ARTIKEL 

MENULIS FEATURE SERASA MUNULIS CERPEN

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, penyair, cerpenis,   jurnalis

______________________________________________________________

 

Feature adalah sebuah tulisan kreatif yang menggugah dan cenderung subjektif; sebuah tulisan yang didesain terutama untuk menghibur dan menginformasikan suatu kegiatan atau peristiwa, atau suatu keadaan, yang menjadi aspek penting dan menarik dari kehidupan.  (Daniel R. Williamson dalam buku Feature Writing for  Newspaper)

 

Pengantar

Feature (berita kisah) telah menjadi konten penting dari media massa, sejak media massa cetak sampai elektronik. Tidak ada satupun media massa cetak yang tidak menyajikan feature. Begitu juga media massa elektronik, terutama televisi. Banyak surat kabar harian, mingguan, dan majalah berita yang memiliki halaman atau ruang khusus untuk feature, sejak feature  tentang sosok dan aktivitas unik seseorang, sampai feature perjalanan dan feature kedai kopi. Tiap hari pula televisi swasta dan pemerintah menayangkan feature-feature yang menarik.

Bagi surat kabar harian, yang dipenuhi berita-berita keras (hard news) tentang sengketa politik dan kuasaan serta kasus-kasus korupsi dan kriminalitas, feature ibarat oase di tengah padang pasir atau padang peperangan tempat pembaca rehat sesaat sambil minum air yang segar. Bagi Koran mingguan dan majalah berita, feature ibarat kafe yang sejuk dan romantik, tempat pembaca merasakan kembali kesegaran softdrink dan makanan-makanan ringan yang lezat dan mengesankan, sekaligus dapat menjadi sumber inspirasi yang penting bagi kehidupannya.

Di media elektronik (televisi), pemirsa juga dapat menikmati feature audio visual tentang berbagai informasi serta kisah-kisah yang menggugah dan mengesankan serta inspiratif, seperti feature-feature ilmu pengetahuan produksi National Neographic, Jejak Petualangan, Garis Merah, Mancing Mania, dan feature-feature pendek versi On The Spot. Kehidupan binatang-binatang langka, juga kebiasaan-kebiasaan yang unik dan luar biasa dari binatang tertentu, juga temuan-temuan luar angkasa dan kunjungan ke masyarakat terasing yang tertutup, sering dikisahkan dengan sangat menarik, sehingga tidak hanya menjadi sumber ilmu pengetahuan, tapi juga sangat menghibur. Bagi pemirsa televisi, feature menjadi tontonan yang sangat menghibur dan bermakna di tengah banjir berita kekerasan dan konflik politik yang menyebalkan.

Pembaca media massa cetak, pemirsa televisi, juga pendengar radio, memang memerlukan feature sebagai hiburan yang bermakna dan inspiratif. Pada dasarnya, dan sudah menjadi kodrat manusia, masyarakat pembaca dan pemirsa memerlukan hiburan, agar perasaannya jadi sejuk (cold) dan pikirannya kembali segar (fresh). Karena itulah, peran media massa (pers) sebagai media hiburan dititipkan pada rumusan tentang fungsi pers yang tercantum dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Secara keseluruhan ada empat fungsi pers, sbb.

  1. Menyiarkan informasi (to inform), yakni menginformasikan berbagai peristiwa, berbagai temuan baru, berbagai pendapat dan ide tentang sesuatu, berbagai hal yang dilakukan seseorang dan perlu diketahui orang lain, dan berbagai hal yang ada di bumi serta luar angkasa.
  2. Mendidik (to educate). Dalam hal ini pers menjadi sarana pendidikan massa (mass education). Media massa cetak dan elektronik menyiarkan tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan, sehingga pengetahuan khalayak pembaca bertambah. Fungsi mendidik ini bisa secara eksplisit dan implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, berita-berita yang kritis terhadap penyakit sosial, serta karya sastra dan feature yang mengandung pesan-pesan yang mendidik.
  3. Menghibur (to entertain). Fungsi menghibur ini tidak hanya dapat dipenuhi oleh berita-berita menarik dari dunia hiburan, dan cerita-cerita lucu. Tapi juga dapat dipenuhi dengan pemuatan atau penayangan feature, cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, dan jurnalisme publik yang unik dan segar. Sajian-sajian yang menghibur ini untuk mengimbangi berita-berita keras (hard news) dan artikel yang berbobot berat.
  4. Mempengaruhi (to influence). Fungsi ini menjadikan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Pers menjadi semacam agen perubahan, yakni berperan ikut mendorong masyarakat – bahkan bangsa dan negara – untuk berubah kea rah yang lebih baik. Bahkan, berita yang terarah dan tendensius, memilik potensi besar untuk mengubah keadaan secara cepat. Media massa dapat membangun semacam opini publik (public opinion) yang dapat menekan pihak tertentu (lembaga publik, negara) untuk mengubah suatu kebijakan lama atau membuat kebijakan baru, bahkan mengubah undang-undang tertentu, sesuai yang diinginkan masyarakat.

Kekuatan media massa untuk mempengaruhi, mengubah, mendorong, dan membangun opini publik, sering disalah gunakan oleh pengelola media massa tersebut dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga, banyak media massa yang melupakan prinsip-prinsip netralitas media, seperti yang termaktub pada pasa 1 Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal ini ditegaskan, bahwa  wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa independen adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Pers Indonesia juga harus selalu mengedepankan prinsip akurasi, verifikasi dan kehati-hatian, terutama pada hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan, atau konflik, di masyarakat serta menghindari penyebarluasan fitnah dan kebencian. Jika disederhanakan, maka dalam pemuatan berita, pers Indonesia harus netral, obyektif, berimbang, dan akurat dalam pemaparan fakta.

Kenyataannya, sangat sulit menemukan media massa yang benar-benar tidak berpihak, atau yang benar-benar netral. Selalu cenderung ada kepentingnya di belakangnya. Karena kepentingan masing-masing media massa berbeda, dan kepentingan pihak-pihak yang menungganginya juga berbeda-beda, maka keberpihakan mereka pun berbeda-beda. Di sninilah kemudian terjadi semacam perang antarmedia massa, yang disebut sebagai perang wacana. Kita bisa mengamati, misalnya, menjelang Pilpres 2014 yang lalu, ada media yang sangat berpihak pada pasangan Jokowi-JK, ada juga yang berpihak pada Prabowo-Hatta.

Perang wacana seperti itu juga terlihat pada media massa internasional. Tiap kali terjadi konflik Timur Tengah, seperti Perang Teluk I (1990-1991), misalnya, terjadilah perang wacana itu, seperti antara CNN yang pro-Sekutu (Barat) dan Al-Jazera, untuk mempengaruhi opini dunia. Begitu juga dalam pemberitaan masalah terorisme. Karena besarnya pengaruh CNN dalam Perang Teluk I, ketika perang selesai, muncul opini bahwa pemenangnya bukan Amerika maupun Irak, tetapi Pater Arnett, seorang penyiar yang menyampaikan berita-berita tentang Perang Teluk I tersebut. Tidak berlebihan, jika Alfin Toffler pernah mengatakan, siapa menguasai media dia akan menguasai dunia.

Di tengah krisis netralitas media massa seperti itu, media massa yang berani tetap mempertahankan independensi dan netralitasnya, akan menjadi media massa yang lebih dipercaya, dan menjadi rujukan utama untuk mencari informasi-informasi yang obyektif, netral, akurat, dan paling mendekati kebenaran.

 

Posisi feature

Karena manfaatnya dan potensinya yang besar untuk menarik minat pembaca media massa cetak dan pemirsa televisi, feature menempati posisi penting dalam industri media massa. Tidak ada media massa tanpa feature. Bahkan ada lembaga yang khusus memproduksi berbagai macam feature, yakni National Geographic. Lembaga ini tidak hanya memproduksi feature-feature audiovisual untuk televisi, tetapi juga foto feature dan tulisan feature. Untuk pelanggan tv kabel, dan tv satelit, National Geographic juga memiliki channel  khusus yang banyak diminati pemirsa.

Di ranah media massa cetak, feature merupakan salah satu tipologi berita yang masuk dalam wilayah fakta dan ditulis berdasarkan fakta di lapangan. Jadi, feature bukanlah fiksi meskipun sering mirip karya satra (cerpen). Di dalam disiplin ilmu penulisan, feature termasuk di dalam karya jurnalistik, dan bukan karya sastra.

Untuk membedakan antara berita dan karya sastra, Aoh K. Hadimadja[1]  mengelompokkan tulisan yang biasa muncul di media massa cetak ke dalam dua wilayah, yakni wilayah fakta (fact) dan fiksi (fiction). Sedangkan Ashadi Siregar membedakannya ke dalam tiga kelompok, yakni fakta, opini, dan fiksi.[2] 

Termasuk di dalam wilayah fakta adalah tulisan-tulisan yang unsur-unsur pembangunnya terdiri dari fakta-fakta, sejak berupa data-data, peristiwa, sampai apa saja yang dikatakan oleh nara sumber. Dan, di sinilah seorang jurnalis (wartawan) melahirkan karya-karya jurnalistiknya, sejak yang berupa berita (news), laporan (reportase), sampai feature.

Termasuk di dalam wilayah opini dalam konteks ini adalah tulisan-tulisan yang dibangun oleh unsur-unsur gagasan (ide) dan penilaian (justifikasi) atau analisa kritis terhadap suatu persoalan, gejala maupun fenomena, serta kadang-kadang diakhiri dengan saran atau solusi. Misalnya, esei, kolom dan artikel ilmiah populer. Di wilayah inilah para kolumnis, eseis, dan penulis artikel dapat menyumbangkan karya-karyanya. Sementara, fiksi  adalah tulisan yang sepenuhnya dibangun oleh dunia rekaan pengarangnya sendiri, seperti puisi, cerpen, dan novel.

Ada beberapa tipologi tulisan yang lazim dikenal di dunia jurnalistik. Tipologi yang paling elementer adalah berita langsung (straight news). Karena karakter atau gaya penyajiannya  yang langsung ke persoalan, ‘keras’, padat informasi, dan ditulis sebatas bertujuan untuk menyampaikan fakta, maka tipologi berita ini sering juga disebut hard news  atau spot news. Disebut hard news  untuk diperlawankan dengan soft news (berita ringan) — sebuah side story yang mengungkap hal-hal unik, lucu, human, di balik peristiwa utama.

Bentuk yang lebih lanjut dari berita adalah deep news  dan berita interpretatif (interpretative news). Deep news biasanya ditulis atas hasil investigasi terhadap suatu kasus, skandal atau fenomena sosial, sehingga sering disebut berita infestigatif (investigative news). Sedangkan berita interpretatif ditulis dengan tujuan untuk menafsirkan suatu gejala atau fenomena (sosial, ekonomi, politik) guna memberikan suatu pemahaman bagi pembaca tentang fenomena tersebut. Karena bentuk penyajiannya yang lengkap dari berbagai sumber dan pengamat, serta kemampuannya untuk memberikan pemahaman bagi pembaca, maka tipologi berita ini kerap pula disebut berita komprehensif (comprehensive news). Selain itu, masih ada tipologi yang yang lebih memberi tekanan pada gaya penyajian dan sisi human interest, yakni feature.

Antara berita langsung, berita komprehensif dan feature, selain gaya penyajiannya, dapat pula dibedakan berdasarkan tujuan penulisannya. Berita langsung ditulis dengan tujuan hanya untuk menyampaikan informasi terbaru kepada pembaca tentang suatu peristiwa, sehingga padat fakta. Berita komprehensif ditulis dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang suatu fenomena atau kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan feauture ditulis untuk membangkitkan perasaan tertentu – sedih, haru, gembira, bangga, solidaritas, rasa kasihan dll – pembaca.

Setelah muncul istilah jurnalisme baru (new journalism), Fadler membagi jurnalisme baru ke dalam empat pengertian:[3]

  1. Advocacy journalism (jurnalisme advokasi), yakni kegiatan jurnalistik yang berupaya menyuntikkan opini ke dalam berita. Diarahkan untuk membentuk opini publik.
  2. Alternative journalism (jurnalisme alternatif), yakni kegiatan jurnalistik yang menyangkut publikasi internal dan bersifat lebih personal.
  3. Precision journalism (jurnalisme presisi), yakni kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.
  4. Literacy journalism (jurnalisme sastra, jurnalistik sastrawi), yakni pemakaian gaya penulisan fiksi dalam jurnalisme untuk kepentingan dramatisasi pelaporan, feature, dan artikel menjadi memikat.

Karena gaya penyajiannya yang bercerita, feature  sering disebut sebagai model utama karya jurnalistik sastrawi (literary jousnalism). Apalagi, pada feature yang bagus, penulisnya benar-benar meminjam teknik bertutur fiksi realistic (cerpen), sehingga ada alur yang liat, karakter yang kuat, dan latar yang hidup. Namun, sebagai karya jurnalistik, feature tetaplah bermain (berada) di wilayah fakta, dan tidak dapat masuk ke wilayah fiksi.

Sebagai representasi terpenting jurnalistik sastrawi, feature dapat menempatkan diri menjadi oase yang netral, meskipun berada pada media yang tidak netral. Feature dapat bertahan untuk tetap menjadi oase yang menyejukkan hati dan menyegarkan pikiran, dapat menjadi tempat rehat untuk menjernihkan diri dari silang-sengkarut kepentingan yang menunggangi media massa, agar pembaca tetap memiliki ruang yang bebas dan netral untuk memandang segala sesuatu dengan pikiran yang jernih dan dada yang lapang.

Ketika pemirsa televise bosan menonton berita-berita politik yang kusut, atau sinetron-sinetron yang terkesan asal tayang, maka ia akan memindah channel  untuk menonton feature dunia binatang, dunia ikan, atau petualangan yang seru dan menyejukkan. Ketika pembaca surat kabar ikut stress membaca berita-berita politik dan kekerasan, ia akan mencari feature persolaitas atau human interest  yang ringan, inspiratif, menghibur, dan mengesankan.

 

Pengertian feature

Secara sederhana, feature dapat dipahami sebagai “berita yang ditulis dengan gaya berkisah”. Menurut Lembaga Studi Pers Indonesia (LeSPI), feature adalah tulisan hasil reportase (peliputan) mengenai suatu objek atau peristiwa yang bersifat memberikan informasi, mendidik, menghibur, meyakinkan, serta menggugah simpati atau empati pembaca. Daniel R. Williemson menyebut feature sebagai tulisan kreatif yang menggugah dan cenderung subjektif; sebuah tulisan yang didesain terutama untuk menghibur dan menginformasikan suatu kegiatan atau peristiwa, atau suatu keadaan, yang menjadi aspek penting dan menarik dari kehidupan.[4]

Ada lima kata kunci yang dikemukakan Williemson, yakni kreatif, menggugah, subjektif, menghibur, dan informatifKreatif, artinya feature harus menunjukkan sebagai karya tulis yang kreatif dan membutuhkan kreativitas untuk menulisnya. Menggugah, artinya sebuah feature harus mampu menggugah perasaan pembaca, seperti menimbulkan rasa haru dan simpati kepada sosok atau obyek yang ditulis. Subjektif, artinya dalam menulis sebuah feature perasaan wartawan dapat ikut terlibat, atau feature dapat ditulis secara subyektif dan penuh rasa simpati, dengan gaya penuturan yang unik dan personal. Menghibur, artinya feature diharapkan dapat menyenangkan perasaan pembaca, baik isinya maupun gaya penyajiannya. Dan, informatif, maksudnya feature tetap harus dapat menginformasikan hal-hal yang perlu diketahui oleh pembaca; dan karena itu tetap harus berpijak pada fakta yang berupa kegiatan atau peristiwa, atau suatu keadaan, yang menjadi aspek penting dan menarik dari kehidupan.

Berbeda dengan berita langsung (straight news), yang taat pada pola piramida terbalik dan penyusunan informasi secara deduktif, penulisan feature bisa lebih santai dan luwes (fleksibel) dan tidak terlalu ketat dalam memenuhi syarat kelengkapan unsur informasi yang berupa rumus 5W1H. Meskipun begitu, seperti ditegaskan oleh AS Haris Sumadiria (2008), feature tetaplah harus mengandung semua unsur kelengkapan informasi dalam rumus 5W1H.[5]

Ketika menulis berita langsung, seorang jurnalis berpedoman pada struktur piramida terbalik dengan bahasa pers yang formal, sehingga terkesan kaku. Ia harus pandai menyusun secara runtut dengan meletakkan fakta terpenting pada bagian teratas (kepala berita — lead) berita. Dan, sangat ditekankan agar unsur 5W1H sudah tercakup pada kepala berita sebagai suatu informasi yang lengkap untuk pembaca.

Sedangkan ketika menulis feature, seorang jurnalis menginformasikan sesuatu dengan cara menuturkan atau mengisahkan secara lebih luwes dan lincah. Pada bagian pembuka feature (kepala feature) tidak harus tercakup sekaligus semua unsur 5w1H. Unsur-unsur kelengkapan informasi ini disebar ke seluruh bagian feature. Yang penting bagi penulis feature, adalah membuka feature secara memikat, dan menutup feature secara mengesankan. Sehingga, tidak hanya bagian pembuka feature yang paling penting, tetapi seluruh bagian feature sama-sama penting untuk dibaca.

Agar pengisahannya memikat pembaca, ia dapat meminjam teknik bercerita fiksi realistik, terutama cerpen, sejak teknik bernarasi, deskripsi, penggambaran karakter (karakterisasi), penggambaran latar, sampai alur (plot). Karena itulah, featrure, terutama feature petualangan atau peristiwa yang menegangkan, sering mirip cerpen. Meskipun begitu, karena termasuk karya jurnalistik (berita), feature tetaplah harus berpijak pada fakta.

Berbeda dengan berita (news) yang selalu berpusar pada tema utama (main story) suatu peristiwa, feature dapat menyisir di samping atau di balik peristiwa utama (side story), dengan penekanan pada aspek-aspek human interest-nya. Namun, tentu, sebuah feature dapat muncul berdiri sendiri, tanpa terkait dengan sebuah peristiwa besar yang aktual, untuk menjadi semacam oase surat kabar harian atau majalah berita.

Ketika menulis tentang unjuk rasa, misalnya, bukan apa dan bagimana demo itu terjadi, tapi misalnya kisah dua bungkus nasi yang sampai ke tengah pengunjuk rasa yang terkepung dan bagaimana nasi itu menjadi rebutan para aktivis dalam tatapan lapar para tentara. Ketika menulis kenaikan harga beras, bukan soal harga beras itu sendiri yang digambarkan, tapi misalnya kisah seorang janda miskin yang terpaksa berjam-jam antri beras murah dari Bulog sejak pagi sampai sore namun begitu sampai pada gilirannya ia malah pingsan karena belum sarapan. Pada posisi yang demikian, feature muncul sebagai side story untuk mengajak pembaca menengok aspek-aspek yang menggugah perasaan di balik suatu peristiwa penting.

 

Fungsi feature

Bagi surat kabar, penempatan feature  tidak hanya untuk memenuhi aspek kesemestaan media massa semata. Feature sekaligus dapat meningkatkan citra media di mata khalayak, bahwa surat kabar tersebut tidak hanya menyajikan isu-isu panas tenang korupsi, kekerasan, dan konflik politik; tapi juga tulisan-tulisan yang menghibur sekaligus informatif, inspiratif, menggugah, dan menyejukkan perasaan.

Dalam konteks ini, fungsi feature mencakup enam hal, yakni, (1) melengkapi sajian berita langsung; (2) pemberi informasi tentang suatu situasi, keadaan, atau peristiwa yang terjadi; (3) penghibur dan pengembangan imajinasi yang menyenangkan; (4) wahana pemberi nilai dan makna terhadap suatu keadaan atau peristiwa; (5) sebagai sumber inspirasi bagi pembaca untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, dan (6) sarana ekspresi yang paling efektif dalam mempengaruhi pikiran dan perasaan khalayak.

Dalam hal ini, feature tidak hanya dapat mengambil peran sebagai oase penyejuk rasa dan penghibur yang informatif, tetapi juga peran-peran yang lebih penting, seperti mendidik, membangkitkan solidaritas sosial, menggugah kedermawanan, menumbuhkan rasa keadilan, membangkitkan cinta lingkungan, mengentalkan rasa kebangsaan, dan berbagai peran positif lainnya sesuai topik dan pokok cerita yang diangkat.

Feature tentang seorang guru yang suka rela dan sendirian mengajar suku terasing di tengah hutan dengan fasilitas seadanya, misalnya, akan mampu menginspirasi dan menggugah pembaca untuk ikut peduli dan membantunya, atau menginspirasinya untuk melakukan kebajikan yang sama di tempat berbeda. Begitu juga feature tentang seorang anak korban tsunami yang terpaksa menjadi pengemis karena tidak lagi memiliki orang tua, akan dapat menggugah rasa kasihan pembaca untuk memungutnya menjadi anak angkat atau memasukkannya ke panti asuhan.

 

Ragam feature

Feature yang dibuat wartawan, tentu, bisa bermacam-macam. Berdasarkan bidangnya saja bisa ada feature politik, feature ekonomi, feature budaya, feature sosial, feature agama, feature ilmu pengetahuan dan feature teknologi. Secara umum, pakar jurnalistik dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pers Yogyakarta (LP3Y), Ashadi Siregar, menyebut ada tujuh jenis feature. Berikut ini terpapar ragam feature yang penting untuk kita ketahui.

  1. Feature personalitas (profile feature). Feture ini mengungkap sisi-sisi menarik dari seorang tokoh, figur publik, selebriti, orang besar, pahlawan, atau orang biasa yang berada dalam situasi yang luar biasa, yang dramatik. Misalnya, seorang pilot yang berhasil menyelamatkan seorang perempuan hamil dari dalam tubuh pesawat terbang yang jatuh ke laut, atau seorang tukang ojek yang berhasil menyelamatkan seorang balita dari dalam rumah gedung yang sedang terbakar. Bisa juga kisah sukses seorang tokoh penting, atau menteri baru yang perjalanan karir dan posisi politiknya kontroversial, seperti Menteri Perikanan dan Kelautan Susie Pudjiastuti.
  2. Feature sejarah (hystorical feature). Feature ini mengangkat peristiwa penting bersejarah, seperti pemboman Hirosima, tragedi Tiananmen, gedung bersejarah yang unik dan menyimpan peristiwa sejarah yang luar biasa, yang karena alasan tertentu atau menemukan momentum yang pas dianggap penting untuk ditulis kembali dan disajikan di media massa.
  3. Feature petualangan (adventure feature). Feature ini mengangkat kisah-kisah petualangan yang menegangkan, seperti kisah pendakian gunung tertinggi di dunia (Mont Everest), berenang menyusuri Sungai Nil, menyusur lorong bawah tanah Vietkong, atau penyusupan ke tengah kerajaan Narkoba di Kamboja.
  4. Feature musiman (seasonal feature). Feature ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa musiman, seperti musim liburan, mudik lebaran, atau gegap gempita malam tahun baru, dan sebagainya. Karena feature semacam ini ditulis tiap tahun, maka wartawan harus dapat menangkap dan mengangkat angle, gejala, atau kecenderungan baru dari peristiwa-peristiwa musiman itu, agar tidak sekadar mengulang feature tahun sebelumnya. Diperlukan kepekaan jurnalistik untuk ini. Berikan kepada pembaca sesuatu yang baru, bukan yang basi.
  5. Feature kiat (how to feature). Feature ini mengajarkan suatu keahlian tertentu, cara membuat suatu produk kerajinan atau teknologi tepat guna, serta cara mengawetkan hasil pertanian dan perikanan. Feature dalam kategori ini juga bisa berisi petunjuk atau kiat untuk melakukan sesuatu atau menghindari sesuatu. Misalnya, bagaimana menjadi bugar tanpa doping, langsing tanpa obat pelangsing, membuat perpustakaan rumah, menjadi sales yang sukses, atau menjadi makelar mobil bekas yang kaya.
  6. Feature ilmu pengetahuan (scientific feature). Feature ini mengisahkan sesuatu yang ada kaitannya dengan kegiatan atau proses ilmiah, seperti kisah penemuan fosil manusia tertua, kisah tragis kelinci percobaan obat AIDS, feature penemuan galaksi baru di luar angkasa, feature pengamatan kehidupan unik binatang tertentu, dan kisah penelitian tingkah laku ikan hiu. Feature seperti ini, dalam format audiovisual, banyak diproduksi oleh National Geographic.
  7. Feature minat insani (human interest feature). Feature tentang sisi-sisi kehidupan manusia yang unik dan menarik minat masyarakat serta bersifat menggugah perasaan simpati dan bersifat inspiratif. Misalnya, seseorang yang rela mendonasikan salah satu ginjalnya untuk menyelamatkan hidup orang lain, orang yang menghibahkan seluruh tabungannya bernilai miliaran rupiah ke panti asuhan yatim piatu, seseorang yang tabah menjalani tugasnya sebagai guru di tempat terpencil bertahun-tahun tanpa gaji, dsb.
  8. Feature kedai kopi. Ini adalah feature yang sering muncul di koran harian yang bahan-bahannya gampang dicari dari lingkungan kehidupan sehari-hari, seperti kisah unik penjual bakso keliling, pedagang warteg terkaya, tukang dayung perahu Fatwa Pujangga yang sukses menyekolahkan anaknya sampai doctoral, duka sopir bajaj tertua di Jakarta, tukang perahu tambang terakhir di Ciliwung, pemulung terkaya di Tanjungpinang, atau pengamen misterius di Pelabuhan Sri Bintan Pura.

 

Selain kedelapan jenis feature di atas, masih ada juga feature-feature yang ditulis sebagai side story atas peristiwa-peristiwa yang ‘jatuh dari langit’, seperti tsunami, banjir bandang,  gempa bumi, kecelakaan pesawat terbang, dsb.

Sementara itu, Wolseley dan Campbell menyebut  hanya ada enam jenis feature, yakni feature minat insani (human interest feature),  feature sejarah (hystorical feature), feature biografi (biografical feature), feature perjalanan (travelogue feature), feature yang mengajarkan keahlian (how to feature), dan feature ilmiah (scientific feature).[6]

 

Feature yang kreatif

Berbeda dengan berita (langsung) yang mengutamakan fakta, dan berita komprehensif yang lebih menitikberatkan pada isi dan tujuan yang ingin dicapai serta dikemas dalam gaya penulisan yang formal; feature  justru nenantang kreativitas wartawan untuk mengemasnya secara khas, memarik dan enak dibaca. Menulis feature kadang-kadang serasa menulis cerita pendeka (cerpen), hanya materinya, bahan bakunya, tetaplah harus fakta, dan bukan fiksi. Dalam menulis feature, teknik-teknik bercerita (narasi) fiksi realis sering dipakai untuk memberikan daya cekam dan menghidupkan peristiwa.

Karena itu, dalam menulis feature juga diperlukan kemampuan imajinasi penulisnya. Dan, inilah yang dikenal dengan pendekatan sastra dalam jurnalisme (literary journalism). Namun, tentu, kemampuan berimajinasi dalam menulis feature berbeda dengan kemampuan berimajinasi dalam menulis fiksi. Dalam menulis fiksi, imajinasi dimanfaatkan sepenuhnya untuk membangun dunia rekaan agar seakan-akan benar-benar nyata, sedangkan dalam me-nulis feature imajinasi hanya dimanfaatkan untuk merekonstruksi fakta (obyek dan peristiwa) agar benar-benar kembali hadir secara hidup di depan pembaca.  Dengan pendekatan ini, berita menjadi dekat dengan karya sastra, karena citarasanya (gaya penyajiannya) yang indah dan memikat. Tak berlebihan, jika wartawan Times, Gay Telesa, menyebut reporter yang memanfaatkan pendekatan sastra dalam menulis berita itu sebagai seniman (artist).[7]

Sebuah peristiwa ekonomi, atau apapun, tentu, dapat diliput dengan tinjauan dan pendekatan yang manapun. Wartawan bebas memilih tipologi berita yang mana saja untuk menyajikannya. Namun, semuanya tergantung pada apa yang ingin dicapai dengan pemberitaan itu dan apa yang melekat pada peristiwa  yang bersangkutan. Pada peristiwa kenaikan harga BBM, misalnya, selain masalah kenaikan harga itu sendiri sebagai ‘topik utama’, pasti ada sisi-sisi lain yang bersifat human interest  dan dapat disajikan dalam bentuk feature. Misalnya, suasana antrian panjang dari dini hari di pom bensin begitu kenaikan harga BBM itu diumumkan.

Ketika seorang wartawan memilih kenaikan harga itu sendiri sebagai topik utama tulisannya, maka ia lebih cocok memilih bentuk berita langsung. Dan, ketika ia ingin memberikan pemahaman kepada pembaca kenapa harga BBM mesti naik, apa implikasinya bagi perekonomian dan kehidupan sehari-hari, serta bagaimana cara menyikapinya, pasti sang wartawan akan memilih berita komprehensif dengan mewawancarai sejumlah nara sumber.

Kunci terpenting dalam menulis feature adalah bagaimana menghadirkan kembali suatu peristiwa, rangkaian fakta yang membangun suatu peristiwa, menjadi ‘serangkaian gambar’ (komik) yang sekan benar-benar hidup di hadapan pembaca. Dan, karena penggambaran itu melalui bahasa verbal (kata-kata), maka kuncinya adalah bagaimana kata-demi kata, kalimat demi kalimat, dan alinea demi alinea, yang kita susun secara runtut (logis) dapat menghadirkan ‘gambar’ itu secara hidup dalam imajinasi pembaca.

Kolumnis Farid Gaban pernah mengibaratkan feature yang hidup itu sebagai ‘burung camar yang menari-nari di depan pembaca’. Jika objek feature adalah suatu peristiwa, maka bagaimana peristiwa itu tergambar sesaat demi sesaat secara mencekam. Jika obyeknya adalah sosok seorang tokoh, maka adalah bagaimana kita menggambarkan karakter tokoh itu, gaya bicaranya, gerak tubuh dan mimiknya, warna bajunya, rokoknya, dan tentu sikap hidup, tujuan, dan liku-liku perjalanan karirnya.[8]

Gay Telesa dalam feature Joe Louis: The King as a Middle-aged Man  secara mencekam berhasil menggambarkan bagaimana kondisi petinju Joe Louis pada usia tuanya. Suasana demi suasana menyertai penggambaran petinju legendaris yang sudah tua renta itu, diselingi dengan dialog Joe dengan ketiga istri dan orang-orang di sekitarnya.[9] Memang bisa jadi mirip cerpen — perbaduan antara narasi, dialog dan deskripsi terjadi begitu serasi dan memikat. Dan, inilah salah satu ciri jurnalisme dengan pendekatan sastra. Contoh yang memikat ditulis oleh Art Buchwal begini:

 

Seorang laki-laki masuk ke bengkel reparasi alat tubuh manusia milik George.

‘’Ada yang bisa saya bantu?’’

‘’Ya, saya ingin tubuh saya disetel dan diberi pelumas.’’

George mengeluarkan alat-alat.

‘’Silakan berbaring, supaya bisa saya periksa.’’

Orang itu berbaring dan George mengangkatnya sedikit….[10]

 

Dengan gaya di atas Buchwal menggambarkan bagaimana operasi pemasangan jantung tiruan dilakukan di sebuah rumah sakit, dan ia sekaligus mengeritik organ tiruan hasil rekayasa kedokteran itu. Adegan operasi jantung pun ia gambarkan secara mencekam dan menegangkan.

Ketika menulis feature  tentang ‘aktivis bayaran’ di Republika, seorang wartawan memulainya begini.

 

Harga revolusi, kata sejarah, selalu mahal. Tapi, bagi Indra, revolusi di Semanggi hanya seharga seribu perak. Pasalnya, begitu selesai mengikuti unjuk rasa mengguncang SU MPR yang penuh jargon-jargon revolusi, sisa honornya tinggal seribu perak.

“Benar, tinggal seribu perak. Sudah habis untuk makan…,” katanya.

 

Sementara, pada pembuka buku Homage to Catalonia,  yang ditempatkannya sebagai salah satu contoh karya jurnalistik (non-fiksi) yang teknik penulisannya memakai teknik penulisan fiksi, George Orwell (1938) menulis begini:[11]

 

Di Barak Lenin, Barcelona, suatu hari sebelum bergabung dengan milisi, saya melihat seorang anggota milisi Italia berdiri di depan meja petugas. Ia seorang anak muda berusia sekitar 25 tahun, dengan rambut kemerah-merahan dan bertubuh kekar. Topi kulitnya ditarik ke bawah menutupi mata kanannya. Dia berdiri persis di depan saya, dagunya mendongak seakan menekan dada saya, dan mata kirinya menatap dengan dahi berkerut pada peta yang terbuka di atas meja. Raut wajahnya terkesan siap membunuh dan mempertaruhkan nyawanya demi seorang kawan….

 

Langkah penulisan

Mirip dengan proses atau langkah-langkah dalam menulis berita, maka ketika akan menulis feature seseorang harus memilih objek dan topik feature lebih dulu. Topik feature harus diambil dari inti peristiwa atau inti kisah/pengalaman nyata seseorang atau sekelompok orang yang benar-benar ada di lapangan, bukan hasil rekaan. Karena itu, jika dituliskan, topik harus berupa paparan pendek (inti cerita) sebuah peristiwa atau kisah nyata – yang dapat disusun menjadi sebuah tema. Misalnya, seorang pemulung yang berhasil menguliahkan tiga anaknya hingga sarjana berkat kerja keras siang malam, seorang bayi ditemukan selamat setelah terkubuh reruntuhan gedung selama sepuluh hari berkat air ajaib yang keluar dari jempol tangan kanannya, atau, selamat dari badai salju saat mendaki puncak Himalaya. Makin luar biasa tema suatu feature, akan makin menarik bagi pembaca.

Karena feature merupakan salah satu bentuk (tipologi) berita, maka dalam memilih objek dan topik feature, terutama untuk feature yang disajikan di surat kabar, seorang jurnalis juga tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip kelayakan berita. Sebuah feature minimal harus memenuhi salah satu syarat dalam prinsip-prinsip kelayakan berita. Berikut ini adalah sebagian dari prinsip kelayakan berita yang perlu menjadi bahan pertimbangan dan sumber inspirasi saat memilih objek dan topik feature.

  1. Minat insani (human interest). Tiap perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang mengandung aspek minat insani (human interest), menarik untuk ditulis menjadi feature, seperti mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi, mengharukan, dan membanggakan. Misalnya, seseorang yang tanpa sengaja bertemu dengan ibunya setelah terpisah puluhan tahun akibat perang, atau seorang anak SD yang ikhlas bekerja keras menjadi kuli pasar demi mengumpulkan uang untuk mengobati ibunya yang lumpuh, atau seorang anak pemulung yang sukses meraih gelar sarjana dengan nilai terbaik.
  2. Simpati (symphaty). Tiap perbuatan yang mencerminkan sikap simpatik, terutama yang dilakukan tokoh masyarakat, selalu menarik ditulis menjadi feature karena mengandung nilai keteladanan. Misalnya, presiden yang blusukan tanpa pengawal untuk mendengar langsung keluhan para nelayan akibat kenaikan harga BBM, atau turun ke tengah para korban penggusuran untuk mengetahui dan ikut merasakan penderitaan mereka.
  3. Aneh, ganjil, luar biasa (oddity). Tiap peristiwa, kejadian, atau keadaan, yang ganjil, aneh, dan luar biasa, selalu menarik untuk ditulis menjadi feature. Misalnya, kambing berkaki tujuh, atau anak presiden akan menikahi anak petani miskin, atau gunung yang mendadak muncul dari dalam laut, manusia hanya setinggi 40 cm, dll.
  4. Konflik (conflict). Tiap peristiwa yang mengandung konflik, atau tiap konflik, selalu menyediakan objek dan topik feature yang menarik. Misalnya, feature tentang seorang anak Palestina yang selamat dari pengeboman Israel, sementara ayah dan ibunya tewas menindih tubuhnya.
  5. Kompetisi (competition). Tiap kompetisi, apalagi tingkat internasional, selalu menyediakan objek dan topik feature yang menarik. Misalnya, dalam pertandingan-pertandingan Olimpiade atau Asia Games. Setiap pemecah rekor di dalam peristiwa (event) olahraga internasional tersebut adalah objek feature yang menarik, misalnya mengisahkan bagaimana upaya seorang atlit lari 100 meter dalam menyiapkan diri untuk memecahkan rekor tersebut.
  6. Menegangkan (suspense). Setiap peristiwa atau keadaan yang menegangkan adalah objek feature yang menarik. Misalnya, ketegangan para terpidana kasus Bali Nine dalam menunggu eksekusi hukuman mati, dan apalagi diwarnai tawar-menawar antara Presiden RI dan Peredana Menteri Australia. Begitu juga ketegangan para penumpang kapal besar saat-saat menjelang tenggelam. Ketegangan menjelang tenggelamnya Titanic bahkan diangkat ke film dan box office (sangat laris).
  7. Dramatis (dramatic). Tiap peristiwa yang dramatis, atau seseorang (apalagi tokoh publik) yang mengalami peristiwa dramatis, selalu menarik untuk ditulis menjadi feature. Misalnya, upaya penyelamatan seorang balita yang terperangkap dan menjerit-jerit di dalam gedung yang terbakar, penyelamatan para korban gempa bumi yang terperangkap reruntuhan gedung bertingkat.
  8. Ketakutan (fear). Peristiwa atau keadaan yang menyimpan ketakutan atau menakutkan selalu menarik untuk diangkat menjadi feature. Objeknya dapat berasal dari peristiwa atau situasi yang menegangkan, namun lebih fokus pada perasaan takutnya.
  9. Temuan baru (new finding). Tiap temuan baru yang mengandung pengetahuan baru, yang unik, selalu menarik untuk diangkat menjadi feature, khususnya feature ilmu pengetahuan (scientific feature). Misalnya, temuan rasi bintang atau galaksi baru, jenis ikan baru, alat komunikasi baru, kebiasaan hidup binatang tertentu yang baru diketahui, hasil survey atau penelitian baru yang benar-benar unik, dsb.
  10. Misteri (mistery). Tiap misteri (rahasia) dan upaya mengungkap suatu rahasia selalu menarik diangkat menjadi feature, terutama rahasia-rahasia besar yang menjadi perhatian publik. Misalnya, menguak rahasia kerajaan narkoba di Kamboja, membongkar misteri peti rahasia Pak Harto, menyusup ke markas gerilyawan Muslim di Mindanau, dsb.
  11. Ternama (prominence). Tiap tokoh ternama (selebritis) menarik diangkat menjadi feature, terutama feature sosok atau feature biografi. Semakin terkenal sang tokoh semakin semakin menarik untuk ditulis.

 

Pengumpulan bahan (data, fakta)

Setelah memilih topik dan menyusunnya menjadi tema, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan mencatat semua detil bahan yang diperlukan. Dalam hal ini akan sangat ideal jika sang wartawan dapat melihat langsung objek feature dan lokasi objek atau peristiwa untuk mencatat detil suasana tempat kisah terjadi. Untuk jenis jurnalistik partisipatif, bisa saja sang wartawan terlibat langsung dengan suatu peristiwa, misalnya ikut dalam rombongan pendaki gunung untuk menulis kisah pendakian mereka.

Jika sang wartawan tidak dapat melihat langsung lokasi peristiwa, misalnya, kejadiannya di puncak gunung, sedangkan dia tidak mungkin ikut mendaki, maka jalan lainnya adalah mewawancarai sumber yang terlibat dan mengamati foto-foto atau rekaman video yang ada.

Agar sebuah feature benar-benar terasa hidup dan mampu meyakinkan pembaca bahwa detil seluruh peristiwa yang ditulis benar-benar terjadi, maka sang jurnalis harus dengan cermat mencatat seluruh detil peristiwa, sejak alur peristiwa, karakter, suasana, dan detil lokasinya. Prinsip 5W+1H  tentu tetap penting, karena inilah syarat kelengkapan informasi. Tapi unsur When  tidak terlalu mutlak harus benar-benar aktual, karena sifat feature adalah time less. Aktualitas peristiwa dapat digantikan dengan kedalaman, keluasan, dan daya pikat gaya penyajian yang sastrawi.

 

Memilih sudut pandang

Sebagaimana menulis cerita (cerpen), penentuan sudut pandang merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam menulis feature. Secara sederhana, sudut pandang dapat dipahami sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Dengan demikian, SP pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang dipilih penulis untuk  menuturkan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata dirinya sendiri (saya, aku) atau tokoh tertentu (dia, nama tokoh) yang ada di dalam feature.  Agar kisahnya mengesankan dan mampu melibatkan perasaan pembaca, ada dua sudut pandang yang layak dipilih, yakni sudut pandang orang pertama tunggal (aku, saya), dan sudut pandang orang ketiga tunggal (dia, menyebut nama tokoh).

Jurnalis dapat juga memilih sudut pandang orang ketiga jamak (mereka), jika objeknya berupa sekelompok orang, namun tetap perlu memunculkan orang ketiga tunggal (dia) sebagai “penutur utama”. Hanya, dalam menulis feature dunia binatang, sudut pandang orang pertama (aku) sulita dipakai. Tidak mungkin kan, kita ikut menjadi monyet ketika menulis feature tentang kehidupan para monyet!

Jika sang wartawan ikut terlihat dalam suatu peristiwa — dia sendiri yang melakukan petualangan, atau menjadi korban utama suatu kasus misalnya penculikan — maka sang wartawan dapat memilih sudut pandang orang pertama (aku). Tetapi, jika sang sartawan tidak terlibat dalam suatu peristiwa, dan kisahnya dia kumpulkan dari hasil wawancara, maka pilihannya adalah sudut pandang orang ketiga (dia, menyebut nama karakter).

Ketika wartawan memilih sudut pandang orang ketiga, maka karakter tokoh-tokoh yang terlibat peristiwa tersebut harus benar-benar dicatat secara detil karakter fisik (wajah dan tubuh) dan kebiasaannya, agar karakter yang muncul dalam feature nanti menjadi hidup dan kuat.

 

Mengatur plot

Setelah memilih sudut pandang yang pas, maka langkah selanjutnya adalah menyusun alur (plot). Seperti menulis cerita (fiksi), penulis feature pun dapat memilih alur maju, kilas balik, ataupun perpaduan antar keduanya. Yang penting, alur tetap berdasarkan kisah yang sesungguhnya, dan bukan hasil rekaan. Sang wartawan tinggal memainkannya saja.

Berdasarkan pilihan alur itu, kemudian sang wartawan tinggal menghidupkan karakter,  adegan dan dialog, suasana saat peristiwa terjadi, detil latar, dan membuka featurenya secara memikat. Kekuatan teknik bertutur model cerita, yang memadukan narasi, deskripsi, dan dialog, menjadi tumpuan keberhasilan dan daya pikat sebuah feature.

Jika langkah-langkah tersebut dapat diaplikasikan dengan jitu, maka akan tertulislah sebuah feature yang benar-benar kuat dan hidup, menghibur dan mengasyikkan, serta menarik dan mengesankan.

 

Judul dan gaya pembuka

Daya pikat pertama sebuah feature adalah judulnya. Judul sebuah feature harus benar-benar eye catching, dapat membuat pembaca “jatuh cinta” pada pandangan pertama. Judul memiliki peran penting dalam mempengaruhi minat calon pembaca untuk membaca sebuah feature di suatu surat kabar, atau melewatkannya begitu saja. Judul feature yang eye catching adalah yang pendek, unik, komunikatif, dan kalau mungkin yang sastrawi.

Setelah judul, daya tarik berikutnya adalah gaya pembuka (intro atau lead)-nya. Setelah terpikat oleh judul feature yang menarik, pembaca biasanya akan mencicipi feature dengan membaca alinea pembukanya. Jika alinea pembukanya memikat, enak dan menghanyutkan perasaan serta pikirannya, maka pembaca akan terus membacanya sampai akhir.

Sementara itu, bagian penutup akan menguatkan daya tarik feature untuk meninggalkan kesan yang sulit dilupakan oleh pembacanya. Karena itu, penutup feature haruslah benar-benar mengesankan.

Secara lengkap, Douglas A. Anderson dan Bruce D. Itule memberikan contoh-contoh cara membuka berita (lead, intro, teras) yang menarik. Beberapa di antaranya cukup menarik untuk dijadikan pembuka feature, seperti analogic lead, narratif lead, descriptive lead, dan direct address lead.[12]

Analogic lead adalah gaya pembuka feature yang menganalogikan sosok, perbuatan, atau peristiwa, di dalam feature dengan karakter, cerita, atau peristiwa lain yang sangat dikenal masyarakat. Misalnya, “Bagai Titanic, kapal itu benar-benar pecah setelah lambungnya membentur karang. Air pun secara cepat memasuki ruang-ruang penumpang yang mulai panik….”

Narratif lead adalah pembuka dengan gaya naratif (narasi), seperti gaya pembuka cerpen. Misalnya, “Gadis berambut panjang itu melangkah bersijingkat mendekati lelaki berjas hitam yang baru turun dari sedan mewah. Lelaki itu menebarkan senyum keramahan, dan sang gadis segera mendekat. Ia mengangkat tumitnya untuk mengalungkan bunga ke leher lelaki tersebut.

Lelaki itu adalah wisman kesejuta yang disambut secara istimewa di Taman Monas Jakarta, Rabu, pekan lalu. Para penari Betawi segera menyambutnya pula dengan menghidangkan tari topeng yang menarik….”

Descriptive lead  adalah pembuka yang mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan suatu tempat, benda, atau karakter wajah sosok dalam feature. Dalam hal ini, penulis dapat memakai model deduktif atau induktif, dengan sedikit sentuhan atau susulan adegan agar lebih hidup.

Contoh deskripsi deduktif: “Tebing itu benar-benar sulit didaki. Tingkat kecuramannya hampir 90 derajat, gundul dan licin, serta hampir tak ada tonjolan-tonjolan batu untuk pijakan para pemanjat. Antoni, sang ketua kelompok pemanjat tebing, berfikir keras untuk mencari cara menaklukkannya….”

Contoh deskripsi induktif:  “Aswina cepat-cepat berkaca, hidungnya kembali utuh dan kulit pipi kirinya kembali mulus. Matanya juga kembali berbinar bening, tidak lagi merah buram. Wajahnya kembali cantik seperti semula. Ia bersyukur, operasi bertahap telah menyelamatkan wajahnya dari kerusakan akibat kecelakaan….”

Penulis feature tentu dapat mencoba gaya-gaya pembuka lain yang lebih memikat. Bisa juga gaya-gaya pembuka yang mengandung suspense  seperti dalam penulisan cerpen. Memang diperlukan kreativitas dan daya imajinasi yang tinggi untuk membuat pembuka feature yang memikat.

Menemukan pembuka (lead atau intro) yang pas adalah kunci untuk mengalirkan karangan, kata demi kata membentuk kalimat yang efektif, kalimat demi kalimat membentuk alinea yang memikat perasaan, alinea demi alinea membangun karangan yang utuh dan meninggalkan kesan yang kuat bagi pembaca.

Lead  ibarat kran pembuka tabung air, begitu kran dibuka air akan mengucur deras, tinggal kapan saatnya kita menutupnya sesuai kebutuhan. Tentu, agar air mengalir lancar, tabung itu harus berisi, bukan kosong. Dan isi itu adalah fakta-fakta – apapun – yang dicatat wartawan ketika bertemu nara sumber feature dan mengobservasi latar peristiwa.

Tidak seperti berita yang mengenal struktur piramida terbalik yang kaku, seperti struktur piramida terbalik, feature memiliki struktur yang luwes (fleksibel). Sebab, semua bagian feature adalah penting. Kalaupun hendak disebut sebagai struktur, maka struktur feature adalah struktur empat persegi panjang yang mengalami perluasan menjadi jajaran genjang, seperti struktur yang dikembangkan dalam jurnalistik sastrawi (literary journalism).

 

Penutup dan pesan moral

Sebagai penutup, yang penting diperhatikan, setiap feature juga harus membawa atau dapat melahirkan pesan moral tertentu. Pesan moral feature disampaikan dalam dua cara. Pertama, disampaikan secara tersurat melalui penuturan reporter secara langsung (manifest message). Dan, kedua, dinyatakan secara tersirat melalui jalan cerita, keteladan tokoh, karakter, plot, suasana, dan latar atau lokasi peristiwa (hidden message).

Dengan sentuhan pesan moral, maka lengkaplah kehadiran sebuah feature sebagai bacaan rekreatif yang sekaligus inspiratif, informative sekaligus edukatif, sebuah oase  yang menyenangkan (menghibur) sekaligus mencerahkan nurani pembacanya.***

Jakarta, 5 Maret  2015/2021

  • Pengantan untuk pelatihan penulisan feature.

 

Daftar Pustaka

  1. Anderson, Douglas A., dan Bruce D. Itule, News Writing and Reporting for Today’s Media (McGraw-Hill, Inc., New York, 1994).
  2. Daud, Amir, “Teras yang Memikat”, bahan untuk In House Training, Harian Yogya Post,
  3. Hadimadja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1978.
  4. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Feature, Sebuah Pendekatan”, makalah untuk Pelatihan Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16 Juni 2005.
  5. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Tipologi dan Proses Penulisan Berita”, makalah untuk Pelatihan Jurnalistik Majalah Karisma, Universitas Pramita Indonesia, Tangerang, 21 Januari 2006.
  6. Kuntarto, Niknik M., Saatirah (Grasindo, Jakarta, 2010).
  7. Putra, Masri Sarep R., Jurnalistik Sastrawi, Literary Jurnalism (UMN Press, Serpong, 2010)
  8. Siregar, Ashadi, “Antara Fakta dan Opini”, makalah diskusi terbatas di Harian Yogya Post,
  9. Situmorang, Saut, “Jurnalisme Sastra, Selayang Pandang”, makalah untuk diskusi Jurnalisme Sastra Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di Surakarta, 17 Juli 2003.
  10. Sumadiria, AS Haris, Drs. M.Si, Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, 2008.
  11. Telesa, Gay, The Reporter as Artist (Ronald Weber, Ed, Hastings House, New York, 1974).
  12. Weber, Ronald, ed., The Reporter as Artist (Hastings House, New York, 1974).
  13. Williamson, Daniel R., Feature Writing for Newspaper (Hasting House Publishers, New York, 1980).
  14. Wolfe, Tom, The New Jurnalism (McGraw-Hill, Inc., New York, 1973).

 

Catatan kaki:

[1] Dalam buku Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1978, halaman 9-11.

[2] Disampaikan Ashadi Siregar dalam prasaran tanpa teks di kantor redaksi Yogya Post, Yogyakarta, 1989.

[3] Dalam Anderson, Douglas A., dan Bruce D. Itule, News Writing and Reporting for Today’s Media  (McGraw-Hill, Inc., New York, 1994).

[4] Williamson, Daniel R., dalam Feature Writing for Newspaper, Hasting House Publishers, New York, 1980, halaman 12.

[5] Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Simbiosa Rekatama Media, Jakarta, 2008, hlm. 10-151.

[6] Dikutip oleh Williamson, Daniel R., opcit, halaman 42.

[7] Telesa, Gay, dalam The Reporter as Artist (Ronald Weber, Ed, Hastings House, New York, 1974, halaman 83).

[8] Disampaikan oleh Farid Gaban dalam in house training di Harian Republika, Jakarta, 1994.

[9] Telesa, Gay, opcit, halaman 73.

[10] Terjemahan lengkapnya dimuat Majalah Matra, Jakarta, edisi Januari 1987.

[11] Contoh kutipan tersebut juga dikutip oleh Saut Situmorang dalam makalahnya, “Jurnalisme Sastra, Selayang Pandang”, disampaikan dalam diskusi Jurnalisme Sastrawi, yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Surakarta, 17 Juli 2003.

[12] Anderson, Douglas A., dan Bruce D. Itule, dalam News Writing and Reporting for Today’s Media  (McGraw-Hill, Inc., New York, 1994). Sering dikutip Amir Daud dalam berbagai diklat jurnalistik.

 

Related posts

Leave a Comment

five × three =