SASTRA SEJARAH SEGARKAN INGATAN KOLEKTIF

JAKARTA (litera) – Cerita sejarah yang diangkat ke dalam karya sastra akan menyegarkan ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu.  Meskipun peristiwa itu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, kerap terlewatkan oleh teks sejarah.

Demikian benang merah utama sasarehan daring (Sadaring) seri ke-5 yang digelar organisasi penulis Satupena bertema Sejarah dalam Sastra di Jakarta, Minggu, 10 Oktober 2021.

Seperti dilaporkan dalam siaran pers Satupena, Sadaring ini menampilkan tiga narasumber berbobot yakni penulis novel sejarah Iksana Banu, peneliti dan penulis sejarah Amurwani Dwi Lestariningsih, serta penulis novel dan antropolog Nusya Kuswantin.

Acara Sadaring dimoderatori oleh sejarawan UGM yang juga salah satu Ketua Presidium Satupena, Prof Sri Margana. Dua puisi dibacakan sebelum acara dimulai yakni puisi “Catatan Harian” karya Putu Fajar Arcana, dan puisi “Pelajaran” yang dibawakan Magdalena Sitorus.

Dilaporkan, fakta dan pertiswa sejarah yang ditulis sesuai dengan kaedah prosedur ilmiah, menjadi sumber berharga bagi penulisan karya sastra. “Sisi lain dalam sejarah bisa dibuat menarik dalam karya sastra, sebab fiksi memberi kebebasan bagi penulis untuk meramunya menjadi cerita menarik dalam karya sastra berbasis peristiwa sejarah,” tulis siaran pers itu.

Pada pengantarnya, Margana memberi gambaran teoritis tentang hubungan sastra dan sejarah sehingga memberi pemahaman utuh bagi peserta untuk memahmi apa yang diungkapkan para narasumber.

Menurutnya, tanggung jawab sastra dan sejarah agak berbeda. Tugas sejarah, kata Margana, kembar. Sejarah harus menceritakan suatu peristiwa sesuai dengan kejadian atau fakta dan menuliskannya dengan mengikuti prosedur ilmiah, spasial, temporal, kronologis berdasarkan fakta atau bukti. Sedangkan sastra cukup mengungkapkan gambaran tentang peristiwa yang dapat dipahami pembaca.

Jarang diungkap
Penulis Novel Iksaka Banu yang banyak melahirkan novel berlatar sejarah era kolonial, banyak mempelajari sejarah yang jarang diungkap secara resmi, tapi banyak informasi menarik yang bisa diangkat dalam bentuk novel.
“Sejarah kolonial lebih mengungkap tokoh dan nama besar, tapi masyarakat biasa, orang kecil yang seakan tak membuat sejarah sesungguhnya ikut berperan dalam perjalanan sejarah itu sendiri. Di mana mereka? Sedang apa mereka? Nah, kalau kita tahu informasinya, bisa kita ramu dalam bentuk novel menarik,” ungkap Banu.

Menurut Iksana Banu, karena pilihan pada masa Sejarah Kolonial, maka dirinya melakukan riset data atau dokumen masa kolonial, yakni dari para pengelana Eropa yang menulis catatan perjalanannya, tentunya yang sudah dibukukan. Selanjutnya dari memoar atau kenang-kenangan yang ditulis parapejabat baik Belanda maupun pribumi, juga karya novel yang sudah ditulis para jurnalis misalnya.

Mantan wartawan yang kemudian menjadi novelis dan memperdalam antropologi, Nusya Kuswantin, menceritakan bagaimana proses kreatifnya melahirkan novel berlatar belakang peristiwa mencekam tahun 1965.
“Profesi saya sebagai wartawan dan tempat tinggal saya di Banyuwangi, membuat orang bertanya tentang banyak hal. Juga mereka meneritakan pengalaman masa lalunya. Ini awalnya yang membuat saya terdorong serius mendalami masalah terkait peristiwa ’65,” katanya.

Secara personal, Nusya menceritakan bagaimana kesulitan mengambil sudut pandang, siapa aku dan bagimana nanti jika novel ini terbit. “Ibu pernah menyarankan agar jangan menerbitkan soal ini dulu, tunggu situasi benar-benar aman. Akhirnya setelah saya kuliah lagi di Yogyakarta dan kondisi di sana sangat memungkinkan, keberanian untuk menerbitkan novel berjudul Lasmi semakin tinggi,” ungkap Nusya.

 

Harus ada keberania

Peneliti dan penulis sejarah, Amurwani Dwi Lestariningsih, juga menceritakan bagaimana awal mula tertarik menulis terkait peristiwa 1965, khsusunya dari sudut perempuan yakni para tahanan wanita yang tanpa diadili tapi harus mendekam di penjara dan menderita lama di jeruji besi masa Orde Baru.

Amurwani mengungkapkan, hasil diskusi dengan rekan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam untuk riset tesisnya tentang perempuan anggota Gerwani yang ditahan, akhirnya membuka jalan dan melancarkan risetnya untuk menulis tesis, meski untuk menjelajah dan menemukan mereka, awalnya sangat sulit.

“Saya mencari Sekjen Gerwani bernama Bu Darminah. Alamatnya saya sudah pegang yaitu di Gang Rela, Manggarai, Jakarta Selatan. Tiga hari mondar mandir di titik alamat itu, saya baru ketemu orang tua berambut putih berusia 70-an tahun. Dia tak mengaku, hanya bertanya balik, untuk apa mencari Darminah? Akhirnya setelah kembali ke orgaisasi Pakorba di Pasar Minggu, saya diyakinkan bahwa wanita beramput putih itu adalah Darminah. Akhirnya kami ketemu di Kantor Pakorba,” ungkap Amurwani.

Secuil cerita itu menggambarkan betapa para mantan anggota dan pengurus Gerwani menutup rapat identitas dengan mengganti nama. Bu Darminah hanya dikenal sebagai Mbah Jamu di Manggarai, yang lain berubah identitas. Semua itu demi menyelamatkan diri dan bisa beradaptasi dengan masyarakat.

Kenapa? Orde Baru membuat mereka sangat takut, karena stigma buruk masih dilekatkan pada mereka. @ litera/rls

Related posts

Leave a Comment

1 × 3 =