Puisi-Puisi Dedy Tri Riyadi
Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal Jawa Tengah. Kini tinggal dan bergiat dalam dunia sastra di Jakarta. Sangat aktif menulis puisi dan sering dimuat di banyak media. Puisinya diterbitkan (bersama Inez Dikara dan Maulana Achmad) dalam buku Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan.
Menunggu
Jika kau perhatikan benar, seluruh tubuhku adalah
jalinan kata-kata. Mereka terpilih untuk terpilin jadi
kulit dan serabut daging. Pembungkus pembuluh darah
dan organ-organ dalam. Semacam perasaan yang kini
begitu diabaikan daripada diabadikan. Dibicarakan
tetapi dicabarkan sampai dingin bahkan seluruhnya
lepas sebagai angin. Jika kau berhati-hati pada kebenaran
yang terjadi adalah kau tak percaya hanya kata-kata
yang bisa menuntunmu pada makna. Ada rekatan dan
retakan yang membuat kau merasa – ada yang lebih
dari sekadar suara dan suasana. Ada yang menawarkan
sesuatu di dalam sana. Di dalam rongga tubuhku, di didih
darah di tubuhmu, di ruang-ruang tak tersentuh dan
di raungan bergemuruh yang tak didengar tapi sampai
juga getarnya di dalam jiwamu. Jika kau pertahankan
kebenaran dari kata-kata dalam tubuhku, yang kau gapai
hanya gambaran-gambaran semu.
Seperti pada suatu pantai kau menunggu;
selain ombak, pasir, karang dan pecahan kerang,
perahu-perahu nelayan seperti ucapan selamat jalan
seorang kekasih yang bersetia untuk menanti.
2015
Belajar Berjalan di Atas Tali
Jika hidup adalah simpulan, aku belajar berjalan
di atas tali. Belajar agar tak terjatuh dan mati.
Berjalan sampai pada batas diri. Di mana kesabaran
menjadi dan terburu-buru sudah pasti
berakibat buruk bagiku. Pada ketinggian,
kutemukan betapa angin jadi musuh sejati.
Seolah hewan buas siap menerkam,
atau percakapan tentang kesombongan: Ini
tempat di mana orang-orang ingin bersembunyi.
Merasa paling sepi sendiri. Merasa tak ada lawan
sebanding untuk bertanding. Tapi kurasakan jeri
menyeludup dipagut sepi – bagaimana bisa kulawan
diri sendiri? Jika hidup adalah simpulan,
aku menutup mata dan menenangkan diri:
membayangkan akulah tali yang terentang
dan hiduplah yang tengah berjalan di atasku.
Sekarang ini.
2015
Mengandalkan Ingatan
Jika perantauanku tak cukup memuaskanmu,
panggil aku perahu kecil pada sebuah teluk.
Pengetahuanku semacam ranting dan daun
yang mudah patah dan menyerah pada angin.
Aku hanya mengandalkan ingatan dalam upaya
mengekalkan kau dalam seeratnya peluk.
Sebab aku biji dan kau pencari penuh siasat
memicing mata pada setiap lubang sisa ulat
dan jika kau tak puas, kau akan mengempaskanku
seperti ombak yang tak terbaca warna biru yang mabuk.
2015