Puisi Setia Naka Andrian
Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Menerbitkan buku puisi, Perayaan Laut (April, 2016). Saat ini sedang menyiapkan beberapa penerbitan buku puisi, di antaranya Manusia Alarm dan Orang-Orang Kalang. Beberapa komunitas berprosesnya, di antaranya Lembah Kelelawar, Teater Gema, Teater Nawiji, Teater Atmosfer, Jarak Dekat, Rumah Diksi, dan Komunitas Musisi Kendal (Komik). Puisinya tergabung dalam banyak antologi.
Kampung Kita
I
Kita yang belum tunai, sejak lahir,
Bahkan sebelum udara dihembuskan
dari ubun-ubun ini
Di kampung Wanglu Krajan,
kita pejamkan telinga
Suara orang-orang berlalu-lalang
terbang tanpa kendara
Mereka memenggal tangan-tangannya
Lalu mengubur potongan-potongannya
di setiap penjuru mata angin
dan mata batin
Kita lah takdir itu
Dari mesin penanak besi
Kita lah diri paling sepi
Dari penyesalan yang tak kunjung berhenti
II
Di kampung, kita pejamkan dada
Dari ribuan degup
yang kerap dihujani mantra-mantra
Dari setiap kuburan dan sejarah orang-orang
Kita banyak menyesali ragam aroma bepergian
Di kampung, kita doakan sanak-saudara
Kita bertanya, siapa garis bapak kita
Seperti apa wujud kita jika urung dilahirkan
Di kampung, kita rayakan kematian
Ibu kita tak berdaya mendahsyatkan doa
Sejak ia ditikam
dan urung dihuni bapak yang sementara
Di kampung, kita lupakan dalam-dalam
diri kita ini yang setiap pagi ditulis dari suara gigi
Betapa gemeretak nyali,
diawali dengan kesungguhan
siapa yang lebih pantas memilih
Kita laki-laki atau kita perempuan
yang lebih dulu menarik panjang tubuh-tubuh luka
III
Di kampung, kita begitu lupa
Mengimani diri dalam sejarah derita
Sebelum semua membalik kegetirannya
Sebelum kedatangan agama-agama,
Sebelum Samawi dan segalanya mewabah tiba-tiba
Sebelum keyakinan dibentangkan di ujung telunjuk kita
Lihatlah, setiap pagi, arahnya kerap berkelahi
mereka ingin sesekali menjumpai
kegagalan yang luput direncanakan
sebab, kita lah yang dipegang kendali-kendalinya
Kita lihat, di kampung Wanglu Krajan
Perempuan dipasrahi memimpin upacara
Obong mitungdina menyembur ke langit,
Burung-burung seakan lepas
Mengendarai angin saban musim
Mereka lepas upacara mendhak,
Upacara ewuh bertebaran pula
Jalan-jalan penuh
Kemuliaan yang lupa dikubur-kubur
Kita saksikan di kampung kita
Roda berputar cepat, dengan sendirinya,
Tiada lagi kendali kita
Kendal, Agustus 2016
Kalang dan Kehidupan Kecil
Kalang, aku kini kehidupan kecilmu
Didirikan dari tenda pengasingan
Dari doa yang dibayang-bayang
Lalu apa jadinya masa depan
yang kerap dilupakan di hari-hari kelahiran
Itukah tubuh, yang dihuni banyak senapan
Dialirinya seribu nyawa
Diunggah dalam belantara
yang tak lagi kasat mata
Dalam setiap kicauan-kicauannya
Apalah kehidupanmu
Sekecil aku
Sisa dari jutaan waktu
Yang direkam dengan sangat keliru
Yang ditinggalkan dengan begitu terburu
Kalang, bukankah aku kehidupan kecilmu
Yang melarikan diri
Melupakan banyak hari-hari besarmu
Kendal, Agustus 2016