PUISI 

HIJRAHKU

Puisi-puisi HM Nasruddin Anshoriy Ch

__________________________________________________________ 

 

HIJRAHKU

 

Hijrahku menebas palang pintu

Rekam kata penuh karatan di masa lalu

Rekam pikir yang kian pandir dan tak tahu malu

Rekam jejak penuh semak dan rimbun perdu

 

Dari tahun lama ke tahun baru

Hijrahku menajamkan mata waktu

Mengasah kasih di pedang kalbu

 

Betapa tumpul masa laluku

Teramat beku sukma merindu

Pantun dan seloka di bening jiwa

Kubiarkan yatim-piatu

 

Kupuisikan hijrah ini

Dalam oarta dan darahku

Sepucuk kata

Sekuncup cinta

Kurendam dalam cawan suci itu

Mihrab mawas diri kuharumkan sewangi gaharu

 

Bersama sekepak sayap sukma

Kuterbangkan gurindam doa-doa

Pada masa depan yang bercipratan cahaya

Bintang-gemintang di alam baka

 

Tuhanku

Hijrahkan aku

Pada tempayan cintaMu

 

 

Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1444 Hijrah

 

 

 

 

JANJI PROKLAMASI

 

 

Kemerdekaan yang telah tiba di pelupuk mata

Bukanlah karpet merah yang dihamparkan bangsa Eropa

 

Bangsa ini bukanlah kaleng karatan

Bukan pula kardus rongsok

Tapi jiwa yang ditempa oleh duka-lara

 

Janji Proklamasi telah melangitkan takbir ke cakrawala

Saat bambu runcing bersumpah pada penjajah

Bahwa Tanah Air Indonesia tak sudi dijadikan alas kaki

 

Dalam labirin kebodohan

Ketika kaum pribumi diinjak hingga di ubun-ubun harga diri

Manakala kedaulatan dilecehkan

Dan akal-sehat dikubur hidup-hidup

Maka Janji Proklamasi berdegub di malam sunyi

 

Kini carilah makna kemerdekaan hingga di pelosok hatimu

Di gubug-gubug reyot bantaran sungai

Di kedalaman hati para petani dan nelayan

Yang kian dimiskinkan oleh kebijakan

 

Hari ini tanggal 17 Agustus

Betapa jauh kita susuri jalanan kudus

Negeri _gemah-ripah_ yang dijauhkan dari nista dan amarah

Bangsa bermarwah yang menunaikan segala amanah

 

Dengan mengucap segala senyap

Sudah saatnya bangsa ini kembali menyalakan api

Membakar dogma-dogma kolonialisme

Bangsa _inlander_ yang pasrah

Dan tak berdaya di injak laras sepatu Kompeni

 

Janji Proklamasi harus dinyalakan

Kemerdekaan adalah amanah dan marwah peradaban

Dan Indonesia adalah rumah besar kita bersama

 

Merdeka!

 

 

Gus Nas Jogja, 16 Agustus 2022

 

 

 

 

 

DI HARI KEMERDEKAAN INI

 

 

Di hari kemerdekaan ini

Aku menyaksikan para pejuang itu terbaring

Rebah tapi tak mati

Berkalang tanah

Tapi terus menyalakan api

 

Dengan doa terbata-bata

Kusapa Pangeran Diponegoro

Kusalami Jenderal Sudirman

Kuselipkan senyum rindu

pada Hadratusyekh Kyai Hasyim Asy’arie

 

Sebelum 77 tahun lalu

10 November itu Surabaya menyala

Bandung menjadi lautan api

Antara Karawang-Bekasi mendidih di ulu hati

 

Hari ini kunyalakan puisi

Suluh semangat di Hari Proklamasi

Seharum gugur bunga

Semerah darah para syuhada

Seputih melati bagi Ibu Pertiwi

 

Hampir malam di Jogja

Saat Sultan Agung berbisik di telinga

Aku mengangguk dengan kobaran cinta

Mati atau Mukti

Seakan menggaris langit dan bumi

Mengasah Sumpah Sang Gadjah Mada

Mengasah iman setajam pena

Cinta Tanah Air tanpa ada batasnya

 

Dengan Mata Takbir

Di ujung bambu runcing

Kutatap wajah _Jan Pieterszoon Coen_ itu

Wajah gagah berhati biadab

 

Dengan Mata Takbir

Di ujung bambu runcing

Kutatap wajah _Jenderal Merkus de Kock_ itu

Wajah tampan berjiwa ular beludak

 

77 Tahun sesudah Proklamasi

Kemerdekaan itu kini gegap-gempita

Tapi nyeri dan lebam tak juga sirna

 

Kepada siapa Merah-Putih itu berkibaran di cakrawala

Para pejuang yang kini tinggal tulang-belulang

Ataukah pada pengkhianat yang kini terus berfoya-foya?

 

Hari ini kuziarahi Tanah Air Indonesia

Tanah yang basah oleh air mataku

Air yang keruh oleh para pendusta bangsa

 

Dengan kepak sayap cinta

Dengan mengucap ikrar _Bismillah_ tanda setia

Kuterbangkan merpati putih ini ke cakrawala

Tapi apa maknanya merdeka

Apa artinya Proklamasi

Jika cakar serigala telah mematahkan sayapnya

Dan membanjiri negeri ini dengan liur dan lendir kejahatannya?

 

Kini mataku kembali berkaca-kaca

Membayangkan di Tahun Emas Kemerdekaan nanti

Ketika anak-cucuku telah hidup di Dunia Maya

Siapakah yang akan menjaga Proklamasi

Merawat Kemerdekaan di Tanah Air ini?

 

77 Tahun lagi nanti

Sesudah 77 Tahun Proklamasi dirayakan hari ini

Akankah labirin korupsi masih menghampar di negeri ini?

Bangsa yang terus berlomba

Akankah kewarasan dan akal sehat menjadi pemenangnya?

Ataukah bangsa ini hanya gagah dalam membenci sesama

Tapi kalah dalam kemanusiaan dan cinta?

 

 

Gus Nas Jogja, 17 Agustus 2022

 

 

_____________________________________________

 

Biodata:

 

Nasruddin Anshoriy Ch, atau yang biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak tahun 1978 saat masih menjadi santri di Pesantren Al Muayyad, asuhan KH. Umar Abdul Mannan, Solo. Saat kelas 1 SMP ia sudah membaca buku Antologi Puisi-Puisi Dunia terbitan Pustaka Jaya, juga puisi Chairil Anwar dan WS. Rendra.

 

Tahun 1983 puisinya yang berjudul Cakar-Cakar Garuda sempat menyibukkan aparat keamanan karena dinilai subversif dan menuliskan kritik tajam pada Orde Baru dan Presiden Suharto. Sempat diinterograsi oleh Pangkopkamtib era Sudomo dan dibela oleh para pakar hukum seperti Abdurrahman Saleh, Adnan Buyung Nasution dll. Dari kalangan seniman muncul Emha Ainun Madjib, Rendra, Mochtar Lubis, HB. Jassin, Taufik Ismail dst yang turut membela, sedangkan Sapardi Djoko Damono menulis Catatan Kebudayaan di Majalah Sastra Horison berjudul “Tiba-Tiba Menjadi Penting”.

 

Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang yang difasilitasi oleh KH. Yusuf Hasyim. Mengadakan Workshop dan Simposiun Nasional tentang Sastra Pesantren dengan mengundang Gus Dur, Ahmad Thohari, Cak Nun, Simon Hate, Hazim Amir dll bersama Teater Dinasti, Teater Mlarat Malang dan Teater Gapit Solo.

 

Tahun 1987 menjadi pembicara pada Forum Puisi Indonesia dengan makalah berjudul “Sastra Engagement: Titiktemu antara Poetika, Komitmen Sosial dan Dimensi Transenden”. Pada tahun yang sama menghadiri undangan Southeast Asian Writer’s Conference di National University of Singapore bersama Sulak Sivaraksa, Edwin Thumbo, F. Sionil Jose dll, dilanjutkan perjalanan sastra di sejumlah negara Asean dengan sponsor Mendikbud Fuad Hassan.

 

Sejak tahun 80-an puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison, Panji Masyarakat, Amanah, dan beberapa puisinya secara khusus diterbitkan oleh Majalah Solidarity Philippines dengan ulasan mendalam oleh F. Sionil Jose sebagai New Voice of Asia.

 

Tahun 2006-2008 menjadi pengisi acara tetap bertajuk “Analisis” di koran Kedaulatan Rakyat, di JogjaTV, dan mengisi “Tausiyah Cinta” di Programa 2 RRI Jogja. Tahun 2013 menjadi Pemrakarsa Penerbitan Buku Antologi 90 Penyair Jogja berjudul “Lintang Panjer Wengi di Langit Jogja” dan buku geguritan edisi Bahasa Jawa.

 

Beberapa kali memenangkan lomba penulisan puisi tingkat nasional, antara lain terkait Lingkungan Hidup, dan Memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka.

 

Tahun 2013 menjadi pembicara pada World Culture Forum di Bali dan berbagai forum kebudayaan lain. Menjadi Produser dan Sutradara berbagai film dokumenter, antara lain “Mata Air Kebangsaan: Pergumulan Sejarah Ki Hadjar Dewantoro”, “Jejak Juang Sang Rais Akbar: Kepahlawanan Kyai Hasyim Asy’arie” dll. Saat ini selain menulis buku, juga menjadi Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri di Jogjakarta. @

 

Foto diambil dari kawaca.com

Related posts

Leave a Comment

17 + twelve =