Agenda 

Matahari

Astrid A. Septaviani, bernama lengkap Astrid Ayu Septaviani, senang membaca sejak kecil. Lalu pengalaman dan pengamatannya pada sekitar ia tuangkan dalam bentuk tulisan yang membuatnya kemudian mulai senang menulis baik fiksi dan non fiksi selain juga aktif di organisasi sosial dan kemanusiaan. Perempuan kelahiran 7 September ini tinggal dan bergiat di Surabaya.

 

Pukul sebelas malam. Harum ruangan mulai menipis, lilin pengharum ruangan telah mati sejak pukul sembilan tadi. Matahari, putri semata wayangku masih belum pulang. Aku tahu pasti itu karena jadwal kuliahnya. Hampir setiap Senin sampai Jumat, ia sudah ada di rumah ketika aku pulang kantor. Sejak jam dua siang, ponselnya tak diaktifkan. Aku resah. Mungkin ia memang tak ingin bicara denganku. Tapi bukankah ia sudah berjanji padaku tadi pagi, untuk makan malam bersama dan ngobrol di ruang konsultasi.

Ruang konsultasi adalah sebuah ruangan kecil tempat aku dan Matahari berbicara banyak hal. Kantorku, sekolahnya, kuliahnya, pacar-pacarnya, rencana liburan, diskon di beberapa mal, dan banyak lagi. Ruangan ini adalah wujud obsesiku yang tak mampu kuraih: menjadi Psikolog.

Dulu aku sempat kuliah enam semester, jurusan Psikologi di sebuah Universitas ternama di Surabaya. Hanya sampai semester 6. Ayah dan Ibu yang tidak menyukai Jo, kekasihku, memintaku untuk memutuskan hubunganku dengannya.

Rasa cintaku pada Jo ternyata begitu besar, lebih besar daripada rasa cintaku pada orang tua dan cita-citaku. Aku pun kawin lari bersama Jo. Tanpa restu keluargaku. Tanpa restu keluarganya. Tanpa surat pernikahan yang resmi. Kami menikah di bawah tangan. Kami membangun dunia kami sendiri. Jiwa muda telah mengesampingkan akal sehat kami.

Kebahagiaanku hanya bertahan selama 2 tahun. Jo, belahan jiwa yang kucintai dengan sepenuh hati, meninggalkanku dan Matahari yang masih berusia 10 bulan. Ia dipaksa menikah dengan orang lain, dan hingga kini, sepertinya masih menetap di Hongkong. Meski begitu, rasa cintaku untuknya masih terjaga hingga detik ini. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.

Di ruangan konsultasi pula, hampir setiap hari, Matahari menanyakan keberadaan ayahnya. Aku hanya bisa menangis, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Jo memang sangat berarti, namun sakit di hatiku tak bisa ku-kontrol. Begitu pedih. Hanya tangis yang bisa menjadi jawabku. Lama-lama, Tari, panggilan Matahari, menyerah. Entah ia menyerah karena putus asa, tak tega melihat ibunya menangis, atau ia telah bosan bertanya.

Sudah dua bulan ini, Tari jarang bercerita denganku. Setelah makan malam, ia pasti langsung naik dan masuk ke kamarnya. Ketika weekend, ia pergi bersama sahabatnya hingga larut malam. Semakin hari, Tari juga semakin rajin menginap di rumah temannya. Alasannya pun beragam, mulai dari mengerjakan tugas hingga aktifitas kampus lainnya yang memaksanya menginap di rumah seorang teman.

Jujur, sebagai ibu aku khawatir. Tari sangat cantik, pintar dan hangat. Tentu banyak pria yang mendekatinya. Tapi setelah kuingat-ingat lagi, dua bulan ini tak pernah ada teman lelakinya yang datang menjemput. Apakah Tari begitu sakit hati dengan Fondra? Pria terakhir yang dipacarinya selama 8 bulan. Aku suka Fondra. Ia rapi, sopan, dan mudah akrab denganku. Kami pernah beberapa kali mengobrol. Tari bilang Fondra membosankan. Ah, aku tak tahu pria seperti apa yang dicarinya.

Pendingin ruangan terasa semakin dingin, padahal aku sudah merubah suhunya. Kucoba hubungi Tari. Kali ini ponselnya telah aktif, namun tak diangkat. Kucoba hingga berkali-kali tapi tetap tak diangkat. Aku sungguh-sungguh mengkhawatirkannya.

Tak tahan dengan dinginnya ruang konsultasi, aku memutuskan untuk beranjak ke kamar anak tunggalku. Ketika telapak kakiku menapaki setiap anak tangga, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Tari.

Ibu, maaf baru beri kabar. Aku pulang telat. Ibu tidurlah dulu. Besok pagi aku ceritakan. Ibu sudah makan kan? I love you Ibu.

Ah betapa leganya aku.

Kubuka pintu kamarnya. Sudah lama aku tak masuk ke dalam kamar anak gadisku, gumamku dalam hati. Mataku terpanah pada meja belajarnya. Begitu rapi. Kulihat laptopnya tertutup di atas meja. Rupanya ia tidak membawa laptop ke kampus. Entah mengapa, kaki tua-ku yang sudah mulai lemas ini seolah bergerak sendiri ke arah meja belajar Tari.

Sembari berjalan, sepasang mataku memeriksa seisi ruangan. Begitu hampa. Tak ada lukisan atau poster layaknya anak remaja seusianya. Hanya ada dua foto di meja belajarnya. Fotonya bersamaku dan fotonya bersama Bening, sahabatnya yang sering main dan menginap di rumah.

Setelah kakiku seperti melangkah sendiri, kali ini kedua tanganku yang seolah bergerak sendiri. Keduanya begitu lancang membuka laptop Tari. Kunyalakan dan selama 10 menit aku mencoba menebak password yang digunakan. Aku mencoba tanggal ulang tahunnya. Gagal. Kucoba tanggal ulang tahunku. Gagal. Aku tidak menyerah. Sampai akhirnya aku berhasil.

Awalnya aku cuma iseng mengetikkan namaku: siska. Tanpa huruf kapital. Berhasil. Aku tersenyum haru mengetahui betapa sayangnya anakku padaku.

Jemariku kembali jahil. Kali ini kubuka setiap kamar (folder) di dalam laptop Tari. Sampai aku menemukan sebuah folder: Bulan. Ketika kubuka, folder itu berisi foto-foto Tari bersama seorang pria. Berbagai pose. Perasaanku mulai tidak enak. Kuperhatikan benar foto-foto itu. Kuamati lebih dalam, lebih jauh, sampai aku menyadari sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdetak sesaat.

Aku mengenali pria itu. Sangat mengenali. Begitu mengenalinya. Dia adalah Jo. Pria yang pernah menjadi bagian hidupku. Suamiku. Tujuan hidupku. Kubuka file-file foto lainnya. Semakin banyak file foto yang kubuka, semakin terkejut aku dibuatnya. Mereka berfoto layaknya sepasang kekasih.

Selain foto-foto mereka berdua, aku menemukan beberapa dokumen word. Judul-judulnya seperti surat cinta: Bulanku, Lovely Bulan, Untukmu Bulan, dan banyak lagi.

Dengan jantung yang berdebar keras dan hati yang berselimut pilu, kubuka satu persatu, kubaca dan kuresapi, sampai akhirnya aku menemukan satu file tulisan lengkap bersama sebuah foto. Di akhir paragraf tertulis:

I do love you Bulan. Sekalipun matahari dan bulan hampir tak pernah saling bertemu, sesekali mereka bertemu sesaat di antara senja. Itu romantis. Manusia mana di dunia ini yang tak suka dengan senja yang penuh pesona, magis. Seperti pesonamu bulan-ku. Kita memang matahari dan bulan yang tak pernah bersatu, tapi seperti katamu kita bisa selingkuh di antara fajar dan senja. Mereka yang melihat, tak akan menyadari bahwa kita telah bercinta.

Foto itu adalah foto Jo yang sedang mencium Matahari. Mungkinkah Bulan yang dimaksud adalah Jo? Mungkinkah anakku dan Jo adalah sepasang kekasih yang tak mungkin bersatu? Inikah jawaban mengapa Tari seringkali menghabiskan weekend di luar bersama mereka yang ia sebut teman-teman?

Tiba-tiba kepalaku terasa begitu berat. Kulihat lagi foto-foto mereka berdua. Binar mata Tari begitu bahagia. Sama seperti binar mataku saat berfoto bersama Jo, kekasih hatiku. Jo yang telah ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuaku. Jo yang kini telah menjadi ayah bagi dua anak lelakinya. Jo, pria yang pernah dua tahun hidup bersama denganku. Mengurus Matahari kami selama setahun.

Jantungku berdebar begitu kencang dan kuat. Dentumannya terdengar hingga ke daun telingaku. Rasanya seperti hendak menerjang tulang rusuk dan dadaku, keluar dari tubuhku. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori halusku. Tubuhku terasa begitu panas, dan tiba-tiba saja menjadi begitu dingin. Tanganku bergetar seperti orang yang terkena parkinson. Rasa ini jauh lebih menyakitkan dari hari aku melepas Jo pergi, meninggalkan aku dan Tari.

Aku bahkan sudah tak mampu membedakan antara air mata dan keringat. Keduanya bercampur baur di wajahku. Aku pun mendengar dentuman jantungku yang berlomba-lomba dengan raungan tangisku. Dunia terasa berputar-putar tak beraturan, dan aku tersentak ketika sebuah suara yang sangat aku kenal memanggil namaku dengan begitu keras “Ibu!”

Kulihat sekilas wajah Tari memucat seperti tikus putih peliharaannya, saat ia melihat ibunya tengah membuka surat cinta yang lengkap dengan fotonya bersama Jo. Hanya beberapa detik aku menutup mataku, tiba-tiba saja kulihat Tari sudah terduduk di lantai. Kurasa, ia merasakan shock yang sama dengan yang kurasakan.

Kami sama-sama sibuk dengan perasaan kami berdua. Hancur, malu, terkejut, bingung, kecewa, dan sebagainya bercampur aduk seperti gado-gado yang tak layak konsumsi.

Kulihat jarum panjang jam dinding bergerak di angka dua. Tandanya sudah 1,5 jam aku dan Tari terduduk diam di tempat masing-masing, tanpa saling bicara. Aku beranjak dari kursi dengan susah payah. Tubuhku yang terasa begitu berat atau kaki tua-ku yang memang begitu lemah? Entahlah.

Tari meraih kakiku. Nyaris aku terjatuh. Ia memeluk kakiku dengan sangat erat. Inilah ternyata yang dirasakan kedua orang tuaku, saat mengetahui hubunganku dengan Jo.

Tentu sakit yang dirasakan orang tuaku jauh berlipat, dari yang kurasakan saat ini. Aku adalah anak kandung mereka. Anak yang mereka nanti wajahnya hingga sembilan bulan. Anak yang mereka besarkan dengan curahan kasih sayang tiada batas. Anak yang setelah 20 tahun dibesarkan, meninggalkan mereka demi seorang lelaki pekerja kasar di pelabuhan, yang dianggap tak memiliki masa depan.

Tari atau Matahariku bukanlah darah dagingku. Aku tak pernah mengandungnya, apalagi menyusuinya. Ia hanya seorang bayi perempuan yang kami adopsi dari sebuah rumah sakit di Surabaya. Ada banyak bayi terlantar di sana. Aku dan Jo hanya mengambil salah satunya. Kami benar-benar menginginkan bayi pada saat itu.

Menurut pihak rumah sakit, Tari adalah bayi hasil hubungan gelap sepasang kekasih muda. Setelah lahir, ia ditinggalkan begitu saja di rumah sakit tersebut.

Jo sangat suka anak kecil. Meskipun penghasilannya tak seberapa, niatnya untuk memiliki seorang bayi, sangatlah besar. Dua hari dua malam Jo merengek, meminta persetujuanku untuk mengadopsi seorang bayi.

Awalnya aku tak setuju. Merawat bayi pasti membutuhkan biaya yang besar. Penghasilan Jo memang cukup untuk hidup kami berdua. Aku juga masih bisa menabung, meski tak banyak. Tapi, bagaimana bila tanggungan hidup kami bertambah dengan kehadiran seorang bayi?

Setelah kupikir-pikir, mungkin Jo akan bekerja lebih keras atau tergerak untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, bila kami memiliki bayi. Dengan begitu, ada kemungkinan bagi ayah dan ibu, untuk menerimanya sebagai menantu.

Aku pun menyerah. Tatapan matanya yang memohon, sukses memaksaku menyetujui keinginannya. Jo juga yang memberi nama bayi kami dengan nama Matahari. Ia ingin bayi kami selalu bersinar, dan selalu dibutuhkan seperti Matahari dalam arti sebenarnya.

Jo sempat memiliki ide gila: pindah ke luar negeri bersama bayi kami. Aku tahu benar kegelisahan hatinya, saat keluarganya memaksanya untuk menikah dengan anak gadis seorang Taipan yang masih memiliki hubungan darah dengannya.

Aku menolaknya. Bila aku meninggalkan Surabaya, aku tak akan bisa mendapat kabar tentang orang tuaku. Meski selama dua puluh tahun ini, aku tak pernah pulang, namun aku masih bisa mengetahui kabar terbaru keluargaku. Lewat sepupuku, lewat penjual sayur keliling yang sering kutelepon, dan sesekali aku melintas di depan rumah orang tuaku. Kebiasaan mereka duduk di teras saat sore hari, masih terus berlanjut hingga saat ini. Melihat keduanya sehat, aku sudah cukup lega.

Aku dan Jo tak memiliki pilihan lain. Ia harus pergi untuk menghindari pernikahan paksa itu. Dan aku harus merelakannya pergi pula. Aku mengantarnya sendiri hingga ke teras rumah kontrakan kami. Jalannya begitu lemas. Bertahun-tahun kami hidup terpisah sebagai sepasang suami istri. Bertahun-tahun itu pula ia tak pernah lupa mengirimi kami uang untuk bertahan hidup. Sampai suatu hari aku menerima suratnya yang menjungkir-balikkan hidupku.

Ia mengaku telah menikah lagi dengan seorang gadis asli Hongkong, yang sama-sama bekerja di kapal yang membawanya pergi berlayar, menjelajahi Samudra. Hatiku hancur. Terluka. Perih. Tersayat. Kutolak uang pemberiannya, dan memutuskan untuk bekerja sendiri, menghidupi putri semata wayang kami.

Lamunanku pada Jo pecah setelah kurasakan tangan gadis-ku melingkar di perutku. Ia memelukku dari belakang. Masih kudengar rintihan tangisnya. Dan samar-samar aku dengar ia memanggilku, “ibu..”

Aku tak tahu harus berbuat apa. Tak mungkin aku menceritakan tentang Jo padanya. Tak mungkin aku melarangnya bercinta dengan lelaki yang ia cintai, toh Jo bukanlah ayah biologisnya. Tapi tak mungkin pula aku merestuinya.

Duhai Matahari-ku, ini untuk pertama kalinya aku tak merasakan sinar dan kehangatanmu.

 

Related posts

Leave a Comment

2 × 2 =