Wayan Jengki Sunarta dan Dedy Arsya

Kompas edisi Sabtu, 2 Februari 2019, memuat puisi-puisi penyair Wayan Jengki Sunarta dan Deddy Arsya. Puisi-puisi tersebut kami kutip dan muat ulang di litera.co.id agar makin lebih banyak dibaca. Sebab, boleh jadi ada di antara penikmat puisi belum sempat membacanya.

Wayan Jengki Sunarta
Kampung Kongsi

di belakang Rex Bioscoop
di pusat Kota Sabang
sehampar kampung kumuh
merayakan hidupnya

kuli pelabuhan dari berbagai penjuru
mengadu peruntungan di situ
merajut harapan menebar jala

jalan sempit dan rusak
lorong-lorong usang
menjadi napas sesak
memberkati kampung

angin garam mengibarkan pakaian
bergelantungan di loteng-loteng papan
lelaki tua bermain catur di beranda
perempuan menjemur ikan asin

Kampung Kongsi seperti petak catur
prajurit dan raja seolah tampak sama
mengarungi hidup yang tak terduga

Vihara Buddha Dharma

Om Mani Padme Hum
aroma hio di sudut Kota Sabang
menuntunku memasuki vihara
dua patung singa depan gapura
penuh kasih menyapa

sepasang naga
melingkari wadah dupa
begitu jernihkah langit?
cahaya senja menerangi
celah kelam setiap jiwa

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
keheningan mengambang di udara
sayup-sayup kudengar sabda Siddhartha:
ke mana perginya api yang padam?

petang datang membawa bayang
azan menggema di pelosok kota
seirama getar genta dalam jiwaku

Klenteng Hock Siu Kiong

asap dupa menari di udara
mengiringi sepasang naga
mengarungi langit
bertabur cahaya lampion

namun, selalu saja
doa hamba belum tiba
di istanaMu

sepasang patung singa
menjaga gapura
betapa usia
tak sepenuh sempurna
di jalan kembara

doa hamba begitu rupa
berpadu waktu
menjalari bangunan merah

dan wajahMu
berpendaran
di telaga sukma

Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Buku kumpulan puisinya antara lain Pekarangan Tubuhku (2010) dan Montase (2016).

Deddy Arsya - Foto: idwriter.com

Deddy Arsya
Lengkung Teluk Painan

Ketika seumuranmu, ibuku dibawa perahu Bugis ke pulau terdekat. Matahari hanya sebesar telur penyu. Kau bercerita tentang nenek moyangmu, pasir-pasir melonjak dalam matamu. Seperti hantu dari masa lalu, kelepak terompah kuda, bendi yang dipacu terpaksa, dan erang sapi-sapi di padang-padang terbuka. Kita pernah bercita-cita membangun rumah dari semuanya. Aku pernah memberimu gelang dari pelepah pinang. Kita pernah berjanji untuk tak saling meninggalkan. Kita akan seperti sepasang burung, merajut sarang di satu dahan. Elang nasib berkitar-kitar di atas kepala. Tapi lengkung teluk ini – biduk-biduk nelayan, dan kota kecil bau ikan, pelabuhan kapal agak ke selatan, pekan tripang, lokan, dan umang-umang, derak pedati yang sesak muatan. Lenguh kerbau di tanjakan – telah mengajarkan kita untuk saling melupakan.

Lenguh Sapi di Padang Terbuka

Sapi-sapi melenguh di padang terbuka. Klenong genta di leher kuda terdengar berhiba-hiba. Aku kira kau yang tiba. Langkahmu sudah tak jelas terbaca di telingaku. Akan kusiapkan sesuatu. Aku hirup lepas udara, aku biarkan tanggal jatuh ke dalam sumur itu. Tetapi yang menggema hanya retak belanga. Buru-buru kutarik selimut masa lalu. Akan kuhidupkan lagi semak-semak belukar itu di hatiku. Suara angin menyibak jalan setapak. Anjing-anjing memburu salaknya sendiri. Malam tertusuk bayang-bayang hujan. Aku minta kau mencari duri dalam dagingku. Mencari ketuk dari pintu mimpiku. Musim-musim mersik, dan hutan-hutan bersayap warna kelabu. Kita menanti masa yang belum ternamai. Kau hanya sejengkal tanah yang tinggal setelah peristiwa besar. Leluhurmu melayarkan hidup dengan sebuah kapal. Tapi tak seorang pun dari kita kini bersedia pergi. Mata sirip ekor pari akan datang entah dari kedalaman mana dari dirimu. Melamunku dalam kuluman badai. Aku menyambarmu serupa kilat hujan lebat. Sapi-sapi itu melenguh lebih tinggi. Klenong genta itu terdengar lagi, berlari suaramu ke puncak ngiluku.

Dengan Apa Kita Akan Pulang?

Kita akan pulang naik bus. Ongkos pesawat semakin mahal. Duduk di tepi. Kau entah membayangkan apa. Tempias hujan di jendela. Aku singgah ke toko buku. Kau membolak-balik baju. Kuciumi pangkal lenganmu. Aku ciumi nasib pahitmu. Menyibak tepi rambutmu seperti menyibak hutan kaumku yang lenyap entah ke mana. Kita berjalan dari lorong ke lorong di kota ini. Aku bermimpi punya sepatu putih bertali hitam. Kau angankan boneka anjing yang tak lucu. Musim terus tua. Lipatan di keningku seperti kerut baju. Kau tak lagi pandai melucu. Kota ini melebur di balik mantelku. Kau kepayahan menyelesaikan tangismu.

Deddy Arsya tinggal kaki Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Odong-odong Fort de Kock (2013) dan Penyair Revolusioer (2017) adalah dua buku kumpulan puisinya.