ESAI 

KETIKA KSI MERANGKUL YANG TERPINGGIRKAN

Masyarakat sastra pernah nyaris terbelah oleh wacana pusat dan pinggiran. Para penjaga gawang sastra yang menempati pusat-pusat pentasbihan, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Horison, dianggap kurang memberi tempat pada “sastrawan pinggiran”. Dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an, dua lembaga itu dicurigai sengaja meminggirkan sastrawan daerah, dan bahkan sastrawan Jabotabek, yang belum punya nama.

Para “sastrawan pinggiran”, yang umumnya berkreasi di kantong-kantong (komunitas) sastra, merasa dipinggirkan, peduli pada yang terpinggirkan, harus berjuang keras untuk dapat tampil di TIM  dan menembus Horison yang dianggap barometer sastra nasional.

KSI atau Komunitas Sastra Indonesia didirikan untuk menyiasati wacana pusat dan pinggiran itu, dengan cara  memberdayakan masyarakat sastra dan meningkatkan kreativitas mereka. Ketika itu sastra koran sedang berjaya serta isyu pusat dan daerah, tengah dan pinggiran, sedang memanas. Sejumlah sastrawan yang merasa dipinggirkan, atau merasa peduli pada sastrawan pinggiran, berhimpun untuk melakukan pemberdayaan agar pusat-pusat sastra, seperti TIM, Horison, dan media sastra koran-koran nasional, bisa direbut dan dibuka – menerima karya-karya sastra mereka untuk ikut berbicara.

Pertemuan pertama untuk mendirikan KSI dilakukan di rumah Azwina Aziz Miraza, pemilik dan pemimpin Ina Mentari Anugrah Promindo, di Ciputat, Tangerang, awal Agustus 1996. Puluhan nama dari berbagai kalangan, mulai dari sastrawan, pemerhati dan peminat sastra, guru, wartawan, pengamen, hingga buruh, tercatat pada pertemuan tersebut. Misalnya, Agusta Karyanto, Asa Jatmiko, Asmian, Ayid Suyitno PS, Azwina Aziz Miraza, Diah  Hadaning, Dingu Rilesta, Endang Supriadi, Entis Sutisna, Hasan Bisri BFC, Hendry Ch. Bangun, Iwan Gunadi, Kardi Syaid, Kennedi Nurhan, Medy Loekito, Nanang R. Supriyatin, Nurjana Sutarji, Shobir Poerwanto, Slamet Rahardjo Rais, Sumar, Toto D. Asmoyo, Widodo Arumdono, Wig SM, dan Wowok Hesti Prabowo.

Walau tidak bulat, pertemuan tersebut menyepakati rencana pembentukan organisasi yang menghimpun sastrawan di Jabotabek. Sebelas orang yang dianggap dapat mewakili orang-orang yang hadir saat itu, terutama sebagai wakil komunitas sastra, ditunjuk untuk menindaklanjuti rencana pembentukan organisasi tersebut. Mereka adalah Wowok Hesti Prabowo sebagai wakil Roda-Roda Budaya (Tangerang), Ahmadun Yosi Herfanda sebagai wakil Forum Diskusi Budaya Republika (Jakarta), Ayid Suyitno PS sebagai wakil Kelompok Sastra Kita (Jakarta), Azwina Aziz Miraza sebagai wakil Ina Mentari Anugrah Promindo (Tangerang), dan Diah Hadaning sebagai wakil Warung Sastra Diha (Bogor).

Kemudian, Hasan Bisri BFC sebagai wakil Kelompok Sastra Televisi Pendidikan Indonesia (Jakarta), Iwan Gunadi sebagai wakil Kelompok Tikar Pandan (Jakarta), Medy Loekito sebagai wakil Rumah Sastra Pulo Asem (Jakarta), Shobir Poerwanto sebagai wakil Sarang Matahari Penggiat Sastra (Jakarta), Slamet Rahardjo Rais sebagai wakil Masyarakat Sastra Jakarta (Jakarta), dan Wig SM sebagai wakil Dapur Sastra Bekasi (Bekasi). Merekalah yang selanjutnya mengadakan serangkaian rapat untuk mewujudkan wadah yang paling pas bagi upaya pemberdayaan tersebut.

Kepedulian pada nasib sastrawan pinggiran, dan keberpihakan pada perjuangan mereka untuk tampil di pusat-pusat sastra, terus diwacanakan dalam berbagai pertemuan, diskusi, dan media massa. Akhirnya, pada 7 September 1996 di Jakarta, pendirian KSI disepakati. Nama yang merupakan usulan Viddy Alymahfoedh Daery tersebut disepakati, karena dianggap paling pas. Yang dapat dianggap komunitas tak hanya manusia anggotanya, tapi juga minat orang-orangnya, yakni sastra. AD-ART KSI pun disiapkan secara maraton  melalui rapat dan usulan-usulan melalui SMS, lalu dimatangkan oleh Iwan Gunadi.

Pada tahun itu pula dilakukan pemilihan pengurus. Pada rapat di kediaman Ahmadun YH, Pamulang, terpilihlah Wowok Hesti Prabowo sebagai ketua KSI periode pertama (1996-1999) dengan sekretaris Medy Lukito dan wakil ketua Iwan Gunadi. Masih ada nama-nama Wig SM sebagai wakil sekretaris, serta Ayit Suyitno PS dan Hasan Bisri BFC sebagai bendahara dan wakil. Sementara nama-nama Korrie Layun Rampan, Diah Hadaning, Ahmadun YH, Eka Budianta, dan Azwina Aziz Miraza dipasang sebagai penasehat. Di jajarab bawah masih ada tujuh coordinator bidang, antara lain Slamet Rahardjo Rais, Shobir Pur, Viddy Alimahfoedh Daery, Kardy Said, dan Wilson Tjandinegara. Mereka, terutama Wowok, banyak berkorban dana, tenaga, dan waktu untuk mengibarkan KSI sebagai komunitas yang baru lahir.

KSI pun mulai mengembangkan sayapnya dengan semangat gotong-royong dan ikatan solidaritas sosial. KSI tak hanya ingin merangkul sastrawan, tapi siapa pun yang ingin berkembang melalui sastra. Selain sebagai bagian dari frasa sastra Indonesia, kata Indonesia dalam KSI sendiri akhirnya memang melewati keinginan awal pendirian organisasi dengan cakupan Jabotabek. Sebagaimana para pendirinya, anggota KSI pun berlatar belakang beragam: wartawan, buruh pabrik, dosen, guru, penganggur, pegawai negeri, dan karyawan swasta. Di luar dugaan. KSI juga menarik minat pecinta sastra dari berbagai daerah dan bahkan luar negeri. Anggota KSI tak hanya di Jabotabek, tapi menyebar di pelbagai kota di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Mesir.

Keberagaman dalam KSI, dalam penilaian Daniel Dhakidae  (sosiolog) dan Suryadi (dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia) menunjukkan adanya upaya membuka eksklusivitas di kalangan sastrawan. KSI merupakan sebuah upaya dekonstruksi terhadap kemapanan pekerja seni (sastra). Kehadiran KSI menyebabkan makin transparannya batas-batas profesi sastrawan. Mereka mencoba memperbaiki atau memaksimalkan hubungan yang selama ini kurang mutual dan saling curiga antarpihak dalam sebuah komunitas sastra. Dengan semangat merangkul semua, bahkan para sastrawan Tionghoa peranakan (Yin Hua), membuat KSI mudah diterima di banyak kalangan.

Hampir empat tahun setelah pendirian, KSI resmi menjadi organisasi kebudayaan yang berbadan hukum melalui pembuatan Akta Notaris Nomor 62 di Kantor Notaris dan PPAT Herry Sosiawan, S.H., Tangerang. Pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008, bentuk organisasi KSI berubah menjadi organisasi massa (ormas). Sejak itu, boleh jadi, KSI menjadi ormas pertama di bidang sastra atau bahkan seni di Indonesia.

Pelbagai kegiatan telah dilakukan KSI, baik yang diselenggarakan KSI Pusat maupun KSI cabang di pelbagai provinsi di Indonesia dan di luar negeri. Kegiatan-kegiatan itu meliputi diskusi dan sarasehan sastra, pertunjukan, penerbitan, perlombaan, pendidikan dan pelatihan, dan penelitian – sesuai kebutuhan anggota komunitas dan masyarakat sastra, merangkul yang terpinggirkan dan yang merasa terpinggirkan. Pemakaian auditorium PDS HB Jassin di pusat kesenian TIM untuk berbagai kegiataan KSI menjadi salah satu upaya menjadikan anggota dan simpatisannya dapat berekpresi (bersuara) di pusat kesenian itu.

KSI juga bersifat terbuka, memberi kesempatan kepada pengurus dan anggotanya yang punya ide kegiatan dan membidani atau melaksanakan gagasan itu. Medy Loekito, misalnya, membidani lahirnya Antologi Puisi Indonesia (API) bersama penerbita Angkasa Bandung – buku tebal dalam dua jilid. Kemudian, Medy juga membidani antologi puisi Resonansi Indonesia – antologi puisi penyair Tionghoa dan penyair Indonesia.

Di bidang penelitian, bekerja sama dengan Litbang Harian Kompas, KSI pernah meneliti pelbagai komunitas sastra di Jabotabek pada 1998. Boleh jadi ini merupakan penelitian pertama tentang komonitas sastra. KSI terus bergerak maju dengan kerja keras dan pengorbanan, juga semangat untuk berbagi pengalaman, mengadakan diskusi demi diskusi, dan penerbitan buku. Sebuah diskusi yang menarik adalah diskusi Membangun Pemahaman Budaya Melalui Sastra di sebuah kafe di TIM, dalam tahun 2009, dengan manghadirkan para pembicara dari Malaysia dan Indonesia. Diskusi ini penting karena diadakan di tengah wacana klaim Malaysia soal lagu “Rasa Sayange” serta “Tari Pendet” dan “Tari Piring”.

 

Penerbitan Buku

Sejumlah buku juga pernah diterbitkan KSI, antara lain Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997); kumpulan puisi Indonesia Setengah Tiang karya Toto ST Radik (1999); kumpulan puisi dua bahasa Indonesia dan Mandarin Resonansi Indonesia (2000); Narasi 34 Jam, Antologi Puisi Antikekerasan KSI Award (2001); dan Romansa Pemintal Benang, Puisi-Puisi Husnul Khuluqi (2006). Beberapa lomba penulisan puisi dan cerita pendek pernah dilakukan KSI di bawah tajuk KSI Award, yang kemudian memunculkan sejumlah nama baru dalam peta kesusastraan modern Indonesia.

Sejalan dengan dinamika KSI dan kesibukan pengurusnya, kepengurusan KSI pun terus berganti. Setelah periode Wowok, terpilih Ahmadun YH menjadi ketua KSI periode kedua (1999-2002), dengan wakil ketua Slamet Rahardjo Rais, sekretaris Medy Loekito, dan bendahara Kurnia Affendi. Untuk penggalangan dana, KSI memerlukan lembaga berakte notaris. Maka dibentuklah yayasan, dengan nama Yayasan KSI dan Wowok Hesti Prabowo mendapat mandat sebagai ketua YKSI.

Berbagai kesibukan membuat KSI harus dipikul bersama. Kemudian bentuk lembaga kepengurusan KSI diubah dan beban ketua dibagi ke dalam presidium. Terpilih menjadi presidium, Ahmadun YH, Diah Hadaning, dan Wowok Hesti Prabowo, dengan sekeretaris Kurnia Effendi dan bendahara Shobir Poer. Bentuk presidium ini untuk masa kepengurusan 2001-2004.

Pada priode  berikutnya (2004-2007) KSI kembali ke bentuk semula.  Iwan Gunadi dipercayai sebagai ketua, dengan sekretaris Humam S. Chudari den bendahara Fatin Hamama. Pada periode Iwan ini kepengurusan KSI mengalami pemekaran dengan pengurus lebih banyak dan memiliki kelompok kerja. Perubahan ini diberlakukan mulai periode 2006-2007. Iwan Gunadi masih dipercayai sebagai ketua, dengan dua wakil ketua: Shobir Poer dan Fatin Hamama. Sekretaris Bambang Widiatmo dan Aris Kurniawan serta bendahara Diah Hadaning dan Humam S. Chudori.

Kepengurusan Iwan Gunadi itu mengantarkan KSI pada kongres pertama di Kudus pada 2008 dengan hasil kepengurusan yang sangat lengkap, dan mulai mengenal Pengurus Pusat dan Pengurus Daerah, karena cabang-cabang KSI mulai berdiri di daerah-daerah dan luar negeri. KSI berkembang menjadi ormas yang besar. Kegiatan KSI makin marak, karena diadakan di Pusat (Jakarta) dan di daerah-daerah oleh cabang-cabang KSI. Kantong-kantong (komunitas) sastra yang bertebaran di banyak kota dan daerah pun makin bergairah untuk beraktivitas.

Kongres KSI di Kudus, yang dibarengi dengan seminar dan pertunjukan sastra, menghasilkan Ahmadun Yosi Herfanda sebagai ketua umum KSI Pusat. Wakil ketua umum Fatin Hamama dan dibantu empat ketua: Maman S. Mahayana, Jumari HS, Micky Hidayat, Kurnia Effendi, dan Hudan Hidayat. Terpilih sebagai Sekjen Shobir Poerwanto, dan wakil Sekjen Endang Supriadi. Ada empat sekretaris yang membantu Sekjen, yakni Bambang Widiatmoko, Rita Yassin, Abdul Karim, Hasan Bisri BFC, dan Medy Loekito. Sebagai bendahara Humam S. Chudori, dengan wakil bendahara Iwan Gunadi. Masih ada tiga ketua yang membantu mereka: Ketua Seksi Pengembangan Organisasi Endo Senggono, Ketua Seksi Kerja Sama dan Hublu Viddy AD Daery, dan Ketua Seksi Humas dan Penerbitan Iwan Gunadi.

Berbagai kegiatan terus diadakan di Jakarta, Tangerang (tempat embrio KSI digodok), serta berbagai kota dan negara yang memiliki cabang KSI, seperti Mesir (Fatin Hamama), Kalimantan Selatan (Micky Hidayat), serta Sumatera Utara (Idris Pasaribu); baik sebelum kongres maupun sesudah kongres. Di Kalimantan Selatan banyak pula berdiri cabang KSI, yang antara lain dibidani oleh Iwan Gunadi dan Bambang Widiatmoko ketika mereka bertandang ke daerah tersebut.

Diprakarsai oleh Wowok, KSI juga sempat mendirikan dua organisasi informal. Pertama, Akademi Sastra Tangerang (Astra) yang diluncurkan KSI pada 2004. Astra merupakan lembaga informal yang mencoba mengarahkan dan menemukan bibit-bibit baru dalam penulisan karya sastra. Kedua, berhimpitan dengan pendirian Astra, sejak sekitar akhir 2003, KSI mendirikan Lembaga Pelatihan Komunikasi Masyarakat (LPKM). Inilah upaya pertama KSI menggali sedikit dana tidak melalui cara donasi untuk turut mendukung pembiayaan pelbagai kegiatan organisasi nirlaba ini. Itu juga upaya pertama KSI menyelenggarakan kegiatan pelatihan secara terstruktur.

Pembinaan calon-calon pekerja sastra dilakoni pula, baik melalui sejumlah bengkel kerja yang bersifat temporer maupun yang berkelanjutan seperti Institut Puisi Tangerang (IPT) dan Akademi Sastra Tangerang (Astra). Sejumlah acara lain digelar pula, seperti “Debat Sastra dan Pertarungan Penyair Akhir Abad XX” di Jakarta pada 1999 bekerja sama dengan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN), diskusi dan peluncuran buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia susunan Korrie Layun Rampan dalam acara “Telah Lahir Angkatan 2000” di Jakarta pada 2000, perkemahan sastrawan dan pramuka dalam “Perkemahan Sastra Indonesia 2005” di Jakarta pada 2005 bekerja sama dengan Kwartir Nasional (Kwarnas), dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 di Kudus (Jawa Tengah) pada 2008.

Kegiatan yang sempat diadakan oleh KSI pada masa kepengurusan hasil kongres Kudus (Ahmadun  YH dkk.), antara lain Jakarta International Literary Festival (JILfest) I pada 2008 bekerja sama dengan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) DKI Jakarta, di Kota Tua, Jakarta. Maman S. Mahayana (ketua KSI dan KCI), Yusup Sugito (Disbudpar), dan Ahmadun YH (ketua umum KSI dan KCI) bekerja keras untuk mewujudkan acara sastra 10 negara itu. Kemudian, pada 2011, dengan dukungan komunitas dan lembaga yang sama KSI menyelenggarakan JILfest II di Hotel Millenium dan di Gedung Kesenian Jakarta, dengan menampilkan pembicara dan peserta dari 11 negara. Belakangan JILfest diambil alih oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan menyelenggarakan acara serupa pada 2019 dan dengan hanya mengubah singkatannya menjadi JILF dengan kepanjang tetap sama: Jakarta Internatinal Literary Festival. Penamaan program yang kurang kreatif.

Dengan munculnya gerakan puisi esai, yang sempat merumorkan bahwa KSI mendukung gerakan ini, perlu ditegaskan bahwa KSI tidak pernah mendukung gerakan ini. Jika ada sementara penyair simpatisan KSI yang menulis puisi esai, itu lebih sebagai pilihan pribadi. KSI menghormati pilihan itu selama sebagai begian dari kebebasan kreatif penyair. Bukan karena ikut-ikutan, atau karena dibayar mahal. Penyair, dalam menulis puisi, berada di ruang merdeka. Dia merdeka mengelola dirinya sendiri, dan ekspresi kreatifnya, bebas dari intervensi “politik uang” dari siapapun.

Semasa masih aktif, KSI juga sempat menggagas dan membidani lahirnya forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), yang menjadi forum bergilir acara sastra lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam). Viddy AD (saat itu sebagai koord. hubungan luar negeri) dan Ahmadun YH (saat itu sebagai ketua umum KSI) menggagas perlunya pertemuan penyair secara bergilir di negara-negara ASEAN pada acara yang digelar oleh Laboratorium Sastra Medan (diketuai oleh Afrion), dan dihadiri oleh sastrawan lima negara tersebut. Forum menyetujui  dibentuk forum kerja sama antarkomunitas di lima negara ASEAN. Dirjen Nilai-niali Budaya Depbudpar RI Dr. Muklis Pa’Eni, yang tampil sebagai pembicara, pun mendukung gagasan itu. Lahirlah forum yang semula diberi nama Pesta Punyair Nusantara, dan kesepakatan kerja samanya ditandatangani sastrawan dari lembaga-lembaga yang diwakilinya: Ahmadun YH (KSI), SM Zakir dan Moh Saleeh Rahamad (PENA Malaysia), Nik Rakib bin Nik Hasan (Malay Studies, Thailand), Zefri Ariff (Asterawani, Brunei), dan Djamal Tukimin (Asas 50, Singapura).

Sejak saat itu digulirkanlah forum dua tahunan tersebut. Pertemuan sastra Medan, yang diprakarsai oleh Afrion, dianggap sebagai PPN I. PPN II dilaksanakan di Kediri, ditangani oleh ketua KSI Cabang Kediri Khoirul Anwar. PPN terus bergulir. PPN III diadakan di Brunei Darussalam dan diprakarsai oleh Zefri Ariff (Asterawani), PPN IV diadakan di Kuala Lumpur diprakarsai oleh Moh. Saleeh Rahamad dan SM Zakir (PENA) sebagai ketua pelaksana. Di Kuala Lumpur nama “pesta” diganti “pertemuan”. Jadilah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN).

PPN kembali ke Indonesia. PPN V diadakan di Pelambang, diprakarsai oleh Anwar Putra Bayu dan dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan. PPN VI digelar di Jambi dan diprakarsai oleh Ramayani serta dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Jambi. PPN VII kembali ke manca negara dan dilaksanakan di Singapura, diprakarsai oleh Djamal Tukimin. PPN VIII dilaksanakan di Thailand Selatan, diprakarsai oleh Nik Rakib bin Nik Hasan.

PPN IX kembali ke Indonesia, dilaksanakan di Tanjung Pinang, diprakarsai oleh Husnizar Hood, bersamaan dengan pemberian Anugerah Jembia Emas. PPN X dilaksanakan di Banten, diprakarsai oleh Chavcay Syaefullah, bersama Dewan Kesenian Banten (DKB). PPN XI dilaksanakan di Kudus, Juni 2019. Jumari Hs (ketua KSI Kudus) dan Mukti Sutarman SP (PT Djarum) yang membawa PPN ke Kudus. Thomas Budi Santosa dan Bakti Budaya Djarum Foundation mendukung PPN berlangsung secara meriah di kota kretek itu. Selanjutnya, PPN XII akan dilaksanakan di Malaysia, menunggu wabah Covid reda.

Sementara itu, kepengrusan KSI terus bergulir. Kongres KSI II, dibarengi seminar sastra, diadakan di Puncak, Bogor, pada 2012. Politik sastra mulai mengimbas ke KSI. Kalau pemilihan kutua sebelumnya berjalan mulus, kali ini ada dua nama calon ketua yang agak alot penentuannya: Bambang Widiatmoko dan Medy Loekito. Pihak pendiri KSI cenderung membiarkan ini dalam situasi mengambang. Situasi mengambang ini berlangsung lama, sampai periode kepengurusan berakhir. Beberapa kegiatan memang sempat diadakan, tapi lebih cenderung ditangani oleh Dewan Pendiri yang diketuai oleh Wowok Hesti Prabowo, dan kegiatan di cabang-cabang KSI yang dikelola oleh masing-masing ketua cabang.

Memasuki usia ke-20, tahun 2016, KSI menggelar Kongres Komunitas Sastra Indonesia III di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, 8-10 Januari 2016, yang diinisiasi oleh Shobir Purwanto. Selain pemilihan pengurus KSI periode 2016-2019 sebagai agenda utama, seperti biasa, kongres juga diisi seminar sastra nasional dengan tema “Kembali ke Literasi: Peta dan Prospek Penerbitan Komunitas Sastra di Indonesia”. Kongres memilih Ayit Suyitno PS sebagai ketua umum dan Aris Kurniawan sebagai Sekjen. Sayangnya, Ayit sakit setelah terpilih menjadi ketua umum, sehingga KSI vakum kegiatan hingga sekarang. @ ahmadun yh

 

 

Cuplikan Kegiatan KSI

  1. “Sidang Puisi Ala KSI atas Fenomena Penyair Buruh” di PDS H.B. Jassin, TIM, Jakarta Pusat, 4 Januari 1997, bekerja sama dengan Roda-Roda Budaya.
  2. “Temu Penyair Indonesia ‘97” di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, 25 Oktober 1997.
  3. Pemetaan Komunitas Sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi bekerja sama dengan Litbang Harian Kompas, 1998.
  4. Pembacaan dan musikalisasi puisi bertajuk “Dunia Sastra Buruh” di Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1 Desember 1999.
  5. “Debat Sastra dan Pertarungan Penyair Akhir Abad XX” di Wisma Antara, Jakarta Pusat, 30 Desember 1999, bekerja sama dengan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara.
  6. Penyelenggaraan acara “Khasanah Sastra Tionghoa di Indonesia” di Bentara Budaya, Yogyakarta, 11 Maret 2000, bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka.
  7. Diskusi dan peluncuran buku antologi puisi dwibahasa Indonesia-Mandarin Resonansi Indonesia di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta Pusat, 18 Maret 2000.
  8. “Pentas Puisi dan Musik Perdamaian” dengan tema “Tuhan Menggambar Kita” di Purna Budaya, Yogyakarta, 29 April 2000, bekerja sama dengan Yayasan Limpad dan Taman Budaya Yogyakarta.
  9. KSI mendukung serangkaian acara di Surabaya dan Mojokerto di Jawa Timur, Surakarta atau Solo dan Semarang di Jawa Tengah, Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Jakarta, untuk mencari kejelasan keberadaan Wiji Thukul, 2000.
  10. Diskusi dengan tajuk “Menilik Sastra Komunitas” di PDS H.B. Jassin, TIM, Jakarta Pusat, 3 November 2001, bekerja sama dengan Perhimpunan Penulis Yin Hua.
  11. Penyelenggaraan sayembara penulisan karya sastra memperebutkan KSI Award 2001.
  12. Penyelenggaraan sayembara penulisan karya sastra memperebutkan KSI Award 2002.
  13. Penyelenggaraan sayembara penulisan karya sastra memperebutkan KSI Award 2003.
  14. Penyerahan piagam penghargaan penobatan Ayu Okvitawanli oleh Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai penulis novel termuda (11 tahun) dengan  novel berjudul Surprise, mystery: siapa pembunuh misterius itu? di kantor Muri, Semarang, Jawa Tengah, 30 Januari 2003.
  15. Pemutaran film dokumenter sejumlah pelaku sastra, seperti Ronggowarsito, Pramoedya Ananta Toer, dan Selasih, di sejumlah tempat di Jakarta dan Tangerang, 2003-2004, bekerja sama dengan Yayasan Lontar dan Workshop Production Network.
  16. “Perkemahan Sastra Indonesia 2005” di Bumi Perkemahan Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur, 22-23 April 2005, bekerja sama dengan Kwartir Nasional.
  17. KSI mendukung “Festival Kesenian Buruh” yang diselenggarakan Dewan Kesenian Tangerang (DKT) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di TIM, Jakarta Pusat, 25 April sampai 1 Mei 2005.
  18. Grand launching buku antologi puisi Papyrus karya Fatin Hamama di Teater Kecil, TIM, Jakarta Pusat, 23 Mei 2006, dengan tajuk “Perempuan Tak Perlu Tempat”.
  19. Sejumlah kegiatan filantropis, seperti menjenguk kritikus dan dokumentator sastra H.B. Jassin yang terbaring sakit di rumahnya di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, serta menyerahkan sumbangan dari para anggota dan donatur KSI kepada istrinya, Yuliko Jassin, 26 Februari 2000; turut menggalang dana untuk korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara (Sumut), 31 Desember 2004; membantu pembiayaan sastrawan Maroeli Simbolon yang dirawat di Rumah Sakit Cikini, Jakarta, karena penyakit gagal ginjal, 2005; menyantuni korban gempa di DIY dan Jawa Tengah (Jateng), Mei-Juni 2006; menyantuni korban tsunami di Cilacap, Jawa Tengah, ; menyantuni korban banjir besar di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, 2 Februari 2007.
  20. Pelatihan penulisan karya sastra secara rutin dan gratis, 1996-sekarang.
  21. Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008.
  22. Jakarta International Literary Festival (JILfest) 2008 di Jakarta pada 12-15 Desember 2008 bekerja sama dengan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta, di Kota Tua, dan Batavia Hotel, Jakarta.
  23. Diskusi Membangun Pemahaman Budaya Melalui Sastra di sebuah kafe di TIM, dalam tahun 2009, dengan manghadirkan para pembicara dari Malaysia dan Indonesia. Diskusi ini penting karena diadakan di tengah wacana klaim Malaysia soal lagu “Rasa Sayange” serta “Tari Pendet” dan “Tari Piring”.
  24. Jakarta International Literary Festival (JILfest) II 2011 di Jakarta pada 12-15 Desember 2011 bekerja sama dengan Komunitas Cerpen Indonesia dan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta, di Gedung Kesenian Jakarta dan Hotel Millenium Jakarta.
  25. Pertemuan Penyair Indonesia (PPN), yang menjadi forum bergilir acara sastra lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam). Viddy dan Ahmadun YH (saat itu sebagai ketua KSI), menggagas perlunya pertemuan penyair secara bergilir di negara-negara ASEAN dalam. Acara yang digelar Laboratorium Sastra Medan, dan dihadiri oleh sastrawan lima negara tersebut menyetujuinya sebagai forum kerja sama antarkomunitas. Lahirlah forum yang diberi nama Pesta Punyair Nusantara, dan kesepakatan kerja samanya ditandatangani lembaga-lembaga yang diwakilinya: Ahmadun YH (KSI), Moh Saleeh Rahamad (PENA Malaysia), Nik Rakib bin Nik Hasan (Malay Studies, Thailand), Zefri Arif (Asterawani, Brunei), dan Djamal Tukimin (Asas 50, Singapura). PPN XI dilaksanakan di Kudus, Juni 2019. Jumari Hs (ketua KSI Kudus) dan Mukti Sutarman SP (PT Djarum) yang membawa PPN ke Kudus. Thomas Budi Santosa dan Bakti Budaya Djarum Foundation mendukung PPN berlangsung secara meriah di kota kretek itu. Selanjutnya, PPN XII akan dilaksanakan di Malaysia, menunggu wabah Covid reda.

 

Buku-buku Terbitan KSI dan Rekan             

  1. Ahmadun Yosi Herfanda dkk, editor. Jogja, 5,9 Skala Richter. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Bentang, 2006.
  2. Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, dan Endang Supriadi, editor. Narasi 34 Jam: Antologi Puisi Antikekerasan KSI Award. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 2001.
  3. Ahmadun Yosi Herfanda. Ed. Sejuta Warna di Langit Jakarta, Kumpulan Cerpen Hasil Sayembara Cerpen JILfest 2008-2011. Komodo Books, Jakarta 2011.
  4. Ahmadun Yosi Herfanda, Ed. Ibu Kota Keberaksaraan, Kumpulan Puisi Peserta JILfest 2011, Dinas Kebudayaan dan Priwisata Provinsi DKI Jakarta, 2011.
  5. Ayu Okvitawanli. Surprise, Mystery: Siapa Pembunuh Misterius Itu?. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 2002.
  6. Diah Hadaning. Gurit 52: Paseksen Anake Ki Suto Kluthuk. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.
  7. Handoyo Wibowo. Kumpulan Sajak dan Geguritan Nurani Peduli. Edisi I. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 2000.
  8. Handoyo Wibowo. Kumpulan Sajak dan Geguritan Nurani Peduli. Edisi II. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia.
  9. Handoyo Wibowo. Kumpulan Sajak dan Geguritan Nurani Peduli. Edisi III. Yogyakarta: Komunitas Sastra Indonesia.
  10. Husnul Khuluqi. Romansa Pemintal Benang: Puisi-Puisi Husnul Khuluqi. Tangerang: Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia, 2006.
  11. Iwan Gunadi. 5 Tahun KSI: Antara Badai dan Hujan Kreatif. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 2001.
  12. Iwan Gunadi dkk, editor. Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan. Tangerang: 2008.
  13. Jeanne L. Yap. Lelaki adalah Sebingkai Lukisan: Antologi Puisi Dwi Bahasa  (Mandarin-Indonesia). Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 2001.
  14. Kurnia Effendi, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Endang Supriadi, editor. Elegi Gerimis Pagi: Antologi Cerpen Mini KSI Award 2002. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 2002.
  15. Medy Loekito dan Ahmadun YH, editor. Resonansi Indonesia. Antologi Puisi Tionghoa-Indonesia. Tangerang: Komunitas Yin Hua dan KSI, 2000.
  16. Melani Budianta dan Iwan Gunadi, editor. Pemetaan komunitas sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia dan L:itbang Kompas, 1998.
  17. Ming Fang. Janji Berjumpa di Kota Pegunungan. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 2001.
  18. Noor Aini Cahya Khairani. Sungai Hitam Semesta Berkabut. Banjarmasin: KSI Banjarmasin, 2004.
  19. Slamet Sukirnanto dkk., editor. Antologi Puisi Indnesia 1997. Volume 1 dan 2. Bandung: Komunitas Sastra Indonesia dan Penerbit Angkasa, 1997.
  20. Toto ST Radik. Indonesia setengah tiang: Kumpulan Puisi Terbaik 1998. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.
  21. Wilson Tjandinegara, penerjemah. Antologi Puisi Dwi Bahasa 101 Puisi Mandarin. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 2000.
  22. Wilson Tjandinegara, penerjemah. Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang (Versi Modern) Mandarin-Indonesia. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 2001.
  23. Wilson Tjandinegara, penerjemah. Kumpulan Cerpen Mini Yinhua. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.
  24. Wilson Tjandinegara. Kumpulan Puisi Rumah Panggung di Kampung Halaman (Indonesia-Mandarin). Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.
  25. Wilson Tjandinegara. Menyangga Dunia di Atas Bulu Mata. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 1998.
  26. Wowok Hesti Prabowo. Sajak-Sajak Politik: Presiden dari Negeri Pabrik. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.

 

                  ***

 

Related posts

Leave a Comment

2 + 7 =