Agenda 

Membaca Pesan Sufistik Puisi HSP

oleh: Mahrus Prihany, Divisi Organisasi dan Kaderisasi KSI Pusat

 

Artikel ini adalah semacam tinjauan atas buku MemujaMu di Tahta Langit, sebuah buku kumpulan puisi tunggal karya H. Shobir Poer, selanjutnya disingkat HSP yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Tangerang Selatan (DKTS) bekerjasama dengan Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Tangerang Selatan pada tahun 2013. Buku ini mengalami cetak ulang pada tahun 2016.

MemujaMU Di Tahta Langit adalah karya tunggal yang kelima yang ditulis oleh HSP diluar dari karya beliau yang berbentuk antologi atau kumpulan puisi yang ditulis bersama para penyair lain yang telah mencapai belasan. Tentu sebuah prestasi yang membanggakan yang menunjukkan semangat dan konsistensi HSP dalam dunia kesusasteraan Indonesia, khususnya kota Tangerang Selatan. Ini tak mengherankan karena HSP memang telah aktif dan berkiprah sejak beliau muda. Hal ini bisa ditandai dengan keterlibatan HSP dalam banyak komunitas dan organisasi Seni, Sastra dan Budaya.

Dengan dibukanya kata sambutan yang ditulis oleh Walikota Tangerang Selatan, Kepala Budpar Tangsel dan ketua DKTS, HSP seperti ingin menunjukkan kecintaan dan perhatian besarnya pada kota Tangerang Selatan yang beliau cintai. Sebagai seorang pegiat Sastra ulung yang berdomisili di Kota Tangsel dan banyak beraktifitas di kota ini, HSP lewat buku puisi ini ingin mengajak kita semua, dan warga Tangsel khususnya untuk tak lelah dan berhenti berbuat serta berkarya. Bersyukur usaha HSP tidak sia-sia dengan melihat dan membaca pengisi sambutan untuk buku ini.

Prolog buku ini ditulis oleh Sastrawan Besar Indonesia Ahmadun Yosi Herfanda. Prolog yang memukau dari beliau menunjukkan apresiasi beliau pada puisi-puisi dalam buku ini. Tanpa ragu dan dengan bahasa yang lugas, Ahmadun menyebut bahwa buku ini semakin mengukuhkan kepenyairan HSP dan menempatkan HSP sebagai penyair religius Indonesia yang cukup konsisten dengan tema-tema keagamaan. HSP juga disebut sebagai penerus barisan panjang dari suatu tradisi religiusitas yang telah dimulai sejak Hamzah Fansuri.

Ada 67 puisi yang terangkum dalam buku puisi ini, sebagian dari puisi tersebut memang telah dimuat dalam beberapa media massa. Sebagian besar lainnya ditulis HSP sebagai persembahan beliau pada khalayak untuk berbagi pengalaman diri tanpa bermaksud untuk menasehati, menggurui atau bahkan menyakiti hati orang lain. Harapan HSP akan buku ini adalah upaya pendedah hati bagi pembaca, dengan bahasa yang santun dan rendah hati, HSP ingin pembaca dapat memperoleh setitik debu atau setitik cahaya.

MemujaMu Di Tahta Langit berisi puisi HSP dalam rentang 2008-2012. Suatu fase singkat jika dibandingkan kiprah HSP yang telah tiga dasa warsa lebih dalam dunia kesusastraan. Fase empat tahun penulisan puisi dalam buku ini setidaknya bisa menjadi representasi diri HSP di mata para pembaca dan pegiat sastra. Karya adalah sebuah kejujuran, begitu yang selalu HSP katakan. MemujaMu Di Tahta Langit adalah sebuah kejujuran hati HSP yang kemudian tertuang dalam kata-kata yang indah dan puitis.

Hampir semua karya dalam puisi ini bertema religius. Jika menggunakan bahasa yang lebih spesifik, adalah bertema sufistik. Jika mengacu pada pengertian bahwa yang disebut karya sufistik adalah karya yang mengandung ajaran kesufian, sementara ajaran kesufian adalah ajaran yang mengandung pesan moral dan spiritual akan Tuhan dan dimensi batin manusia memandang dunia (Bani Sudardi, 2003), maka pesan sufistik itu bisa kita baca pada puisi-puisi HSP.

MemujaMu Di Tahta Langit mengajak manusia untuk kontemplasi dan merekonstruksi ulang akan sifat penghambaan pada Tuhan. Adalah suatu hal yang sesungguhnya telah jelas bahwa manusia adalah hamba atau mahluk, dan Tuhan adalah Khalik. Fenomena dan silau keindahan dunia sangat sering melupakan manusia akan Tuhan. Manusia menjadi lupa akan kesejatian seorang hamba. Kita lebih lanjut bisa tergelincir menjadi merasa lebih tinggi dari sesama mahluk lain karena sikap kesombongan. Kesombongan karena jabatan, harta dan kekayaan atau bisa jadi karena kecerdasan rasional.

Nada dan sikap penghambaan bisa ditilik dari banyak puisi dalam buku ini. Puisi “Membuka Langit Jingga” mengajak kita untuk selalu terus menghamba Sujud pada Tuhan. Puisi ini adalah suatu sikap kepasrahan total manusia pada sang Khalik. Bumi yang didiami adalah bumi yang harus selalu kita cium dengan sujud dan tunduk. Kita diingatkan bahwa suatu ketika kita akan pulang pada keabadian. Dengan sikap tunduk mengharap ridha dan rahmat serta kasing sayang Tuhan, tentu kita berharap kembali ke keabadian tanpa pernah sedikitpun berpaling dariNya.

 

Tuhan,

Aku ingin terus menghamba sujud padaMu

menciumi bumiMu, berlamalama tunduk

harap ridha dan rakhmat

yang akan Kau aliri ke kedung jiwa

selalu diintip sayangMu

berlamalama mengayuh tasbih bersama malam

 

“Di Ujung Cinta Kudapatkan Tuhanku” memberi pesan abadi tentang cinta sejati akan Tuhan. Kita telah berlari kemanapun. Seluruh penjuru telah kita datangi, apa yang kita dapatkan? Mungkin jatuh, lapar, bau, sekarat dan segala hal buruk. Tetapi saat kita kembali pada apa yang disebut cinta, akhirnya kita akan mendapatkanNya.

Di atas hanyalah pesan dari dua puisi dalam buku ini. Ada 65 puisi lagi yang akan mengajak kita merenung tentang cinta, keluarga, iman, Nabi, kesejatian dan Rahmat Tuhan. Bahkan pada puncaknya, pada puisi terakhir yang dijadikan judul untuk buku ini, kita akan merasakan betapa kecil dan lemahnya kita sebagai manusia. Ingatan panjang kita tentang nenek moyang manusia yaitu Adam dan Hawa di surga yang tergoda buah terlarang hingga kita manusia harus tinggal di bumi yang telah renta. Tuhan tak membuat dan menghukum manusia dengan menanggung dosa, maka Tuhan mengutus Muhammad untuk menjadi penyempurna yang mengabarkan cinta dan membawa manusia dari suatu kegelapan menuju suatu keadaan yang terang dan penuh makna.

Dunia sesungguhnya ladang tempat bertasbih dan mengagungkan namaNya. Dimanapun kita berada, maka sesungguhnya adalah tempat ibadah. Ibadah adalah ketika kita melakukan aktifitas apapun semata karena cinta kita padaNya. Mencintai istri, mencintai harta, mencintai dunia adalah tentu bukan suatu hal terlarang, bahkan Tuhan mengharuskan kita mencintai keluarga, sesama dan semua mahluk yang ada di semesta ini, hanya cinta itu semata karena kita mengharap cinta dan RidhaNya.

Kita tak akan pernah bisa membohongi nurani kita, bahwa sesungguhnya di lubuk kita terdalam, saat kita berada dalam kesunyian dan perenungan, betapa hati nurani kita sungguh lemah, lembut, dan penuh cinta.

Buku ini akan mengajak kita untuk selalu memujaNya. Dengan memujaNya sesungguhnya kita akan semakin mengenal diri kita, dan menjadi seutuhnya manusia lalu kita bisa kembali mengenalNya. Sebagaimana ucap pujangga dan sufi terkenal Jalaludin Rumi (1207-1273) saat pujangga agung itu mengatakan “yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya.”

Related posts

Leave a Comment

sixteen − 3 =