu/ seperti yang ada di bait 2 baris (4) akan berlabuh, sehingga menemukan dermaganya?

Atau apakah masih ada kemungkinan bahwa justru dermagalah yang menghampiri perahu?

Sebab dermaganya merupakan kapal induk yang luasnya bisa dua kali lapangan bola, tetapi punya kemampuan bergerak berkeliling lautan di seluruh dunia untuk menghampiri perahu perahu yang sedang berlayar di samudra kehidupan.

Jika logika, rasa, dan makna  seperti ini yang menjadi asumsi bisa terjadi, maka ungkapan diksi bergaya retoris [11] seperti bait 2 di baris ke (1) sampai dengan (5) akan segera menemukan jawabnya, meskipun sebenarnya jawaban itu ada di dalam pertanyaan tersebut, apalagi gaya retorisnya berulang pada baris berikut sampai di baris terakhir. Hal ini dapat memberikan pesan adanya penegasan yang menguatkan akan jawaban [12]. Jawaban pun menjadi semakin melengkapi terkuaknya misteri hubungan antara tokoh /ku/ lirik, /mu/ lirik, dan tokoh /Engkau/ lirik di baris (5) bait 2, manakala si penikmat puisi meningkatkan ke pertanyaan substansi,yaitu:

“Siapakah mereka semua, dan bagaimana hubungan diantara mereka?”

Jawaban atas pertanyaan ini, bisa dinikmati adanya potensi alunan transenden di luar panca indra seperti biasanya [13], Lebih lebih ketika dikaitkan dengan /sosok yang diam membatu (5)/, dan /Yang tak kenal rasa rindu (6)/, kemudian jika ditautkan dengan tanda tanda intertekstual di bait terakhir puisi yang berjudul /Aku pasti kembali padamu/ di halaman 25 di buku kumpulan puisi yang berisi puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/, maka rasa transendennya semakin nyata, seperti tertuang di bait puisi di bawah ini. Sedangkan teks puisi /Aku pasti kembali padamu/, seperti di Gambar 4.

/Aku akan kembali padaMU/

/Karena hanya Engkaulah Pemilikku/

 

Sunyi tak Harus Sendiri

Akhirnya puisi /Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai/ karya Penyair Ahmadun Yosi Herfanda ini menurunkan penekanan retorisnya, ketika memasuki ruang kesaksian di bait 3, bahwa: Ombak selalu setia tak pernah lepas melabuhkan kasih sayangnya pada pantai. Kemudian tirai perahu pun ditutup dengan catatan setiap berlayar selalu takkan lupa merindu pelukan, antara: diriku, dan Engkau di palung yang paling sunyi.

Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi.

***

 

Kek Atek adalah penikmat puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek. Artikel ini pernah ditayangkan di laman mbludus.com.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadun Yosi Herfanda, 2022, Kumpulan Puisi Kasidah Seribu Purnama, Hyang Pustaka, Cirebon

2. Kek Atek, 2022, Cara Membuat Judul, Mbludus Group, Facebook

https://web.facebook.com/search/posts ?q=membuat%20judul

3. Admin, 2022, "Engkaukah Ombak Yang Tak Merindukan Pantai", Sajak-sajak Ahmadun Yosi Herfanda, www.litera.co.id. https://www.litera.co.id/2021/12/28/engkaukah-ombak-yang-tak-merindukan-pantai/

4. Muhammad Dzaki Nashrulloh, 2023, Semiotik-Hermeneutik Pada Puisi “Perjalanan Ke Langit” Karya Kuntowijoyo, Student Research JournalVolume.1, No.2April2023E-ISSN : 2964-3252 dan P-ISSN : 2964-3260, Hal206-214

5. Budi Setia Pribadi, Dida Firmansya, 2019, Analisis Semiotika Pada Puisi “Barangkali Karena Bulan” karya WS. Rendra, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Volume 2 Nomor 2, Maret 2019

6. Pengasuh Rubrik Sains, 2022, "Belajar Menulis Karya Tulis Ilmiah", Mbludus.com

Belajar Menulis Karya Tulis Ilmiah
7. Albertine Minderp, 2010, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 8. Octari Adelina Kusumawardhani, 2020, Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja Karya M. Aan Mansyur:Kajian Stilistika, Tesis, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang 9. Angela Klaudia Danu, Petrus Sii, Priska Filomena Iku, Claudia Oktafiani Samador, 2022, Hubungan Intertekstualpuisi “Munir Menenggak Racun” Karya Yoseph Yapi Taum Dan Puisi “Sajak Untuk Sebuah Nama (Cak Munir)” Karya Pramasta Said, KPM: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, P-ISSN: 1411-1659; E-ISSN: 2502-9576, Volume 14, No 2, Juli 2022 (178-189 DOI: https://doi.org/10.36928/jpkm.v14i2.1268 10. Hajar M, 2013, Dialektika antara Aliran Hukum Alam dan Hukum Positif dan Relevansi dengan Hukum Islam, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 Vol.20 Oktober 2013: 563 – 579 11.  Afni Nur Akmalia, Dian Hartati, M. Januar Ibnu Adham, 2021, Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Karya Lima Penyair Anak dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMP, Basastra: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Vol. 9, No. 1, April 2021, Hal 126–141, ISSN 2302-6405 (print) dan ISSN 2714-9765 (online) 12. Shafwan Nugraha, Nur Israfyan Sofian, 2023, Repetisi dan Paralelisme dalam Puisi “Suatu Senja tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri)” Karya Rieke Diah Pitaloka, Jurnal Bastra, Vol. 8, No. 3 Juli 2023, ISSN: 2503- 3875, http://bastra.uho.ac.id/index.php/journal 13. Gunta Wirawan, 2018, Dimensi Transendensi dalam Antologi Puisi Rahasia Sang Guru Sufi Karya Odhy’s, Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(2), 2018, 196-218

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

16 − fourteen =