ESAI 

REFLEKSI 25 TAHUN PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA

 

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pemred Litera

______________________________________________________

 

PPN bermula sekitar 25 tahun yang lalu di kota Medan. Sekitar

50 penyair dari lima negara di kawasan Asia Tenggara (Indonesia,

Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand) berkumpul

di sebuah hotel, diprakarsai oleh Laboratorium Sastra Medan.

Melalui puisi kita saling mengenali, saling memahami, saling

mengapresiasi, dan tiba-tiba pertemuan terasa menjadi penting,

dan harus dilanjutkan ke tahun berikutnya.

 

Rasa persaudaraan kita tiba-tiba terusik oleh puisi, dan tiba-

tiba kita merasa perlu ada pengikat rasa persaudaraan itu. Rasa

persaudaraan yang berpendar dalam puisi. Lalu, disepakatilah

pertemuan tahunan secara bergilir dengan nama Pesta Penyair

Nusantara (PPN). Setahun sekali rasa persaudaraan itu akan kita

eratkan lewat puisi dalam sebuah pesta penyair.

 

Kesepakatan itu tentu tidak main-main, sebab ditandatangani

oleh tokoh-tokoh dari komunitas sastra dan lembaga studi

nusantara dari lima negara. Dari PENA Malaysia ada Mohamad

Saleeh Rahamad dan S.M. Zakir. Dari Komunitas Sastra Indonesia

(KSI) ada Viddy AD Daery dan Ahmadun Yosi Herfanda. Dari

Laboratorium Sastra Medan ada Afrion. Dari Asterawani (Brunei

Darussalam) ada Zefri Ariff. Dari Nusantara Studies (Thailand) ada

Nik Rakib bin Nik Hassan. Dan dari Asas 50 Singapura ada Djamal

Tukimin. Mereka berkomitmen untuk membawa PPN ke negara

masing-masing secara bergiliran.

 

 

Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, PPN juga

dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama antar komunitas

sastra di negara-negara ASEAN, dan untuk melihat perkembangan

perpuisian di negara masing-masing. PPN kemudian menjadi alasan

bagi para penyair di negara-negara serumpun itu untuk bertemu

secara berkala dalam suatu “pesta”.

 

Puisi agaknya memang selalu mempertemukan kita: saudara,

sahabat, pacar, rekan, kawan. Dan, demi puisi pula kita merasa

perlu berjumpa dalam sebuah “pesta penyair”. Pesta itu pun kita

kita sepakati untuk kita adakan tiap tahun, dengan nama Pesta

Penyair Nusantara (PPN).

 

Pertemuan penyair di Medan kita anggap sebagai PPN yang

pertama. Kediri kemudian berinisiatif menyelanggarakan pesta yang

kedua. Kemudian Brunei Darussalam, Kuala Lumpur, Pelembang,

Jambi, Singapura, Thailand, Tanjung Pinang, Banten, Kudus, dan

kini kembali diadakan di Kuala Lumpur untuk kedua kalinya.

Tidak terasa PPN telah dilancarkan di 12 kota di Asia Tenggara.

Ketika PPN IV dilaksanakan di Kuala Lumpur, sempat ada perubahan

penting. Kuala Lumpur mengingatkan agar para penyair tak sekadar

berpesta, yang kesannya suka bersenang-senang saja. Kata “pesta”

lalu diganti “pertemuan” – Pesta Penyair Nusantara menjadi

Pertemuan Penyair Nusantara.

 

Perhelatan di Kuala Lumpur membuat pertemuan para penyair

menjadi lebih bermakna. Sekarang, pada PPN XII, kita kembali

berjumpa di Kuala Lumpur. Akan ada perubahan apa lagi? Adakah

yang lebih berarti dari sekadar berkumpul, berdiskusi, membaca

puisi, dan menerbitkan buku antologi puisi?

 

***

 

Tidak terasa PPN sudah berjalan sekitar 15 tahun, sejak

dideklarasikan di Medan pada tahun 2007. Banyak perubahan yang

terjadi selama 15 tahun itu. Setidaknya kita sudah semakin tua.

Dulu, 15 tahun yang lalu, karena kita masih merasa muda, kita

menggagas pentingnya forum pertemuan bagi penyair-penyair

muda dari negara-negara serumpun, karena kita melihat bahwa

PSN – Pertemuan Sastra Nusantara — sudah didominasi oleh orang-

orang tua.

 

Sekarang, setelah kita sama-sama tua, apakah yang harus kita

gugat? Atau, kita persilakan saja yang muda-muda, para penyair

muda, para penyair melinial, menggugat kita. Apakah kita

melupakan mereka, sehingga mereka merasa harus menggugat

kita?

 

Setidaknya, sudah saatnya kita bertanya, akan dibawa

kemanakah PPN? Sekarang saatnya kita bertanya, sudah

menghasilkan apakah selama 12 kali PPN?

Tiap kali PPN dilancarkan, selalu diterbitkan sebuah buku

antologi puisi karya para penyair dari lima negara serumpun:

Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand.

Saya membayangkan, betapa tebalnya kalau 12 buku antologi puisi

itu disatukan? Di dalam antologi tebal akan terbaca peta

perkembangan perpuisian di lima negara serumpun itu.

 

Tentulah buku kumpulan puisi tebal itu akan sangat berarti bagi

studi-studi sastra kita. Lebih khusus, studi tentang puisi-puisi

Nusantara, bagaimana kecenderungan tematiknya, bagaimana kecenderungan puitiknya, bagaimana pula aspek-aspek intertekstual

yang mempengaruhinya. Tentu hasilnya akan sangat menarik dan

menginspirasi penciptaan puisi-puisi nusantara berikutnya.

 

Tiap kali dilancarkan PPN juga diperbincangkan berbagai topik

yang menarik, berbagai isu yang aktual ketika itu, oleh banyak

pemakalah, oleh banyak pemikir sastra. Saya membayangkan, jika

makalah-makalah, prasaran-prasaran, itu dikumpulkan, dibukukan,

dan diterbitkan, tentu akan sangat berarti bagi kita, dan generasi

setelah kita, generasi milenial dan generasi Z, untuk mengkaji

pemikiran-pemikiran generasi kita. Bahkan, kita bisa berkaca,

seperti apa isi kepala kita pada saat itu.

 

Oleh karena itu, saya sangat berharap, pada PPN XIII yang

akan datang, bisa diterbitkan antologi puisi 15 tahun PPN. Agar

tidak terlalu tebal, kiranya dapat dipilih puisi-puisi terbaik dari

antologi-antologi puisi PPN yang telah terbit. Akan sangat ideal jika

dapat diberi pengantar yang komprehensif tentang puisi-puisi itu.

Bersamaan dengan itu, alangkah baiknya jika bisa diterbitkan

juga buku kumpulan makalah dari PPN I hingga PPN XII, dan dipilih

makalah-makalah terpenting yang mewakili kecenderungan

pemikiran di tiap negara serumpun ketika itu.

 

***

 

Melihat apa yang telah dihasilkan PPN I hingga PPN XII ini, dan

mengingat harapan kita, sejujurnya PPN tidak sekadar mempererat

rasa persaudaraan melalui puisi. Puisi memang menjadi alasan

utama kita untuk bertemu. Tetapi, PPN bisa memberi arti lebih dari

itu. PPN juga bisa dikemas secara lebih kreatif lagi, dengan agenda-

agenda yang lebih segar sesuai tuntutan zaman.

 

Banyak ide kreatif yang belum sempat kita wujudkan. Misalnya,

ide untuk memberikan penghargaan sastra versi PPN yang baru

sempat kita adakan sekali di Thailand, atau ide adanya Anugerah

Penyair Nusantar seperti yang direkomendasikan pada PPN Banten,

serta penyempurnaan ragam kegiatan PPN.

 

Sekarang tergantung pada kita PPN akan kita bawa ke mana?

PPN, yang dimulai di Medan 15 tahun yang lalu, tentu tidak akan

berakhir di tahun 2023 ini di Kuala Lumpur.

PPN akan berlanjut dan terus berlanjut, entah sampai kapan.

Sepanjang masih ada yang bersedia menjadi tuan rumah,

sepanjang masih ada yang bersedia menyelenggarakannya, PPN

akan terus berjaya. Itulah komitmen kita. Jika panjang usia, kita

masih akan berjumpa pada PPN-PPN berikutnya. Semoga!

 

Banten, 28 September 2023

 

_____________________________________________

Biografi Singkat:

AHMADUN YOSI HERFANDA adalah alumnus FPBS Univ. Negeri Yogyakarta

(UNY – d.h. IKIP Yogyakarta). Pernah kuliah di Univ. Paramadina Mulya dan

menyelesaikan Magister Komunikasi di Univ. Muhammadiyah Jakarta. Ia lahir di

Kaliwungu, 17 Januari 1958. Penyair ini adalah salah seorang penggagas forum

Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di

Negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang konseptor dan deklarator Hari Puisi

Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap 26 Juli. Selain puisi, ia juga banyak

menulis cerpen dan esei sastra. Sejak 2010, mantan redaktur sastra Harian Republika ini

mengajar creative writing pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia

sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional dan

internasional di dalam dan luar negeri.

Ahmadun juga pernah menjadi ketua tetap Jakarta International Literary Festival

(JILFest), anggota pengarah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani University Thailand, ketua Lembaga Literasi

Indonesia (Indonesia Literacy Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera

( www.litera.co.id ). Ia juga pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta

(DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III

Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen

Indonesia (KCI, 2007-2012), dan anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional

Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI (2014-2015) bidang sastra.

Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Sang Matahari (Nusa Indah,

Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991),

Sembahyang Rumputan (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Fragmen-

fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan

(puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 — meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa,

2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), Ketika Rumputan Bertemu Tuhan

(Pustaka Littera, 2016) – buku ini terpilih sebagai buku unggulan (5 besar) dalam

Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016, dan Kasidah Seribu Purnama (Hyang Pustaka,

Cirebon, 2022) – terpilih sebagai buku unggulan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2023.

Sedangkan buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa

Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening

Publishing, 2004), Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan

Pertobatan Aryati (Penerbit Rebublika, Jakarta, 2023). Ahmadun dapat dihubungi melalui

HP/WA: 081315382096. Email: ahmadun.yh@gmail.com . Tentang aktivitas dan karya-

karyanya juga dapat ditemukan melalui www.google.com , www.youtube.com , dan

www.yahoo.com , dengan menuliskan nama Ahmadun Yosi Herfanda pada kolom pencari

data. ***

Related posts

Leave a Comment

18 − seventeen =