puisi 

Puisi-puisi Budhi Setyawan

Budhi Setyawan, lahir di Purworejo, 9 Agustus 1969. Puisinya telah termuat di sejumlah media massa dan antologi bersama. Buku puisi terbarunya Sajak Sajak Sunyi (2017). Mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta bergabung di kegiatan Sastra Reboan dan Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK). Saat ini bekerja di Kementerian Keuangan.

 

 

Seperti Tugu

 

waktu melumurkan detik detiknya ke dadaku

yang masih saja menunggumu

dalam himpit sepi, lebih keras dari tugu

 

bahkan aku mulai lupa berapa putaran jarum jam

pada angka yang melewati persimpangan tanya

juga sehimpun kata yang ditikam gegap kota

 

barangkali teriakku hanya debu kerontang

yang segera hilang tertiup angin selatan

di antara mereka yang bercakap menyusun kenangan

 

Jakarta, 2018

 

 

Risalah Angin

 

bermula dari kubang angan, yang seperti diam namun

berputar berpusar dalam lingkar pengandaian yang

memijar. rumbai fantasi berkelindan dengan sulur

pengetahuan terus saja mengisi ruang menjadi arus

yang tak pernah aus. tak pernah ada jeda bagi getar

ingatan yang menguasai hari, bahkan begitu lihai

menyusup ke dalam tidur menjelma mimpi. tak

ada tempat kelam diri, karena selalu menggeliat kerlip

lebih dari kembang api.

 

perlahan meletup pada ingin, rekah pada semerbak

jarak. tersebut dalam percakapan, menyerbu dalam

igauan, menciptakan sebuah dunia yang dulu belum

timbul ke permukaan debaran. menderas dalam nadi

wirid wirid mulai memanggil tentang rasa yang kemarin

masih bermukim di rahasia. mengalir rupa rupa

gambaran yang bersikeras untuk selalu berada di

tempat barisan depan dari rintisan. mengumpul ledakan

ledakan.

 

dan terbitlah angin, keluar dari sarangnya menempuh

jalan jalan panjang di dalam pembuluh. bergerak

menjadi napas bagi tubuh agar tak rubuh, menari dalam

lonjakan jangkau pada ketinggian yang menyimpan

pukau. terus melaju kepada tuju, mengusapi dengan

sepoi agar tak ada sepi, mengurapi dengan kencang agar

tak ada lancang. menyapa pada apa dan siapa saja,

mengetuk pada yang berada di ceruk dan lekuk. ia yang

terus bertahan pada ritus pencarian.

 

Jakarta, 2018

 

 

Becak Siantar

 

tak ada lagi pertempuran di sini

meski motor masa perang dunia itu menyimpan

riwayat tentang jelajah penyerbuan

di antara desing peluru dan asap mesiu

dari lanskap dingin sebuah benua biru

 

mereka telah bermigrasi

untuk menyusur lakon lakon petualang

menjadi pengayuh becak di satu kota

pematang siantar yang tergelar

di antara bentang medan dan toba

 

memang tak pernah mudah untuk berpindah

dari kenangan kepada kenyataan

namun bukankah ada yang mesti terus dikerjakan

dan mereka masih ingin menandai jejak

dengan roda roda yang berputar menjalar

meniti nadi kisah hingga selalu berdetak

 

becak becak itu mengundangmu berdecak

memanggilmu seraya berkata:

kami akan mengantarmu

menempuh jalan jalan yang memanjang

dari ramai canda hingga sepi kata

juga gang gang di tepi mimpi dan ilusi

 

lalu kau akan merasa seperti terperangkap

pada sebuah ruang di kesilaman usia

dan hendak menampik terpaan senyap

karena tak ada yang menemukanmu

pada rute renik simpangan khayal

meski kau tak pernah benar benar sendiri

 

raung becak becak itu terus menderu

seperti mewakili riuh rindumu

pada orang dekat yang lagi jauh

hingga mengeluarkan gugusan asap

menjelma kabut yang uarkan keruh

siksa jarak telah membikin pengap

 

mereka becak becak itu

gerak dan tarian purbakala yang terus ada

: selalu melaju untuk menolak tua

 

Jakarta, 2018

 

Related posts

Leave a Comment

fourteen − ten =