puisi 

Puisi-Puisi Tjahjono Widarmanto

Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, saat ini melanjutkan studi di program doktoral Unesa. Buku puisinya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi para Pemuja Sajak (2016) mendapat penghargaan buku puisi Hari Puisi Indonesia 2016.

 

Berdiri di Kelokan

 

inikah batas itu?

mengizinkan aku kembali pulang

bergegas sebelum petang bertukar kamar dengan siang

 

inikah batas itu, tempat

aku harus berpaling menoleh pulang

 

saku bajuku penuh dijejali teka-teki asing

sungai-sungai berubah warna

stasiun-stasiun jadi lorong lonjong

segala syair berterbangan

seperti kepak elang hilang sarang

asin garam bertukar rasa dengan asam cuka

: hambar seperti senyum sendiri.

 

inikah batas jalan pulang

segala kenang tinggal lengang

menatap harap yang lepas: sia-sia.

 

di jalan pulang resah berputar-putar

seperti pusing guruh melingkar-lingkar

 

bolehkah aku kembali!

                                                                (Ngawi, Tanah Ketanggi)

 

 

Percakapan dan Maut yang Berkedip-kedip

 

percakapan itu ditandai jari-jari yang merapat

lantas terurai menunjuk-nunjuk kenangan abu-abu

yang berhamburan di angkasa seperti remah roti diterbangkan beliung

 

di kejauhan segala mercu suar telah padamkan lampu

gereja-gereja menurunkan loncengnya

beduk-beduk di masjid surau tiba-tiba bolong melompong

segala kitab dan sabda kehilangan firmannya

 

ah, maut itu telah mengedip-kedipkan lampu

dan membunyikan klakson keras berulang-ulang

tak sabar menunggu di mulut gang

 

percakapan kita tak pernah tuntas

jari-jari mengejang kaku seperti syahwat ereksi

malam-malam tak pernah sampai subuh

segala kedai telah menutup pintu rapat-rapat

 

jam ini usai sudah.waktu habis

sajak dan percakapan itu menggantung putus asa!”

 

(Ngawi, Klitik)

 

 

Perempuan-Perempuan Hantu

 

siapa bisa menafsirnya?

legenda-legenda itu kekal mencatatnya

menjadi semacam sajak atau mantra

 

rimba gaib yang lahirkan perempuan-perempuan hantu

yang sembunyi di kulit pohon dan akar belukar

pentilnya terbuka. lonjong. bergoyang-goyang

menari hingga keringat leleh jadi sungai

menyeret perahu-perahu –bukan milik nuh—

di dalamnya ada ranjang pengantin kembang tujuh aroma

 

 

: ayo bercumbu, perempuan-perempuan hantu

sodorkan pentil lonjongmu. bukankah kita pecumbu abadi!

 

Ketanggi-Wirata

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

18 − 4 =