PUISI 

PERAWAN BADUY

Sajak-sajak Ratna Ayu Budhiarti

________________________________________________________ 

 

 

PERAWAN BADUY

 

pagi bening terpantul dari betisnya yang bersijingkat

menaiki bale bambu

hitam, putih, biru tua – konon hanya itu warna yang boleh ditenunnya

menjadi selembar harap:

sekepul uap nasi di pawon, atau serangkai upacara adat

 

jika pagi dengan uar kopi tetamu menyesaki beranda

matanya malu-malu menatap dari balik jendela

tubuh sintalnya menyirat ragu lalu melipir ke ambang pintu

 

rambut legam tergelung, hidung bangir;

namun dadanya terabak,

dari keningnya melompat tanya:

kenapa kepala kalian begitu beda,

mengepulkan asap yang tak berhenti

memikirkan beragam teknologi?

 

dari jenjang lehernya terkalung seuntai kata:

Tuhan tak perlu sinyal 3G di sini

 

#RAB

 

 

HUJAN SAPARDI BULAN JULI

 

Aku masih diliputi kesedihan ketika sebuah kesadaran mengetuk;

Jika kurunut lagi ke belakang, rasa-rasanya tidak pernah kualami

Sebutir hujan di bulan yang tak sesuai dengan buku-buku pelajaran

 

Ulang tahunku bulan Februari selalu ditandai dengan keberkahan hujan berdekatan dengan Imlek

Sebelum bulan berikutnya air di sumur menyurut, dan kolam ikan tadah hujan di belakang rumah menjadi lukisan lumpur yang retak-retak

 

Musim penghujan selalu dimulai dengan debaran di bulan berakhiran “-ber”

Demikian orangtua-orangtua dulu berkisah setelah kepandaiannya membaca rasi bintang di langit

Adalah sesuatu yang tak rajin kupelajari

Maka pengetahuan turun-temurun perihal jadwal musim kemarau dan penghujan pun kuamini

Sebagai konvensi jadwal baku yang jadi bahan ajar di sekolah-sekolah

 

Judul sajakmu, Pak, Hujan Bulan Juni,

adalah sesuatu yang kerap jadi pemantik dalam diskusi minum kopi

Sesekali jadi kelakar bagi yang tak pernah bertemu hujan makna dari puisi

 

Tahun ini, Pak, terbukti

Pandemi memberi kami kesempatan merenungi

Juni basah setelah langit dipenuhi arakan awan bebas polusi

Selain bertanya-tanya kapan wabah ini berakhir, Sang Waktu memberikan bonus hujan lebih panjang

Seakan meyakinkanku juga, bahwa sesuatu yang tampak musykil

Dikabulkan Tuhan dengan cara ganjil

 

Lalu Tangan Waktu mengulurkan hujan tambahan

Juli ditambahi gerimis deras sampai jauh ke dasar dada

Rupanya kau ingin memberikan kenang-kenangan

Serupa pertanda di setiap puisi-puisimu, Pak.

Hujan Bulan Juni mengabadi

Hujan Sapardi di bulan Juli menggenapi duka hati

 

#RAB

Puisi-prosa buat SDD.

 

 

MEMOIRÈ

Aku mengenang matamu yang pisau
dengan kilat paling menyakitkan

Ada yang lebih risau
mengalahkan desau
yang dikirim hujan pada daun-daun di akhir kemarau:
bayang-bayang kematian
bagi tunas yang seharusnya mekar

Aku mengenang matamu yang pisau
Menguliti lapisan-lapisan pertahanan
Di balik keteguhan—ketakutan

Pada senja ketika denyaran mataku
menghujani jemari indahmu di gitar tua
Seharusnya malam jadi pesta kemabukan,
dan kita merayakan harapan di gerbang napas

Aku mengenang matamu yang pisau
Sekali lagi
Menikmati padma merona di kolam hati
Sekaligus menyalakan api untuk luka
Yang seharusnya dikubur jejak usia.

#RAB

 

 

RUMAH PUTIH MUNGIL

Aku memimpikan sebuah rumah mungil bercat putih. Seperti impian kita. Persis seperti rumah yang kita lihat waktu itu, di hook, di ujung jalan, dengan hanya dua kamar dan taman mungil.

Taman itu kelak kutanami bunga warna-warni dan dedaunan hijau segar yang menyejukkan matamu. Meski keterampilanku bercocok tanam dan merawatnya kerap menguap dihalau kesibukan.

Mungkin taman kecil itu akan kubiarkan berada persis di depan jendela kamar kita. Agar setiap kau membuka jendela tiap paginya, hijau dedaunan membantu menyegarkan mata minusmu.

Dan jangan lupa bagian dapurnya. Di sudut yang mungil, tempat kelak kusiapkan makanan kesukaanmu dan minuman hangat yang tak akan menyusahkan tenggorokanmu.

Aku barangkali tak pandai menambahkan dekorasi dan detail. Tapi sudut favorit tempat membaca haruslah ada. Kita akan berdebat dan bertukar kata-kata di sana. Mengolahnya jadi sajak, jadi cerita, jadi kisah yang kelak bersejarah.

Masa tua kita tentu takkan dilewatkan dengan jenuh dan kesepian. Meski satu kamar berisi anak remaja itu sesekali jadi sepi karena ia sibuk dengan dunianya. Atau kamar lainnya milik kita sesekali tak kau lengkapi, tapi ada kehangatan yang betah dan memilih tinggal lebih lama daripada dinginnya sepi.

Aku memimpikan rumah putih di sudut jalan itu. Jatuh cinta sejak pertama kali seperti juga bagaimana kau mampu meluluhkan hatiku.

Ah, hari sudah larut. Aku lanjutkan lagi mimpiku tentang rumah putih kita itu.

 

#RAB

 

 

PAKET LEBARAN

: untuk Jokpin

 

Tahun ini aku absen mudik

Rindu dan kesedihan

sembunyi di dasar kaleng

Serena eggroll favorit ibuku

bersama koin seribuan yang ditabungnya

untuk dibagi pada anak-cucu saudara di kampung

 

Kami patuh diam di rumah,

seperti imbauan pemerintah

Ibuku jadi sering menonton televisi,

Sementara aku mengakrabi IG live,

dan zoom meeting sesekali

 

Lalu buku-buku yang berderet manis

di rak kegirangan menerima sentuhan

dalam masa ketika segala serba ditahan

termasuk keinginan jalan-jalan

 

Salah satu buku itu bahkan menyodorkan

kue-kue sebagai sambutan

Di halaman tertentu buku itu bercerita

tentang sebuah tangisan,

di halaman lain mengisahkan

kegembiraan sepotong rengginang,

di antara keduanya selalu terselip pertanyaan:

Apakah agama Khong Guan?*

 

Tahun ini aku absen mudik,

Seseorang mengirimiku paket lebaran sebagai penghiburan:

Kita menulis puisi saja dan ditabungkan

Sambil menanti musim mudik tahun depan

Dan usia kembali dirayakan.

 

#RAB

*potongan puisi Joko Pinurbo

 

____________________________________

Ratna Ayu Budhiarti lahir pada 1981. Menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, catatan perjalanan, dan beberapa naskah drama. Karyanya dimuat di berbagai media, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusia, dan Korea. Baru menerbitkan 8 buku tunggal dan 60 antologi bersama. Buku Magma, buku ke-enam, masuk nominasi 10 besar Hari Puisi Indonesia 2017. Meraih penghargaan “Wanita dan Budaya Award” dari majalah Good Housekeeping Indonesia (2013). Menjadi peserta beberapa acara sastra, di antaranya: Festival Puisi Internasional Indonesia (2012), Ubud Writers and Readers Festival (2012), diundang oleh PENA Malaysia sebagai pembicara dan pembaca puisi (2016), serta Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (2018, 2019). Mengisi workshop menulis dan menjadi juri pada beberapa lomba tingkat nasional.

Menulis naskah Teater Musikal Monolog Happy Salma “Tegak Setelah Ombak (20-21 Mei 2022). Menulis tentang Inggit pada Soekarno Series, garapan Suarahgaloka (Mei-Juni 2021), dan naskah musikal Mimpi Api-api untuk Sasikirana Dance Camp&Koreo Lab pada Festival Gulali (Oktober 2021). Serta menulis naskah monolog untuk FLS2N jenjang SMA tahun 2022. Menerbitkan buku interaktif Kota Kita Nanti, difasilitasi Goethe Institut (November 2021).

Pernah berkegiatan di SST (Tasik), MSB (Bandung), Hisdraga (Garut), dan KPPI. Saat ini bergiat di Penyair Perempuan Indonesia, Asian Women Writers Association, dan Puan Seni Indonesia.

Perempuan yang Berhenti Membaca, (2020), mendapat penghargaan Buku Prosa Terbaik Langam Pustaka (2021). Saat ini masih tetap menulis dan mengajar yoga di sela aktivitas lainnya.

Related posts

Leave a Comment

seven − three =