Agenda 

Tiket Menuju Surga

Kristiawan Balasa, lahir pada 18 Januari 1992. Menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMA negri 2 Pontianak. mengambil jurusan ilmu Administrasi Negara di universitas Tanjung Pura. Kini tinggal dan bergiat di Pontianak. Sehari-hari bekerja sebagai seorang wartawan di sebuah media lokal di Kalimantan Barat.

 

Kau melihatnya di pagi buta. Saat fajar belum menyingsing dan kemeriahan pergantian tahun urung senyap. Lelaki itu tengkurap. Hampir bugil dengan sebagian tubuh tertutup selimut. Potongan rambutnya begitu familiar di matamu. Mungkin aku menatapnya setiap pagi di kamar mandi, pikirmu.  Tangannya tergeletak di paha seorang wanita. Putih dan jenjang. Seperti kaki jerapah, namun sedikit lebih berisi.

Pandangan nakalmu ingin segera naik. Tapi sayang terhalang selimut bermotif zebra yang tak mungkin kau singkap. Kau menatap dadanya. Lama. Kemudian memaku wajah wanita itu. Jantungmu terasa hampir copot. Tanganmu meraba dada. Menjaganya agar tak jebol. Jatuh dan membuatmu tak mampu mengendalikan diri.

Wajah wanita itu kau hapal betul. Semalam, kau menghabiskan malam pergantian tahun dengannya. Bukan seseorang yang baru kau kenal. Setidaknya, sudah dua tahun kau berkencan. Berpindah-pindah. Tak pernah rumah pribadi. Tak pernah di melati. Selalu hotel mewah.

“Tempat-tempat seperti itu rawan kenalan,” katanya.

Kau mengangguk dan tak menjadikannya masalah.

Seminggu lalu, wanita itu menghubungimu. Minta agar kau datang dan bersama-sama menghabiskan waktu. Kau tak mungkin menolak. Kelebat dalam otakmu selalu ingat, ia tak suka penolakan. Dua bulan saling kenal, wanita itu mengajakmu makan dan atas nama kesopanan kau menolak. Malam itu juga ia datang menjemputmu. Tanpa banyak kata-kata. Dan, seperti tersihir, kau mengekor padanya.

Sejak saat itu kalian semakin dekat dan setidaknya, setiap dua minggu sekali ia mengajakmu berpelesir. Ia selalu datang dengan gaun merah darah. Itu ia lakukan semata-mata karena kau.

“Aku Aruna,” ujarnya sambil menyodorkan tangan.

“Kau pasti penyuka merah,” tukasmu.

“Kau cenayang?”

“Aku hanya pernah membaca kamus Sanskerta. Dan, kau pasti akan cantik bila mengenakannya,” jawabmu merayu.

Itu pertemuan pertamamu dengannya. Di sebuah kafe selepas malam puisi yang biasa kau ikuti. Ia mengaku sudah memerhatikanmu dari pojok kafe itu selama tiga minggu dan menyukai sajak-sajakmu. Kau membuat kata-kata itu hidup, ujarnya.

Pandangan kau edarkan. Di tepi ranjang, kau melihat gaun merah itu. Penuh luka sobek. Sebotol anggur yang belum tandas tergeletak begitu saja. Otakmu kau paksa mengingat-ingat. Bukankah semalam aku di sini bersamanya?

Tubuh kedua orang di ranjang itu bergeming. Seperti patung dua dewa cinta yang lelah bercumbu. Dengan saksama, lekat dan sekuat mata melotot, kau tak melihat gerakan apa pun. Mata wanita itu tetap memejam. Kau tak bisa lagi berkaca pada bola matanya yang gundu. Tertutup kelopak yang takzim menjaga. Dengan alis rimbun yang selalu kau ingat serupa padang ilalang penuh. Tempat sajak-sajakmu tumbuh.

Awal tahun lalu ia mengajakmu ke sana. Timur Indonesia yang memesona. Hadiah terbitnya kumpulan puisimu yang kelima.

“Terlalu berlebihan,” katamu saat ia menyampaikan niat itu.

“Bagaimana aku merasa kurang jika ada kau?” balasnya manja.

“Dari mana kau belajar merayu? Kau semakin ke-aku-aku-an.”

Ia hanya tersenyum, kemudian mengalungkan kedua tangannya di lehermu. Berat tubuhnya mendorongmu hingga terjebak di belakang pintu. Kau sengaja membiarkannya. Napas kalian berburu. Bibir kalian beradu. Kedua lidah penuh berahi itu saling mengait. Berseteru.

Dua tahun kalian berhubungan, tak pernah sekali pun kau bertanya padanya perkara keluarga. Kau sengaja menjauhkan telingamu dari luka hati yang kau korek sendiri. Meski kau memang bukan seorang pencemburu. Bertolak belakang dengannya.

“Mengapa sajakmu selalu tentang kesedihan? Tidak bahagiakah kau bersamaku?” tanyanya suatu waktu.

“Aku hampir tak pernah menulis tentang diriku sendiri,” jawabmu datar.

“Aku merasa ada wanita lain di hatimu!” sambarnya dengan mata api.

“Hanya kau.”

“Aku membaca catatan-catatanmu. Tak pernah tentang aku!” serangnya.

“Aku menuliskan kisah orang lain.”

Hari itu, kau melihat tanduk di kepalanya. Dengan sayap hitam yang menyala. Ia terbang dan menabrak apa saja. Penjelasanmu. Suaranya yang lembut. Tingkahnya yang manja. Kehangatan yang surga.

Pernah kau berujar, saat ia damai dalam pelukan, selepas meracau cemburu. Kau jelas-jelas mendapatkannya. Ia tak bahagia bersama yang memilikinya di bawah naungan agama. Sebab itu, ia selalu datang padamu. Walau kau seorang penyair, kau tak pernah percaya bahwa cemburu tanda cinta. Aku tak pernah cemburu pada apa yang tidak lebih daripadaku, gumammu. Aku hanya menggunakannya untuk tetap menghidupi kata-kata.

Oleh sebab itu, kau tidak benar-benar memedulikan lelaki yang tengkurap sambil memegang paha wanitamu. Bisa saja lelaki itu suaminya. Kau tidak merasa tersaingi, meski hatimu risih. Kau memang penasaran, tapi tak mungkin bagimu membalik badannya. Matamu tak lepas dari wanita itu, sembari mengingat kejadian semalam. Lobus temporalis-mu kesulitan. Mungkin aku masih mabuk, batinmu.

Sebuah silet dan selembar kertas serta sebuah nota di atas meja menarik perhatianmu. Kau memegang janggut, dan masih terasa kasar. Tak mungkin bercukur di tengah malam. Kakimu melangkah. Kecil dan ringkih. Kertas yang tertimpa nota itu ingin kau gapai. Namun, tanganmu enggan menggenggam. Kau merasa bingung dengan semua ketidakbisaanmu. Tubuhmu kau raba. Berasa.

Kau semakin bingung.

Kau kembali berusaha mengingat kejadian semalam. Setiap potongan adegan. Setipis emosi yang keluar. Seluruh oksigen dalam kamar itu kau hirup. Semata-mata agar otakmu memiliki lebih banyak pasokan energi untuk mengingat. Kau menolak lupa. Padahal kau lupa, ingatan pendekmu sangat buruk. Itulah sebabnya kau menulis. Itulah sebabnya, selalu ada nota kecil dalam kantung celana.

“Aku tak percaya kekuatan ingatan,” katamu padanya suatu waktu.

“Lantas, mengapa puisi?”

“Hidup adalah perkara menyimpan luka. Puisi caraku merawatnya.”

“Jawabanmu terlalu puitis!”

Barang-barang itu—gaun merah yang sobek, sebotol anggur, silet, dan selembar kertas—kau kumpulkan dalam kepala. Mencoba merajut dan menjahitnya menjadi potongan kejadian semalam. Dalam pikirmu, gaun merah itu sobek karena nafsu menggebu. Sepasang harimau liar penuh berahi keluar dari tubuh kalian semalam. Lantunan musik klasik dan sebotol anggur jadi pengantar. Pembuka gerbang dunia penuh kenikmatan.

Kau mulai sedikit ingat. Setelah kalian meremangkan lampu dan gegap-gempita bunga langit jadi saksi bisu, ia mendorong tubuhmu dan kau terhempas di ranjang. Botol anggur yang masih setengah itu diraihnya. Kemudian meliuk-liuk indah bagai penari perut timur tengah.

Ia melangkah, membuat jarak kalian tinggal satu depa. Kau ingin segera memeluk, tapi ia tahan. Tubuhmu harus lekat pada ranjang. Ia melompat, mengangkangimu sambil terus menari, menggodamu dengan desah dan deru napas penuh berahi. Sebotol anggur yang masih setengah itu kalian nikmati berdua. Dari bibir botol ke bibirmu. Dari bibir botol ke bibirnya. Dari bibirnya ke bibirmu.

Gaunnya tak keruan. Rambutnya tergerai dan ia begitu cantik di usia tiga puluhan. Saat ia melompat turun dari ranjang, dan memaksa terbangmu di angkasa hampa seketika. Kau melihat sepasang sayap hitam di punggungnya. Besar. Lebar.

Ia menuju meja, mengambil sesuatu yang tak bisa kau lihat. Benda itu bersembunyi dalam genggaman. Sayap hitamnya mengepak. Membuatnya tepat berdiri di hadapanmu. Sesuatu yang mengkilap dari genggamannya buatmu kaku. Meski cemas, kau tahu, ia menyenangi hal-hal liar dan banyak ide gila yang bermukim di kepalanya.

“Untuk apa silet itu?”

“Aku hanya ingin membuatmu terbang lebih tinggi. Menuju surga!” jawabnya dengan tatapan nakal menggoda.

“Kupikir kau akan menanggalkan gaunmu, menari telanjang, memotong-motong kelaminku, lalu membunuhku seperti para jenderal dahulu,” katamu sambil tersenyum.

“Kau pemelihara luka yang baik, tapi pengingat sejarah yang buruk!” desahnya.

Ia kembali terbang dan bertengger di atas pahamu. Menyobek-nyobek gaunnya dan mengarahkan lidahmu agar menjelajahi luka gaun itu. Ia begitu lihai memainkan benda tajam. Tak sedikit pun kulitnya tergores. Kau memeluknya. Sayap hitamnya hilang. Dua harimau liar kembali keluar. Garang. Saling serang.

Kau tenggelam dalam ingatan dangkal.

*

Ada satu benda yang lepas dari rajutan adegan ingatanmu. Kau lupa akan secarik kertas yang tertindih nota di atas meja itu. Jika kau ingat, wanita itu pernah menyampaikan kecemasannya, selepas tanduk di kepala dan sayap hitamnya hilang. Akhir sebuah racauan panjang.

“Sebenarnya, aku takut penyair. Mereka pengendali kekuatan kata-kata,” ujarnya sambil memelukmu erat.

“Aku lebih takut pada wanita sepertimu. Cemburumu, mampu berkata lebih dari yang nyata.”

Ia cemberut. Kau tersenyum.

Setelah itu, kau segera memberinya selembar kertas. Menyuruhnya menuliskan semua kegelisahan dan hal-hal yang mengganjal hati. Agar kau lega dan tak harus marah-marah, katamu. Kau tak tahu, sejak saat itu, ia selalu menulis setiap malam. Ia menulis apa saja. Kecemasan. Rasa takut. Juga hal-hal remeh.

Ia menuliskan isi hatinya pada selembar kertas. Kertas yang belum kau baca sama sekali. Ia sengaja meletakkannya di atas meja. Supaya kelak orang akan tahu, bagaimana rasanya mencintai seorang penyair. Di baris paling atas, tertulis sebuah judul dengan huruf kapital;

TIKET MENUJU SURGA.

Jika aku tak pernah datang ke kafe itu. Mungkin aku tak akan segila ini. Aku seperti bertemu dengan juru tutur kisah hidupku. Kesedihan—air mata, dendam, pengkhianatan, penantian, kehilangan, patah hati—yang aku rasakan terkuras tandas! Aku melihat diriku dalam sajaknya. Hidup. Beranak dalam tiap kata.

Awalnya aku takjub. Senang. Bahagia. Ia penutur yang baik. Ia kekasih yang sanggup menjadi cermin. Beda jauh dengan suamiku. Aku menikah dengannya untuk bertahan hidup. Aku menjalin kasih dengan penyairku untuk merasakan hidup.

Aku mencintainya. Dalam. Palung laut paling dasar sekali pun tak akan mampu buat aku tenggelam lebih darinya. Namun, aku tak tahu apa ia juga sama. Ia memang menceritakan masa laluku dengan baik dalam sajaknya. Hingga, aku tak sanggup lagi bersedih. Aku terlalu bahagia, tapi ia masih saja menuliskan luka-luka.

Aku tak pernah tahu masa lalunya. Sama seperti ia tak tahu masa laluku. Kami sepakat untuk menyimpannya masing-masing. Belakangan, aku curiga ia miliki wanita lain. Atau mungkin sebuah kenangan yang belum tuntas. Aku seringkali marah dan mencak-mencak bila memikirkannya.

Tapi, peluknya selalu damaikanku.

Aku akui, cemburuku berlebihan. Itu hal yang wajar, kan?

Malam nanti, aku akan melewati malam pergantian tahun dengannya. Membuatnya lupa segala sedih dan luka yang telaten ia rawat. Ia akan tahu betapa aku mencintanya. Kami akan berpesta. Merayakan perpisahan; memberi batas sedih dan senang. Aku akan membebaskannya dari iblis busuk yang selama ini memenjara jiwanya. Aku sudah menyiapkan sebotol anggur spesial; tiket menuju surga.

Ia pernah berkata padaku, hidup adalah perkara menyimpan luka. Malam ini, kami akan mati bersama, dan bahagia!**

Pontianak, 2015

 

 

Related posts

Leave a Comment

nineteen − twelve =