ESAI PERISTIWA 

PENYAIR JABODETABEK BERMANIFESTO

Saya sengaja membawa pembiraan singkat pada diskusi antologi puisi Manifesto ini pada isme atau pada ideologi estetik. Karena akhir-akhir ini kita terkesan takut mengaitkan sastra dengan ideologi, apalagi ideologi politik, karena politik kita nyaris tanpa ideologi, selain ideologi kekuasaan. Agar aman, kita persempit pembicaraan ini ke dalam “ideologi kesastraan”, yakni teori, paham, atau tujuan terpadu yang terkandung di dalam teks-teks kesastraan, baik puisi maupun prosa.

Definisi tersebut merujuk pada penjelasan ideolog Prancis, Antoine Destutt de Tracy, dalam buku L’Ideologi Rationnalle. Tracy menciptakan istilah ideologi guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifatnya, serta hukum-hukumnya. Dalam konteks politik, ideologi adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang merupakan satu program sosial politik. Dalam arti umum, ideologi adalah ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu, yang nampak pada pola aktivitas, ekspresi, dan tujuan kekaryaanya. Tanpa ideologi, sastra sulit melahirkan karya besar.

Judul Manifesto mengingatkan kita pada peristiwa “perang ideologi” yang ditandai dengan lahirnya Manifesto Kebudayaan tahun 1963. Sebuah momentum yang menegaskan bahwa para sastrawan non-Lekra ketika itu – diprakarsai oleh Wiratmo Sukito dan H.B. Jassin serta diikuti oleh Goenawan Mohammad dan Bokor Hutasuhud — memantapkan konsep humanisme universal sebagai “ideologi” esetetika mereka. Sebuah konsep kesusasteraan yang membedakannya dengan Lekra, yang mengusung “ideologi” realisme sosialis.

Ketika itu, sastra dan pandangan-pandangan realisme sosialis memang berkembang sangat menghawatirkan, dan cenderung memberangus lawan ideologi mereka. Kaum humanis sadar akan bahaya itu dan menganggap perlu untuk mendeklarasikan “ideologi” sastra tandingan, humanisme universal.

Manifes Kebudayaan merupakan deklarasi sekelompok penulis dan intelektual yang menolak dominasi Lekra dan menyepakati pentingnya nilai-nilai humanisme universal dalam kebudayaan. Pada kenyataannya Lekra memang sering memfitnah kelompok yang tidak sejalan dengan ideologi mereka itu, dan bahkan “mengganyang” lawan ideologis mereka. H.B. Jassin, misalnya, pernah “diganyang” habis-habisan.

Maka dideklarasikanlah estetika ideologis humanisme universal, sebuah pandangan atau sikap hidup yang menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedaan bangsa, budaya, dan generasi. Humanisme universal, berlandaskan pada asumsi bahwa ada hal-hal yang bersifat universal atau berlaku secara global, bukan hanya untuk kelompok atau zaman tertentu. Konsep ini memiliki tendensi untuk membangun masyarakat yang lebih menusiawi melalui etika yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan akal budi.

Humanisme universal menjadi wacana dominan dalam kesastraan Indonesia pascakemerdekaan. Dominasi wacana humanisme universal mengakibatkan tersingkirnya wacana lain, seperti estetika religi, estetika sufistik, estetika etnik, dan estetika lokal atau kedaerahan. Pembentukan formasi diskursif wacana humanisme universal dalam kesastraan Indonesia mengokohkan kekuasaan dan pengetahuan Barat dengan balutan ide-ide kebebasan.

Kita tentu ingat bagaimana perdebatan sastra kontekstual, yang dibidani oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Hampir bersamaan dengan perdebatan itu, estetika lokal dan estetika sufistik merebut kembali posisi strategisnya. Abdul Hadi WM muncul dengan estetika sufistik. Sutardji Calzoum Bachri menguat dengan estetika mantra (loka). Linus Suryadi AG dan Darmanto Jatman dengan estetika (lokal) Jawa. Para sastrawan ketika itu mencoba melepaskan diri dari kuasa pengetahuan estetika Barat dengan ide-ide kebebasannya.

Sedangkan realisme sosialis adalah teori estetika Marxis yang mewajibkan seni dan sastra menggambarkan kehidupan dalam gaya yang realistis, agar dapat mengembangkan kesadaran sosial dan mendukung negara sosialis. Estetika ini adalah estetika seni resmi yang diizinkan di Uni Soviet dan negara-negara komunis lain, seperti Tiongkok, yang menggunakannya sebagai propaganda untuk memuliakan perjuangan komunis. Aliran ini berbeda dengan realisme sosial, yang bertujuan untuk mengkritik kondisi sosial yang buruk dan mengungkap ketidakadilan melalui penggambaran realitas secara gamblang.

Judul antologi puisi Manifesto juga mengingatkan pada kata-kata Bung Karno, “jangan melupakan sejarah” – yang disingkat “jas merah”. Sejarah memang tidak boleh dilupakan. Karena, pada sejarah kita bisa belajar banyak untuk bisa bersikap lebih bijak dalam menghadapi situasi masa kini dan masa depan. Orang yang tidak tahu sejarah akan cenderung sembrono dan mengulang-ulang kesalahan serupa.

Sepertinya sejalan dengan kesadaran di atas, antologi puisi Manifesto, menurut pemrakarsanya, Octavianus Mahesa, merupakan sebuah deklarasi imajinatif yang berisi pandangan, serta cita-cita penyair, dan bagaimana penyair itu mewujudkanya dalam perilaku bersastra, bereksperi, mencipta puisi, dan berbicara sastra.

Bagaimanapun, puisi adalah ekspresi pikiran dan perasaan dalam pola-pola yang puitis, baik yang metaforik maupun yang simbolik. Dalam ekspresi itu, sejarah, masa lalu penyair, akan turut terekspresikan kepada publik, setidaknya akan ikut mewarnai puisi mereka.

Bagaimanakah para penyair Manifesto menyiasati kesadaran sejarah, kesadaran pada peristiwa masa lalu, dan pengaruhnya pada masa kini? Apakah karya-karya mereka sejalan dengan estetika humanisme universal, atau ada yang terjebak pada estetika realisme sosialis? Atau sekadar menunjukkan empati pada keadaan masyarakat dengan gaya realisme sosial? Atau terjerembab pada estetika yang “tidak bertuan” atau “tidak bernama”, karena tidak dapat dirujukkan ke “ideologi kesastraan” manapun.

Kesadaran sejarah dan kesadaran pada masa kini tentu terlihat pada karya-karya penyair Jabodetabek. Tidak ada karya sastra yang lahir dari ruang kosong, kata Julia Kristeva dan Derrida, dan diulang oleh A. Teeuw. Kita simak saja puisi-puisi mereka dalam antologi Manifesto ini. Saya yakin, ada banyak pencapaian dan kejutan di sana. Selamat membaca dan mengapresiasi.
@ Ahmadun Yosi Herfanda

Related posts

Leave a Comment

5 + 1 =