Agenda 

Sangkan

Cerpen Dianing Widya Yudhistira

DI KAMPUNG ini, tak ada yang tak kenal Sangkan. Laki-laki berperawakan tinggi, bertubuh kurus, wajah tirus dengan tulang pipi keras itu memang membuat gentar setiap orang. Matanya sama sekali tak enak saat bertatapan dengannya. Mata yang tak teduh, yang kadang redup karena minuman keras yang merasuk ke tubuhnya, terkadang garang karena amarah.

Sangkan gemar membuat keonaran. Setiap hari pekerjaannya keliling pasar mengambil paksa dagangan orang untuk memenuhi keperluan dapurnya. Pekerjaan resminya menjaga parkir sepeda di atas lahan warisan, di depan pasar dengan tarif harga pas. Artinya, tak melayani kembalian. Berapa pun uangnya tak akan ia kembalikan kelebihannya.

Itu pula yang membuat orang-orang menggerutu karena lupa menukar uang receh terlebih dahulu. Jika ada yang meminta uang kembalian, cukup dengan mendelikkan matanya saja orang sudah bergidik tengkuknya, untuk kemudian memutar balik sepedanya. Toh, demikian tak ada pilihan bagi para pelanggan Sangkan. Di pasar itu hanya tanah dia yang masih kosong. Tanah kosong di sekitar pasar sudah berubah wujud jadi kios-kios dan deretan ruko.

Perangai Sangkan sudah dimaklumi orang-orang di kampung ini. Tijah, istri Sangkan, malu bukan main. Ia geram jika Sangkan pulang membawa bermacam-macam belanjaan. Ia mencatat semua barang yang dibawa pulang, lalu bergegas ke pasar. Menanyai siapa saja yang dagangannya diambil Sangkan, lalu membayarnya. Merepotkan, tapi itu harus ia lakukan. Ia tak nyaman jika harus makan dari hasil rampasan Sangkan.

Ia menyesal mengapa mau dipaksa nikah sama Sangkan, hanya karena ia belum menikah di usia 30 tahun. Ayahnya yang sedang sakratulmaut waktu itu memaksanya untuk menerima lamaran Sangkan. Ia yang terdesak menghadapi orangtua yang tinggal menunggu waktu itu mengiyakan saja desakan ayahnya.

Tijah membanting sarung yang baru dilipatnya di atas lincak. Ia benci peristiwa itu. Mestinya ia menolak keinginan ayahnya. Tak menikah dengan Sangkan. Sekarang ia hanya bisa meratapi nasib. Menjadi perawan tua memang riskan, tapi tak kesepian seperti sekarang ini. Begitu Tijah mengeluh.

Menikah dengan Sangkan terbukti membebaskan dirinya dari gunjingan para tetangga, tetapi tak serta-merta membuat ia bahagia. Witing tresno jalaran soko kulino, tumbuhnya cinta karena sering bersama, tak terbukti dalam pernikahannya. Yang ada, semakin hari Tijah semakin benci sama Sangkan. Ia tak berdaya. Ia tak berani melawan Sangkan. Cukup dengan mata Sangkan yang mendelik sebagai isyarat jangan digugat, Tijah sudah ciut nyalinya.

***

Matahari baru terbit ketika Rukiyah menaruh sepeda. Dilihatnya Sangkan sedang pulas di kursi panjang, di antara beberapa sepeda yang terparkir. Ia meneruskan ke pasar untuk membuka kiosnya. Rukiyah dan orang-orang yang hendak menitipkan sepeda hanya mengira Sangkan tertidur. Sangkan memang suka tidur di parkir sepeda ketimbang pulang ke rumah, jika hari telanjur larut. Tapi ketika matahari sudah tinggi dan Rukiyah mendapatkan posisi tidur Sangkan yang tak berubah, ia mulai curiga. Terlebih lagi ketika orang-orang mengatakan tidur Sangkan sangat pulas sejak tadi pagi. Tak ada yang berani mendekatinya, apalagi membangunkannya.

Rukiyah memberanikan diri mendekati Sangkan, dan memanggilnya beberapa kali. Tak ada tanggapan dari Sangkan, bahkan tubuhnya teramat diam. Rukiyah semakin curiga. Dipandanginya Sangkan lekat-lekat. Panggilan Rukiyah yang berkali-kali membuat orang di sekitarnya ikut mendekat. Beberapa orang laki-laki ikut membangunkan Sangkan, tapi sedikit pun Sangkan tak bergerak. Salah satu di antara mereka mendekatkan punggung telapak tangan ke hidung Sangkan. Sejenak ia mengernyitkan dahi. Orang-orang saling berpandangan. Sepeda-sepeda yang terparkir membisu.

“Sepertinya ia sudah tak ada.”

“Mati?” ujar Rukiyah dengan nada bertanya.

“Ya.”

Biar pun Tijah benci Sangkan setengah mati, kematian suaminya tetap membuat ia pilu. Saat-saat seperti itulah ia baru merasakan memiliki suami. Segala perbuatan Sangkan yang membuatnya malu tak berbekas di hatinya. Doa tulus menggema di hatinya. Hingga di depan jasad Sangkan ia masih tak percaya Sangkan telah mati. Sangkan hanya tertidur. Sebentar lagi ia bangun, katanya. Jika Sangkan bangun nanti, ia bertekad memperbaiki perangai Sangkan yang kasar. Ia ingin Sangkan berubah jadi orang alim. Sangkan yang lembut dan suka menolong. Alangkah senangnya jika ia memiliki suami seperti dalam angan-angannya. Ia berharap, Tuhan mengubah Sangkan, jika Sangkan bangun dari tidurnya.

Orang-orang, biar pun tak suka dengan Sangkan, tetap meringankan langkahnya ke rumah Sangkan untuk mendoakannya. Memohon yang kuasa memaafkan segala perilaku Sangkan.

***

Sayup-sayup Sangkan mendengar alunan bening dari kejauhan. Alunan yang menerbitkan perasaan damai, tentram, dan hening. Ia ingin berlama-lama mendengarkan alunan lembut itu. Ia ingin menikmati alunan itu tanpa henti. Ia ingin kembali ke jalan Tuhan. Ia ingat perilakunya selama ini ke Tijah, juga pada semua orang. Ia menyesal telah merugikan banyak orang. Aku ingin tobat Gusti. Ingin tobat.

Rukiyah membulatkan matanya. Antara percaya dan tidak, kain yang menutupi wajah Sangkan bergerak naik turun. Bernapaskah Sangkan? Kain itu terus bergerak naik turun. Rukiyah histeris meneriakkan jika Sangkan hidup lagi, diikuti orang-orang mengaji yang memperhatikan Sangkan membuka kain penutup jenazah. Orang-orang kalang kabut keluar dari tempat Sangkan dibaringkan.

Hanya dalam sekejap orang-orang mengosongkan rumah Sangkan. Tijah lemas, tulang-tulangnya seperti lepas dari raga demi dilihatnya Sangkan duduk di tepi kasur. Keesokan hari tempat parkir sepeda Sangkan melompong. Orang-orang takut ketemu Sangkan. Satu minggu kemudian baru satu dua orang menitipkan sepeda. Kali ini Sangkan tak mematok harga. Berapa pun orang memberi ia terima dengan senang hati. Sangkan mulai gemar mengucapkan terima kasih. Ia juga membantu pelangannya mengaitkan karung atau keranjang ke bagasi sepeda.

Perubahan sikap Sangkan pelan-pelan membuat orang jatuh hati padanya. Bahkan Sangkan menemui orang-orang yang dulu diambil paksa dagangannya dan hendak membayar semua barang yang pernah ia ambil. Orang-orang pun menyampaikan padanya, jika Tijah sudah membayar semua barang yang diambil Sangkan. Sangkan malu pada Tijah dan meminta maaf.

Melihat perubahan Sangkan, Tijah heran dan justru tak mengenali Sangkan sekarang. Hampir semua pekerjaan rumah dibereskan oleh Sangkan. Ia hampir tak melakukan apa pun. Ia heran Sangkan sangat terampil memasak, menyapu, mencuci, sampai menyiram tanaman.

“Siapa sesungguhnya Sangkan?”

Keheranan Tijah mengental ketika Sangkan tiba-tiba bisa menyembuhkan Waskito yang kena batuk kronis. Hanya dengan usapan tangan Sangkan di punggung Waskito, Waskito terbebas dari penyakit batuk yang menahun.

Tanpa diminta Sangkan mengunjungi Sugeng. Didapatinya Tinuk yang tengah demam tinggi. Sugeng bingung karena obat dari dokter tak juga menurunkan demam Tinuk. Sangkan membelai dahi dan rambut Tinuk dengan lembut, seraya berkata sebentar lagi Tinuk sembuh. Hanya sekejap setelah Sangkan keluar dari rumah Sugeng, tak ada bekas sama sekali jika Tinuk baru saja demam tinggi. Ia sembuh dan mulai bermain dengan teman-temannya.

Lain kali Sangkan mengunjungi Sandi anak tunggal Darti yang hampir gila karena tunangannya mengembalikan cincin pertunangan dan menikah dengan pria lain. Sandi yang terlanjur terperosok dalam cinta itu lupa mandi, lupa makan, juga minum. Yang ia ingat hanya nama mantan tunangannya. Sangkan hanya meraba dahi dan rambut Sandi seraya berkata; sembuhlah. Tak lama setelah Sangkan keluar dari rumah Darti, Sandi kembali waras. Kembali bekerja mengurus sawah yang lama ia lupakan.

Sangkan yang mampu menyembuhkan bermacam penyakit itu dikenal dari mulut ke mulut. Banyak orang ingin datang berobat kepadanya tetapi tak pernah satu pun orang yang datang bisa bertemu dengannya. Sangkanlah yang tanpa diminta mengunjungi orang yang membutuhkan pertolongannya.

Sejak itu, Sangkan ditunggu-tunggu oleh keluarga yang sedang kesusahan, tapi karena banyak orang yang membutuhkan pertolongannya, orang-orang bertekad menunggu Sangkan pulang ke rumah. Mereka menunggu Sangkan di warung yang tak jauh dari rumah Sangkan. Seseorang memberi isyarat untuk tidak berisik ketika Sangkan melewati warung. Masing-masing dari mereka bertekad menemui Sangkan dan meminta Sangkan menyembuhkan penyakit saudara mereka.

Setelah yakin Sangkan sudah masuk ke rumahnya, mereka segera menuju rumah Sangkan. Tijah yang hendak menutup pintu heran melihat begitu banyak orang berkerumun di halaman dengan tujuan sama; bertemu Sangkan.

“Sangkan belum pulang.”

Orang-orang tak percaya pada ucapan Tijah, dan menuduh Tijah menghalangi mereka. Tijah yang memang tak melihat Sangkan pulang, bersikeras mengatakan jika Sangkan belum pulang.

“Ini sandalnya,” ujar salah satu dari mereka sambil menunjuk sandal yang tergeletak di atas keset. Tijah mengernyitkan dahi. Ia benar-benar tak melihat Sangkan pulang, tapi sandal di atas keset itu memang satu-satunya sandal Sangkan.

Orang-orang tanpa ampun merangsek ke dalam rumah. Mereka ramai-ramai mencari Sangkan dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Sangkan tak ditemukan. Jejaknya menghilang.

2015


DIANING WIDYA, novelis, tinggal di Depok. Novelnya, Sintren (2007), Perempuan Mencari Tuhan (2010), Weton (2010).

Related posts

Leave a Comment

twenty + 11 =