ARTIKEL 

Sastra dan Manusia Religius

oleh: Mahrus Prihany, divisi kaderisasi dan organisasi KSI Pusat.

 

Sastra, jika kita sandingkan dengan agama saat ini seperti suatu hal yang terpisah dan berbeda. Masing-masing memiliki dimensi, ruang lingkup, pijakan dan karakteristik yang saling melekat dan keduanya mungkin hanya memiliki sedikit persamaan. Universalisme dalam sastra ataupun agama sebatas pada gagasan dan konsep yang mengalami jalan terjal dalam praktiknya. Agama sangat terkesan dimaknai dengan nilai dan ritual. Begitu juga sastra, sebatas pada permainan kata dan tanda yang bebas dari beban, tanggungjawab atau peran-peran yang membebaskan manusia dari belenggu dan sekat apapun. Jika agama terkesan memiliki aturan ketat, sastra seakan memiliki aturan yang sangat longgar dan memiliki kebebasan yang demikian luas.

Sastra yang sangat longgar dalam aturan dan agama yang memiliki aturan begitu rigid dan ketat tersebut sering membuat keduanya saling mengalami benturan. Sesungguhnya wajar jika keduanya berdiri secara terpisah dan berbeda sebagai suatu bidang dan disiplin ilmu dengan nilai dan kredonya masing-masing. Tak dapat dipungkiri jika kini keduanya baik sastra maupun agama memiliki karakteristik kuat yang menjadi pijakan masing-masing untuk meneguhkan kedudukan mereka untuk bisa berada di tengah-tengah kehidupan manusia. Secara sederhana seperti ini, berbicaralah tentang sastra tanpa melibatkan agama, dan berbicaralah tentang agama tanpa perlu melibatkan sastra.

Usaha membuat sintesis untuk keduanya seperti hal yang mustahil meski telah ada sedikit orang yang mencobanya. Titik temu keduanya begitu kecil meski sesungguhnya keduanya berada dalam satu lingkup besar yang sama. Bagaimanapun mereka yang menulis karya sastra adalah manusia-manusia yang beragama, sebaliknya mereka yang memiliki predikat agamawan, sebagian kecil dari mereka menulis karya sastra, tetapi sebagian besar mereka jauh dari apa yang disebut sastra bahkan mungkin menganggap sastra adalah sesuatu yang jauh dari agama. Sadar atau tak sadar akhirnya pandangan ini yang sering membuat gesekan yang makin mempertajam bahwa sastra dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Tentu ada kebebasan atau bahkan keengganan untuk menyatukan dua hal tersebut.

Sastra, meski memiliki aturan yang longgar dan cenderung bebas, sesungguhnya cukup mengakomodir banyak gagasan dan nilai di dalamnya. Sastra mengakomodir dan memberi ruang dengan munculnya sastra barat, sastra eropa, sastra timur, sastra Arab dan sastra Islam, sastra sufistik atau sastra profetik dan masih banyak lagi. Perbedaan dalam sastra tersebut hanya pada spesifikasi kajian tetapi pada hakikatnya memiliki ruh yang sama yaitu keindahan atau estetika. Kemasan sastra juga terasa lebih indah. Sastra sufistik atau profetik yang barangkali bisa sangat dekat dengan agama, sementara yang lain mungkin terasa mengambil jarak.

Agama disisi lain, lebih memainkan peran yang berbeda dengan kemasan yang cenderung ketat dan kurang mengakomodir banyak gagasan. Agama seperti telah menjadi aturan yang mapan yang tak boleh lagi memberi ruang-ruang pada perkembangan pemikiran, kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran yang lebih manusiawi dan membumi. Agama menjadi begitu dogmatis dan normatif. Pandangan ini mungkin akan terkesan menyudutkan mereka yang menyandang predikat agamawan. Tentu saja tidak, bagaimanapun sesungguhnya hampir kita semua beragama, bahkan mereka yang mengambil pilihan tidak beragama sekalipun sesungguhnya beragama. Agama justru harus mengambil peran lebih besar untuk benar-benar membawa kebaikan dan kemajuan. Ini juga tugas kita semua termasuk mereka yang menyandang predikat sastrawan.

Jika kita melihat akar agama masa lalu khususnya Islam, sesungguhnya sastra dan Islam hampir tak terpisahkan. Sejarah panjang dan besar Islam sangat kental dengan sastra, bahkan sastra mengambil peranan dominan dalam perkembangan peradaban Islam. Pada zaman Rasul pun banyak para penyair yang berdiri dan membela Rasulullah. Para penyair tersebut bukan hanya semata membela Rasul dari serangan para penyair jahiliah tetapi berperan pula menyampaikan risalah Rasul lewat syair-syairnya yang kemudian menjadi rekaman dan catatan penting bagi perkembangan berikutnya hingga sampai dan terjaga hingga kini.

Sahabat Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah ibnu Rawahah adalah para penyair yang bisa disebut sebagai pembela dan juru bicara Rasulullah lewat syair- syair mereka. Begitu juga Uwais al Qarni, seorang yang hidup dan beriman di zaman Rasul tapi berdasar catatan sejarah tak pernah langsung bertemu dengan Rasul, adalah seorang penyair besar di zamannya. Uwais Al Qarni adalah Syuhada perang Shiffin yang membela sahabat dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Begitu pula pada generasi Tabi’in, tabiut Tabi’in hingga seterusnya, banyak syair menjadi catatan penting yang indah yang ditulis menjadi teks-teks sejarah penyampai risalah. Mereka para penyair tersebut tetaplah dikenal sebagai manusia-manusia religius yang kredibilitasnya tak perlu diragukan.

Bahkan Alqur’an yang merupakan pedoman utama ummat Islam dan merupakan kalamullah diturunkan dengan bahasa yang indah dan tersusun secara puitik dengan bahasa sastra yang begitu tinggi. Alquran begitu penuh dengan tamsil, ibarat, simbol dan perumpamaan atau metafor-metafor yang dahsyat yang salah satu cara memahaminya adalah dengan kemampuan bahasa yang benar-benar mumpumi disamping tentu saja dengan kemampuan pengetahuan yang lain. Sangat indah sekali bahasa Alquran itu.

Jika akhirnya agama dan sastra seakan terpisah, sesungguhnya mereka tetap berada pada spirit dan marwah yang sama selama mereka berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Percayalah bahwa semua berangkat dari hati nurani yang dalam. Sastrawan sesungguhnya memiliki nurani yang peka walau ada sedikit dari mereka yang membelot dari nurani demi kekuasaan, begitu juga para agamawan, mereka pun berangkat dari suatu keyakinan walau sebagian mereka juga ada yang mengejar kekuasaan. Kekuatan tertinggi sesungguhnya adalah kebenaran sejati yang berangkat dari nurani dan keyakinan yang terus menerus dipertahankan. Suatu hal yang lebih baik adalah tetaplah kita berkarya dan menghormati segala macam perbedaan.

Related posts

Leave a Comment

2 × four =