Agenda 

Revolusi Mental di Negakornia

Nevatuhella, lahir di Medan, 31 Desember 1961. Menamatkan pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara (USU), jurusan Teknik Kimia tahun 1988. Ketua Himpunan Sastrawan “Kembang Karang“ Tanjungbalai ini senang menulis cerpen, esai, puisi dan opini. Tulisannya tersebar dan pernah dimuat di beberapa media baik lokal dan Nasional. Bisa dihubungi di Jl. Harmonis Link 1, Tanjungbalai, Asahan, Sumatra utara.

 

Malam berdarah di Mujoto, ibukota Negara Negakornia. Sumarduka, staf ahli disebuah badan usaha milik pemerintah tadi malam ditembak orang tak dikenal. Di depan sebuah pusat perbelanjaan termegah “Plutonium”. Ia tewas di tempat. Peluru tepat mengenai dada sebelah kanannya.

Pagi ini dimana-mana orang membicarkan peristiwa penembakan Sumarduka. Humas Kepolisian dalam siaran persnya yang dikutip awak media menerangkan pelaku penembakan masih dalam pengejaran. Pelaku penembakan masih kabur. Di televisi ditayangkan juga wawancara dari beberapa orang saksi mata. Para saksi mengatakan mereka terkejut hebat langsung pingsan kala kejadian, sehingga tak tahu apa yang berlangsung. Tak menyadari dari mana arah penembak melakukan aksinya. “Saya mendengar letusan!” jelas seorang saksi yang berada di halaman parkir. Cukup jauh dari TKP. Saksi-saksi lain hanya bisa menceritakan suasana sesudah korban jatuh. Saat orang-orang berusaha menolong korban.

Di warung-warung kopi, pelanggan setia warung tak mau ketinggalan mendiskusikan apa yang terjadi. Setelah masing-masing menghirup kopi dan membakar rokok sebagai penyulut pikiran untuk terang benderang berpikir. Mereka saling membenarkan kalau-kalau polisi akan mengarahkan sasaran tuduhannya kepada teroris sebagai pelaku penembakan. Orang-orang langganan warung kopi memang bisa lebih pintar dari para penyidik kepolisian. Di mata mereka selama ini terorislah yang dianggap polisi makhluk paling kejam. Selain para pembegal  sepeda motor di negeri ini. Televisi yang disediakan pemilik warung sedang mendiskusikan perihal penembakan, semua pasangan mata menontonnya.

“Diskusi apapun itu,” ucap Momaro sambil menunjuk ke layar televisi “Profesor tu yang dapat duit! Pemilik televisi tambah kaya! Tengok la iklan-iklan seronok tu!”

“Ah, itu bukan kajian awak!” sanggah Miransiwalan. “Yang penting pikiran kita bisa kita sampaikan sebagai warga negara! Awak sama awak pun jadilah yang mendengar.”

Televisi sesekali menyiarkan langsung dari rumah duka. Tampak anak-istri korban berpelukan bertangisan. Tetangga mencoba menabahkan. Apakah mereka berduka. Atau sekekedar ingin melihat langsung keluarga yang terkenal suka memberi bantuan sosial ini.

Sementara di pasar, para pedagang eceran, laki-laki dan perempuan semua merasa korban memang wajar dihabisi. Meskipun dengan cara kejam yang dilakukan pembunuh. “Memang sudah seharusnya koruptor di hukum tembak, sama dengan bandar narkoba! Hidup untuk apa lagi bagi mereka!”

Tentang sikap, banyak orang sama seperti para pedagang, merasa berhutang budi pada sang penembak. Ini karena sangking geramnya pada para koruptor yang menghiasi langit Negara Negakornia yang mereka cintai. Negara yang kemerdekaannya telah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh atok-moyang mereka. Bukankah Sumarduka, seorang yang diduga melakukan penyelewengan uang Negara lebih 115 milyar kurs mata uang tertinggi. Ia belum ditangkap tangkap juga oleh Lembaga Anti Korupsi yang dibentuk Negara. Banyak orang muak. Bahkan ada yang terpaksa beranjak dari depan televisi untuk meludah, jika melihat Sumarduka muncul di televisi.

₪₪₪

Esok harinya, masih di Mujoto, terjadi lagi penembakan misterius ala penembakan Sumarduka. Korban di tembak tepat di dada kanan, sama dengan yang terjadi terhadap Sumarduka. Dugaan polisi, pelaku penembakan sangat terlatih dan profesional. Siapa lagi kalau bukan anggota regu tembak yang dipersiapkan untuk berbagai kepentingan Negara. Regu yang  punya keahlian dan keterampilan menembak yang purna. Polisi mengintip semua elemen dan oknum yang memungkinkan terjadinya penembakan.

Orang ramai berspekulasi dengan argumen masing-masing. Tergantung kepentingan. Para pelanggan warung kopi berpendapat pasti akan terjadi lagi penembekan berikutnya. “Bahkan bisa saja berlangsung bertahun-tahun!” Sepakat mereka.

Pada penembakan kedua ini, saksi mengatakan pelaku berpakaian seperti Ninja. Sesudah melakukan aksinya pelaku menghilang tanpa suara. “Misterius!” Aku seorang saksi lain.

Polisi menyatakan, sama dengan yang terjadi sebelumnya, belum ada bukti yang bisa dipegang tentang pelaku. Tapi dipastikan pelaku bukan orang yang sama. Puluhan orang telah diwawancarai sebagi saksi. Kesaksian mereka tidak membuka jalan mengidentifikasi pelaku.

Korban kedua, Warasukani Samarkansaja. Statusnya sama dengan almarhum Sumarduka. Tersangka kasus korupsi yang belum di bui Lembaga Anti Korupsi. Warasukani masih bisa lenggang-kangkung memfoyakan uang hasil korupsinya. Ia di tembak di depan rumah mewah kediamannya selepas sport pagi bersama istri mudanya.

Sampai hari ke-99, korban yang jatuh 99 orang. Berarti setiap hari terjadi pembunuhan yang lokasinya sampai ke seluruh pelosok negeri. Kepolisian kewalahan menangani peristiwa sadis main hakim sendiri ini. Rapat-rapat semua lembaga Negara dilakukan setiap hari. Presiden sudah turun tangan. Bahkan Negara Super King dengan sekutunya yang ada di bumi ini diikutsertakan menyelidiki pembunuh misterius ini. Negara-negara ini khawatir jika pembunuh ini sampai di tanah airnya. Walaupun di Negara mereka kejahatan korupsi sudah sangat minim.

Pada hari ke-100 semua pihak lega, karena tidak ada korban jatuh. Namun rapat darurat pemerintah terus berlangsung. Para korban selama ini sudah di otopsi dengan super teliti sebelum diserahkan ke keluarganya. Olah TKP juga dilakukan seprofesional mungkin. Ditemukan semua korban adalah para tersangka korupsi yang belum ditahan. Semua korban di tembak tepat di dada sebelah kanan. Penembakan dilakukan ketika korban sedang berdiri tegak lurus. Korban terakhir adalah Safriri Barhanta Anomisa. Seorang kepala sekolah tingkat atas yang disangkakan menyelewengkan dana pembangunan WC sekolah yang dipimpinnya. Ia ditembak di sore hari di depan WC umum kebun binatang daerah di hari libur Nasional.

Sesudah menjadi berita umum bahwa semua korban di tembak dalam keadaan tegak berdiri. Hal ini membuat pandangan yang tidak biasa dimana-mana. Terlebih-lebih di kantor-kantor perusahaan Negara. Banyak orang berjalan dengan terbungkuk-bungkuk atau menunduk-nunduk. Ada yang berpura-pura mengalami nyeri dada. Di gedung Dewan Nasional juga, banyak anggota parlemen yang berjalan tidak dengan membusungkan dada seperti biasanya. Pemandangan ini jadi bahan tertawaan dan ocehan karikatur media. Walau di kantor-kantor sekitar media pun banyak orang berjalan dengan membungkuk juga. Akan hadir sebuah Partai baru dengan nama partai “Republik Bungkuk”, ulas tajuk berita media besar. Kalau di tanah Arab orang-orang tua negeri ini duhulu selalu mengingatkan satu hal. Bahwa kalau pergi melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, jangan heran jika melihat banyak orang tangannya puntung. Mereka adalah pencuri yang menjalani hukumannya dengan tangan dipotong. Jadi kalau orang berjalan membungkuk di Negakornia mereka patut dicurigai sebagai koruptor.

Sebab berita para korban penembak misterius adalah para tersangka koruptor. Para pesakitan pelaku korupsi yang melakukan pra-peradilan mencabut aduannya di pengadilan. Merasa lebih tenang dalam tahanan dari pada harus menghadiri sidang-sidang di luar tahanan. Siapa tahu pas keluar dari mobil lupa membungkuk. Para terpidana korupsi yang telah dijatuhi hukuman memberikan uangnya (yang rupa-rupanya masih banyak) kepada Negara. Untuk membangun tahanan mereka sekuat dan secanggih mungkin agar penembak misterius tak bisa menghampiri mereka. Tembok tahanan kini menjulang tinggi menantang langit.

Cerita rakyat “Raja Mati karena Harimau” menjadi populer lagi diseluruh lapisan masyarakat. Sebuah cerita rakyat yang menceritakan seorang Raja yang diramalkan oleh ahli nujumnya akan mati karena harimau. Mengatasi ketakutannya raja menyuruh pengawalnya membuat benteng istana yang kokoh. Walaupun berada dalam istana rupanya setiap hari Raja ketakutan juga. Tidur berpindah dari satu kamar ke kamar lainnya. Akhirnya Raja tertidur di kamar museum yang menyimpan berbagai barang antik, termasuk lukisan. Tak disangka, ketika Raja sedang duduk di sebuah kursi antik, sebuah lukisan yang bergambar harimau menimpanya. Bingkai lukisan itu memang sudah lapuk karena tuanya. Raja terkejut dan meninggal seketika.

Pada hari ke-110 sejak kejadian hari pertama pembunuh miterius beraksi, rakyat bagai di kejutkan listrik. Harga sembako turun sebesar hampir 80%! BBM juga turun mencapai bumi. Tayangan televisi yang disiarkan berisi berita-berita kegembiraan rakyat menyambut waktu yang sudah ditunggu-tunggu selama ini. Janji-janji pemimpin untuk berjuang mensejahterakan rakyat. Tidak ada berita kriminal. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kini, sipir penjara tak punya tugas membuka-menutup pintu penjara. Pintu penjara buka 24 jam. Kepolisian berhenti menangkap orang atau kelompok masyarakat yang dicurigai sebagai teroris.

Para pejabat ada yang menyatakan kalau mungkin ia akan bersepeda saja ke kantornya. Harta kekayaannya boleh diambil Negara untuk kepentingan makan, kesehatan dan pendidikan rakyat. Pembunuh misterius ibarat Superman yang menyelamatkan bumi telah mengubah segalanya. Termasuk juga padi dan jagung tumbuh berbuah menguning di halaman rumah-rumah rakyat. Spekulasi siapa sesungguhnya penembak misterius berhenti tanpa komando. Dalam hati masing-masing rakyat bangsa Negakornia mengatakan bahwa telah terjadi revolusi mental di Negaranya.

Medan, 2015

Related posts

Leave a Comment

fourteen − two =