ARTIKEL 

Seni, Cinta dan Peradaban

Suatu ketika filsuf dan Sastrawan besar Jerman Goethe (1749-1832) pernah mengatakan “Hidup ini terlalu singkat untuk sekadar menikmati seni.”

Ucapan Goethe tersebut mungkin terkesan hiperbolik dan bombastis, tapi jika kita memahami secara filosofis, sesungguhnya ucapan itu benar adanya.

Cobalah kita renungkan tentang hidup kita sejenak. Betapa sesungguhnya kehidupan kita itu sendiri adalah seni.

Manusia terlahir tentu dengan memiliki jiwa dan akal fikiran yang dibekali dengan pemahaman yang mampu merasakan dan membaca seni.

Mungkin ini suatu hal yang bisa diperdebatkan, tetapi jika kita menempatkan dan mendefinisikan seni sebagai suatu keindahan dan sesuatu yang memiliki nilai estetika, maka kita bisa melihat dan membuktikan bahwa setiap manusia memang memiliki bakat seni.

Tuhan sang pencipta sendiri dikenal sebagai yang Maha indah  dan mencintai keindahan. Tuhan menciptakan manusia dengan segala keindahannya. Begitu juga saat Tuhan menciptakan alam semesta dan isinya. Maka tak heran jika kita sering mengutip ahli fisikawan dunia Albert Einstein (1879-1955) yang mengatakan bahwa Tuhan tak sedang bermain dadu saat menciptakan jagat raya. Ucapan Einstein ini semakin mengukuhkan betapa segala yang ada di alam raya adalah tercipta begitu indah dan memilki nilai estetis.

Begitu indah dan estetisnya semesta raya dan isinya hingga waktu atau masa hidup kita di dunia ini tak akan cukup untuk menikmati itu semua.

Ada banyak penafsiran dan pendekatan manusia dalam memahami seni itu sendiri. Seiring perkembangan dan akal pemikiran manusia, seni kemudian ditempatkan sebagai objek kajian yang bisa difahami dan dikaji secara estetis dan teoritis, tak lagi difahami secara filosofis semata.

Seni menjadi satu disiplin ilmu yang bisa dipelajari di bangku-bangku sekolah dan perguruan tinggi. Begitu banyak literatur tentang seni dan membicarakan seni secara ilmiah dan akademis. Kemudian terjadi sedikit pergeseran pendapat bahwa seni adalah suatu objek milik sebagian kelompok tertentu yang memiliki kompetensi khusus untuk mendekatinya. Seni cenderung menjadi ekslusif.

Ketika seni seolah menjadi milik sekelompok orang tertentu, sebagian besar manusia seakan menjadi berjarak dengan seni. Seni sendiri menjadi suatu hal complicated. Terlebih kemudian Seni menjadi profesi bagi sekelompok orang. Muncul kemudian profesi yang disebut seniman.

Seni kini seakan menjadi milik para seniman, bukan lagi milik semua orang. Seni menjadi barang atau hal yang aneh bagi banyak orang. Para seniman kemudian mengagungkan ego masing-masing dan memuja keegoannya yang bahkan makin menempatkan seni menjadi suatu hal yang benar benar ekslusif. Yang mengerikan lagi kemudian ketika ego para seniman tersebut makin dikedepankan dan sadar atau  tak sadar menjadikan seni sebagai barang dagangan atau komoditas. Seni makin membentuk kelas-kelas kecil tersendiri bahkan di antara para seniman. Itulah yang terjadi saat ini. Cobalah kita bertanya pada banyak orang tentang seni, mungkin sebagian besar mereka akan menggelengkan kepala tanpa bisa menjawab. Bahkan bisa juga mereka akan menunjuk sekelompok orang untuk memberi jawaban atas pertanyaan kita tersebut.

Para seniman harus mampu melepaskan ego masing-masing untuk meluruskan kembali fungsi dan peran seni. Seni harus mampu didekatkan kembali dengan masyarakat. Seni harus memiliki ruh kembali untuk bisa mempengaruhi dan mengubah masyarakat.

Hal yang paling mungkin adalah kita menggali kembali nilai filosofis dan universalitas dalam seni. Seni harus mengedepankan rasa dan cinta pada sesama dan semua mahluk meski tentu kita tetap menjaga nilai estetika dan teoritisnya. Banyak orang berkarya tidak lagi dengan cinta tetapi karena ego pribadinya.

Jika kita mampu keluar dari lingkaran, kelas, dan ego kita masing-masing, maka seni bisa dinikmati dan menjadi milik semua orang. Tak mustahil seni bisa kembali membangun peradaban manusia yang luhur. Dan apa yang diucapkan Goethe mungkin akan diucapkan oleh semua orang.

 

Mahrus Prihany

Related posts

Leave a Comment

4 × 5 =