puisi 

Puisi-puisi Fatah Anshori

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di media-media online.

 

 

Petani Tua dan Ladang Padi

 

Apa yang diharapkan seorang
petani tua di ujung usianya. Ladang-ladang
padi sudah bosan menatap wajahnya dan
butir-butir peluh di tiap lekuk kerutan. ia telah

biasa pada berita duka, semenjak istrinya
diusung keranda pada sore hari. Iring-iringan
orang dan ucapan-ucapan kalimat
suci hanya membuatnya​ sakit hati.

Benih-benih padi memilih berhenti memberi
harapan. belukar dan rumput liar bekerja sama
merimbunkan ladang, sebagaimana yang dikerjakan
sepi dan sunyi atas si petani. Ia tak mempunyai menu
makan hari ini

Kecuali aroma istri yang telah pergi
tempo hari.

2017

 

 

Menanggalkan Hari Libur

 

Hanya ada abu tanpa tungku di hari
Minggu. Apinya baru saja melumat kering
kenangan menjadi asap yang lembab yang
menyisakan embun di putik-putik ingatan.

Tidak ada musim dingin di tubuhnya, kecuali hanya
panas yang menyala-nyala. Pohon-pohon memilih
menggugurkan daunnya. Karena tidak ingin
meneduhi siapapun termasuk dirimu.

Ia tidak peduli lagi pada anak kecil dan hari
Minggu. Taman bermain telah diganti tanam paksa,
lelaki itu telah membunuh demokrasi di dirinya
serta menanggalkan seluruh hari libur
di rumahnya.

2017

 

 

Bertamu di Rumah Sendiri

 

Sisa-sisa purnama pada tanggal lima belas
adalah kabut pekat yang mengambang di
pelataran wajahmu. anak-anak perempuan
di lahirkan bersama tangis yang tak
berkesudahan. Ada pesta bunuh diri
di buritan.

Ini adalah orkestra sepi. Ruko-ruko berhenti
menawarkan diri untuk pembeli. Kunci rumah
yang hilang adalah tanda tanya yang
mengeras di kepala. Bagaimana aku
bisa bertamu. Aku tidak mungkin menjadi
maling yang mencongkel jendela dan
melompat masuk di rumah sendiri.

Entah sejak kapan kau mengeras seperti
es batu di kulkas. Butuh selusin musim untuk
melumerkan ingatan yang telah mengawini
dendam. Itu semacam polusi di dalam diri.

Maka dengan segenap kesabaran aku hanya
bisa duduk di pelataran. Di kursi tua bersama tungau,
dan belukar yang kerap merambati kaki.

Aku sudah menghapus harapan untuk
bertamu di rumah sendiri. Tapi aroma itu
masih lekat di pucuk-pucuk ingatan.

2017

 

 

Related posts

Leave a Comment

10 − four =