SASTRA DAN KEGILAAN MENEKUNI BAHASA

Oleh Supadilah Iskandar, cerpenis dan pengajar

————————————————————————————–

Dalam novel-novel karya Iwan Simatupang nampak jelas penggambaran dirinya yang terlalu masuk ke dalam arus eksistensialisme Barat, tentang manusia-manusia yang kesepian, kesendirian, keterasingan, yang merasa bahwa seluruh aspek kehidupan manusia hanyalah siklus benang kusut, amoral, nisbi, tanpa pegangan kepercayaan hingga cenderung areligius. Tetapi, pengertian “areligius” ini janganlah diartikan sebagai “anti-religi” ataupun “anti-moral”. Mereka sebenarnya terombang-ambing dalam pemikiran dan kesadaran bahwa “Tuhan telah mati”. Namun paling tidak, yang dipersoalkan oleh mereka hanyalah suatu pemberian fungsi tentang agama dan Tuhan.

Perlu diakui secara jujur, bahwa karya-karya orang Indonesia yang tergenangi irigasi eksistensialisme Barat, sebenarnya masih bercokol kuat di kalangan sastrawan dan intelektual meteropol kita. Mereka seakan mengidap intelektualisme pendidikan akibat bacaan-bacaan ribuan dan jutaan eksemplar buku-buku Eropa dan Amerika, berikut peran industri penerbitan dan percetakan yang diagendakan oleh mereka. Jadi, pada prinsipnya oligarki kesusastraan Barat tetap valid hingga saat ini.

Tema kesendirian dan kesunyian, baik dalam karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya hingga Pramoedya, memang secara implisit mengandung unsur politiknya sendiri sebagai sastrawan. Tanggungjawab pemerintah selaku pemegang kewenangan, hendaknya cukup peka dan peduli terhadap nasib ribuan sastrawan negeri ini, yang sebagian dari mereka sedang duduk di pojokan sana, seakan serempak membaca sajak Handrawan Nadesul dengan judul sepanjang gerbong kereta api: “Akan jadi bagaimana nasib anak-anakku kalau nanti juga hanya ada semangkuk bubur jagung untuknya, seperti pagi ini aku tengah mengunyahnya?”

Terkait dengan itu, H.B. Jassin pernah menyatakan (1955), bahwa sastrawan angkatan ‘45 jauh lebih independen ketimbang era sesudahnya. Mereka hanya mengabdi pada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari sekalian isme. Mereka juga tidak berpikir dengan istilah-istilah, melainkan hidup dari pusat pribadi manusia.

Tetapi, bagaimana kita hendak melepas isme dan baju-baju kita, jika kita harus bersentuhan dengan adat dan tradisi keluarga dan kampung halaman kita? Bagi Putu Wijaya dalam novelnya “Telegram”, tidak jarang persentuhan dengan budaya lokal justru makin memperuncing persoalan yang sulit ditanggulangi pemecahannya. Dalam novelnya tersebut, ia menggambarkan bahwa sang tokoh terpaksa harus mudik setelah sekian tahun tak pernah jumpa dengan kampung halamannya.

Ia terpaksa harus mengalah dan menyarungkan ego-ego pribadinya untuk sesuatu yang baginya kecil dan sepele, namun bagi orang lain boleh jadi sangat vital dan bermakna. Ketika datang telegram mengabarkan orang tuanya yang sedang sakit keras, ia pun terpaksa berhadap-hadapan dengan kultur peradaban kampungnya.

Meskipun semula terombang-ambing penuh keraguan, namun secara diam-diam sang tokoh masuk ke rumah orang tuanya, bersimpuh di hadapan ibunya, seakan-akan ia masuk kembali dalam “perangkap keluarga” pada saat ia tidak punya kekuatan untuk rujuk dengan tradisi kampungnya. Hal ini sehaluan dengan novel Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer), meskipun temanya sama-sama sederhana namun mengandung kejutan-kejutan filosofis yang sangat tajam. Pada kedua tema tersebut tak lepas dari “keterjebakan” masuknya sang tokoh dalam penjara keluarga, yang identik dengan masuknya ia ke dalam penjara hukum adat maupun pemahaman agama yang kaku, moderat dan konservatif.

Sang tokoh seakan menggugat situasi dan keadaan, terperangkap dalam situasi gelap, di saat ia harus mengambil keputusan tegas meskipun menghadapi risiko menderita dan terhakimi oleh peradaban kampungnya. Ia berusaha menggapai-gapai sinar di lorong-lorong gelap, mencari-cari sepercik cahaya, meskipun ia harus menyadari bahwa sumber cahaya itu hanya ada dalam nuraninya sendiri.

Nilai-nilai tradisional yang dianggap sakral oleh masyarakat kampung telah dibedah dan diverbalkan oleh kekuatan sastra yang menggedor jiwa dan kalbu kita semua. Karena memang, karya sastra adalah cara terbaik untuk menempuh jalan pencerahan dan transparansi pemikiran agar mampu melihat konsep diri, bercermin diri secara utuh. Sesekali ada yang menyebut sebagai proses sekularisasi yang profan, tetapi toh bukan dalam konteks sekularisme ansikh yang rasional tulen. Ada pertimbangan nalar dan akal budi, serta nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Menurut orang-orang bijak, ketika berhadapan dengan budaya dan kultur setempat, sesuatu yang bersifat ilmiah-rasional, bahkan yang bersifat syariah (hukum-hukum agama) terpaksa harus mengalah demi kemaslahatan bersama.

Karya sastra memang paling jitu untuk meneropong tradisi dan peradaban kampung, menggambarkan fenomena kehidupan masyarakat Indonesia secara jujur dan apa adanya. Ia merupakan wahana untuk mengembangkan konsep diri yang baik. Karya sastra yang baik, merupakan sarana penting bagi proses pendewasaan bangsa ini, yang di dalamnya bukan mengajarkan kultus dan doktrin, serta tidak ada gugatan lewat penghakiman hitam-putih.

Dengan karya sastra yang baik, masyarakat kita dibuat melek dan sadar diri. Dengan kualitas sastra yang baik, mereka dibuat bangkit untuk mengenali berbagai peradaban manusia secara luas. Ada banyak tema-tema penting dalam kehidupan masyarakat yang bisa dikemas menjadi bahan-bahan dramatik yang bisa dipantulkan untuk membangun emansipasi perubahan dan kemajuan bangsa.

Tidak jarang sastrawan, ketika memulai karya sastranya, mereka berangkat dari asumsi tentang apa-apa yang menarik bagi pembaca. Pertimbangan ini sangat ekonomis dan kapitalistis. Mereka sebenarnya paham bahwa seni tidak semata-mata diperuntukkan bagi seni. Mereka mengerti tentang apa yang hendak dicapai dari sebuah karya sastra, tetapi mereka juga perlu menyadari bahwa di tengah iklim ketidakadilan dan korupsi yang masih merajalela – termasuk korupsi intelektual – maka karya sastra yang membangun dan membangkitkan kecerdasan rakyat, harus menjadi patokan untuk sasaran yang hendak dicapai.

Bahwa estetika, pilihan diksi dan nilai-nilai kebenaran perlu diperjuangkan, itu ada benarnya, tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni nilai-nilai etika yang akan mengarahkan pembaca pada moral massage yang baik. Di sinilah kualitas dan keabadian suatu karya sastra akan teruji. Jadi pada prinsipnya, melalui karya sastra, rakyat Indonesia harus dididik agar menjadi pintar. Sebab, menjadi naïf dan absurd bagi seorang sastrawan, jika ia ingin melepaskan diri dari kodrat manusia Indonesia, yang harus bangkit dalam keterpanggilan sejarah, untuk mengajak orang-orang menuju jalan kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Sastrawan harus menyadari bahwa keterpanggilan itu bukan berarti mengisolasi diri dalam biara, atau beritikaf di tempat-tempat peribadatan yang eksklusif.

Wilayah sastra, yang kemudian diakui dan dilegitimasi oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, adalah dunia unik bagi orang-orang jenius yang aktif menekuni bahasa. Mereka bereksperimentasi dengan bahasa, serta berani mengorbankan ruang dan waktu untuk masuk dalam kegilaan menekuni bahasa. Sangat jarang orang yang diharapkan mampu memiliki ketekunan menggeluti bahasa, seperti halnya tidak semua orang memiliki ketabahan berhadapan dengan rumus-rumus matematika, ekonomi atau angka-angka dalam fisika kuantum.

Sastrawan yang baik akan paham prioritas dan sasaran utama yang hendak dicapai demi pencerdasan dan kedewasaan bangsa ini. Semua itu tak lepas dari nilai-nilai esensial bagi kebaikan manusia agar dilajani. Mereka memiliki gaya dan ciri khasnya masing-masing. Mereka menguasai tips-tips maupun teknik yang bagus untuk mempersembahkannya kepada publik. Mereka juga meyakini, sehebat apapun ide dan gagasan dalam pikiran Anda, jika Anda tak punya kecakapan dan kejeniusan untuk menuangkannya ke dalam teks dan bahasa yang baik, maka ide-ide besar itu akan hilang dan menguap, seiring dengan batas-batas usia Anda. *

 

Supadilah Iskandar, adalah cerpenis dan pendidik sastra di pedalaman Banten Selatan, menulis artikel dan cerpen di berbagai media massa daring dan luring.

Related posts

Leave a Comment

2 × one =