ESAI 

Suguhan Etnis dalam Membaca Literasi: Catatan Tersisa Joglitfest

Mengusung tema global-lokal sastra dalam joglitfest 2019, bagai angin segar yang berhembus dalam dinamika literasi dan sastra. Tentu ada pesan berantai yang harus dimaknai secara kearifan lokal. Dua unsur budaya yang dipadukan, literasi dan sastra, yang dimanifestasikan dalam ceramah literasi dan seminar sastra seharusnya menjadi sangat menarik. Bukan hanya sebagai sebuah suguhan yang mempresentasikan keberadaan literasi dan sastra, tetapi bagaimana membangun konsep ke depan yang bisa memberi nilai kepada generasi penerus.

Kita sering terjebak dalam sebuah konteks acara yang dikatakan sebagai sebuah retorika simbolitas atau seremonial belaka, tetapi memaknai secara mendalam tentunya ada sebuah pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan. Kegiatan tahunan yang diadakan di Kota Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota budaya, tentu juga tidak terlepas dari setting local budaya setempat. Kota Yogyakarta yang memiliki daya tarik tersendiri, sering dibaca sebagai kultus peninggalan sejarah masa lalu. Tentu dalam kearifan kita, tidak meninggalkan budaya lokal daerah lainnya, yang menjadi satu bingkai dalam peradaban negeri nusantara ini.

Tentu timbul pertanyaan terkait judul di atas, yang menitikberatkan pada sisi literasi. Mengapa demikian? Peran literasi sangat penting seiring kemajuan dinamika zaman, yang saat ini memasuki era globalisasi. Sebuah era dimana teknologi digital telah menguasai dunia. Akibat kemajuan iptek yang begitu drastis, muncul beberapa perubahan dan pergeseran. Yang salah satu dampaknya juga mengikis nilai-nilai esensi budaya. Bagaimana mungkin kita mampu membaca konteks ini, jika kemampuan literasi kita sangat rendah! Maka, memahami literasi terutama literasi digital menjadi sebuah tantangan bagi para pegiat dan peminat budaya, termasuk juga bagi para sastrawan.

Ada kecenderungan, kita terjebak dalam arus konotasi bahasa dalam hubungan atau komunikasi bermasyarakat. Peran dan fungsi bahasa lokal yang merespon kebhinekaan bahasa kita, bukan berarti harus diganti dengan modernisasi budaya, yang sering kita sebut sebagai akulturasi. Membangun potensi bangsa secara utuh, adalah bagaimana kita bisa mewujudkan nilai-nilai peninggalan sejarah tetap hidup. Titik fokus ini, harus selalu kita pelihara, agar generasi ke depan tidak melupakan asal-usul budayanya sendiri.

Dalam kegiatan joglitfest, menyoal tema yang diangkat akan menjadi lebih bagus dan bijaksana, bila direalisasikan dalam bentuk nyata. Bagaimana kita melihat acara ini menjadi kesatuan pandang dalam berwawasan nasional, karena menjadi tempat berkumpulnya para pegiat sastra dan budaya dari seluruh pelosok negeri ini. Tentu, latar belakang daerah yang berbeda bisa dijadikan sebuah inspirasi dan komoditas ke depan dalam sebuah konsep integral, yang melibatkan berbagai pihak.

Menyoal karya-karya sastra, yang kadang membuat kita terlena dalam beberapa sudut pandang, bahwa produktivitas tinggi (kaya) dalam menghasilkan judul karya, tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai positif pada kehidupan literasi dan budaya. Artinya, kita terjebak dalam “kemiskinan” yang banyak berorientasi pada profit oriented (orientasi keuntungan). Ini memang kadang menjadi problem seperti benang kusut yang sulit diuraikan. Karena banyak para pegiat sastra dan budaya dihadapkan pada pilihan untuk bertahan di tengah problem ekonomi yang sulit. Dan harus kita akui, bahwa kehidupan semarak sastra bukanlah sebuah industri yang mampu mengendalikan roda perekonomian secara makro.

Terlepas dari problem di atas, penyelenggaraan Joglifest 2019 patut diberikan apresiasi, mengingat bisa memunculkan suguhan etnis yang harus kita tangkap dalam persepsi/sudut pandang positif. Peserta yang hadir hampir dari seluruh penjuru negeri ini dengan latar belakang budaya dan bahasa daerah yang berbeda. Euforia kota Yogyakarta sebagai kota budaya mampu menarik perhatian besar dari para pegiat literasi dan sastra. Tentu ini bisa memberikan kepekaan terhadap kesamaan budaya, bahasa, agama dan perilaku untuk menghasilkan sebuah nilai bagi generasi mendatang.

Persoalan tentang literasi menjadi sangat penting untuk menghubungkan fenomena dan perubahan yang diakibatkan oleh era globalisasi di masa kini. Sastra dan budaya tidak akan mampu berjalan tanpa peran literasi, dan selama ini banyak kita salah artikan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat seremonial belaka. Ada substansi persoalan masalah literasi yang seharusnya mampu menjawab tantangan zaman. Bukan sekedar sebuah suguhan sublimatif (bersifat sublimasi) yang pasif dalam pengembangan ide-ide kreativitas pemikiran.

Belajar dari sebuah pelajaran yang dianggap sebagai sebuah kontroversial penghargaan hadiah Nobel tahun 2019, seorang Peter Handke, seharusnya menjadi cermin bagi para pegiat sastra di Indonesia. Arus dinamika politik seharusnya tidak menjebak para pegiat sastra dan literasi, hingga banyak esensi nilai yang ditinggalkan. Dampak lain juga bisa memunculkan rasa ego terhadap perbedaan etnis sastra dan budaya. Kita juga harus banyak belajar dari Festival de Cannes yang sangat profesional dalam mengartikan makna sebuah nilai seni.

Masih banyak catatan panjang yang harus diluruskan dalam menangkap persoalan literasi untuk membaca tantangan era globalisasi bagi generasi ke depan. Pendalaman sastra seharusnya dibarengi dengan pendalaman literasi, bahasa dan budaya. Jika saat ini makin marak sastra digital, bukan berarti perkembangan sastra makin maju, tetapi karena makin majunya teknologi media digital. Catatan dari penyelenggaraan Joglifest, seharusnya dijadikan motivasi setelah kembali ke daerahnya masing-masing. Tergantung bagaimana kita membaca literasi dalam konsep global-lokal hingga akhirnya mampu melahirkan nilai yang berkualitas. ***

 

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964 Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya. Namanya termaktub dalam Buku APA DAN SIAPA PENYAIR INDONESIA (tahun 2017). Buku kumpulan puisinya Biarkanlah Langit Berbicara dan Sajak Kematian (2017). Karyanya banyak tersiar di media massa.

Related posts

Leave a Comment

19 − 17 =